[caption id="attachment_188306" align="alignleft" width="284" caption="ilustrasi"][/caption]
entah tulisan ini bermanfaat atau tidak, tapi daripada ga ada ide untuk menulis mungkin tidak ada salahnya untuk ikut menambah peredaran kata di rumah sehat ini. tadi malam saya bertemu beberapa kawan dan sekedar melepas kangen di angkringan lek man deket tugu. di tengah tawa tidak jelas, tiba-tiba ada yang nyeletuk, bertanya membuka ruang diskusi yang cukup meredakan tawa.
seorang kawan itu bertanya, tentang perdebatan kekerasan FPI dan keyakinan Ahmadiyah, atau antara JIL dan HTI dalam menghadapi pertentangan khilafah. semakin malam semakin serius, beberapa diantaranya mengeluarkan senjata hujjah terbaiknya. perdebatan mereka berlangsung seru hingga bulan terus bergerak hampir melewati titik puncaknya. dan saya sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan perdebatan soal agama, jadi tetap mendengarkan walau tangan dan mulut tidak bisa lepas dari aneka makanan dan kopi joss.
malam berhawa dingin dengan suasana panas itu memang berakhir dengan tawa dan senyuman, dan tentu saja dengan egoisme masing-masing manusia. egoisme dalam keyakinan dalam beragama dan egoisme tak acuh saya. saya senang karena diskusi itu tidak berefek terlalu jauh, setidaknya untuk persahabatan kami, walau saya pribadi agak sedikit rugi, gara-gara tidak ambil pusing dengan perdebatan itu, tangan saya tidak berhenti bergeriliya di tengah hamparan makanan, dan tebak saja hasilnya, saya tekor...
pembicaraan itu buat saya tidaklah terlalu substantif, dalam permasalahan agama. pandangan bahwa keyakinannya adalah yang terbaik terkadang membuat saya geli, seolah dialah sang pemilik kuasa atas garis-garis agama. pemilik tonggak yang paling benar.beberapa golongan yang menganggap alirannya yang paling benar dan yang lain salah bagi saya pribadi seperti menambah persoalan hidup yang tak kunjung reda.
malam itu ada seorang kawan yang bertanya, tentang pendapat saya akan perdebatan yang sedang berjalan, saat itu saya hanya menjawab dengan senyuman dan mulut penuh makanan. saya pikir keilmuan saya soal agama masih sangat cetek dan kecil, saya takut jika ikut urun pendapat justru malah mengacaukan suasana. sepertinya kawan itu memahami kebodohan saya.
saya percaya bahwa Allah mengetahui kebenaran mutlak. dengan begitu, sebenarnya hampir mustahil bagi seorang manusia untuk menjangkau realitas islam dalam kesempurnaannya. dalam keterbatasan diri dan pengetahuan yang ada pada diri saya, saya tidak berhak atas klaim kebenaran. bahkan saya justru beranggapan bahwa tak ada satupun manusia di masa modern kini yang berhak atas sebuah klaim kebenaran beragama dalam suatu agama.
dalam penilaian saya, pemahaman umat muslim terhadap doktrin-doktrin keagamaan sebenarnya bersifat relatif dan karenanya suatu waktu dapat berubah dan beragam. contoh nyata ada beberapa aliran mahzab dalam khazanah keilmuan fiqih, dan bentuk-bentuk aliran dari syiah hingga sunni, dari HT hingga JIL. di Indonesia saja ada bermacam-macam bentuk dan jenisnya dengan menggunakan pemahaman dan penafsiran alirannya masing-masing.
dengan adanya keragaman penafsiran terhadap islam di satu sisi, memunculkan keindahan, karena -katanya- keragaman adalah rahmah. dan dilain sisi, Islam semenjak meninggalnya Sayyidina wa Maulana Rasullulah Muhammad SAW, beragamnya penafsiran atas Al-Quran dan Hadist memang tidak bisa dibendung lagi. kenyataan ini membuktikan bahwa Islam tidak menganut sistem kependetaan dan keagamaan terpusat dalam beragama (la rahabaniyah fi al Islam). maka tak seorang pun dapat mengklaim bahwa pemahamannya atas islam yang paing benar dan otoratif di banding yang lain. karenanya penting sekali bagi kamum muslimin untuk mengembangakan toleransi beragama dalam, baik secara internal umat islam sendiri maupun ekternal dengan agama lain.
Terus terang saja, pengetahuan saya tentang Islam masih sangat minim sekali. Terhadap keislaman saya sendiri, saya masih belum yakin apakah sudah benar sesuai yang diridhai oleh Allah SWT. Karena itu saya tidak berani menilai keislaman bahkan keberagamaan orang lain; apalagi mengkafirkan dan menghalalkan darah orang. Jangan-jangan ketika saya menyalahkan orang, ternyata hakikatnya dalam pandangan Allah justru sayalah yang sesat. Karena kebenaran yang mutlak hanya milik Allah sendiri, saya sangat takut memutlakkan kebenaran pendapat saya; takut terjebak justru Men-Tuhan-kan pendapat saya, takut terjerumus syirik tanpa saya sadari. Na'udzu billahi mindzalik..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H