Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lamakera Mengaji: Konsep, Aplikasi dan Tantangannya

17 Mei 2024   05:46 Diperbarui: 17 Mei 2024   05:52 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Azis Maloko

Sampai sejauh ini masih cukup percaya pada tesis yang mengandaikan bahwa Lamakera memiliki khazanah yang begitu melimpah. Semakin dikorek melalui pelbagai kajian (terbatas maupun serius) akan semakin terkuak pelbagai khazanah yang tertimbun dalam pusaran rahim peradaban Lamakera. Sehingga, membuat seorang pembaca, peneliti dan penulis seputar ke-Lamakera-an semacam tergelam dalam kenikmatan dan kesyahduan untuk terus-menerus melakukan eksplanasi dan eksplorasi terhadap pelbagai khazanah di semesta Lamakera. Makanya, tidak heran jika ditemukan begitu banyak scholarship, khususnya tingkat strata satu (S1) dan sebagian strata dua (S2), yang mengambil tema penelitian seputar ke-Lamakera-an.

Salah satu tema terkait dengan ke-Lamakera-an adalah apa yang dinamakan dengan "Lamakera Mengaji". Tentunya, tema semacam ini bukan semata menjadi karakter inhern bagi masyarakat Lamakera. Sebab, pada masyarakat lainnya, khususnya masyarakat muslim, juga pasti memiliki konsep tentang "mengaji". Meski, konsepnya masih pada tataran nafsi-nafsi, belum sampai menyentuh pada gerakan kolektif-kolegial untuk "melembagakan" kebiasaan mengaji bagi semua masyarakat. Pun begitu halnya masyarakat Lamakera juga pada sesungguhnya belum sampai pada level gerakan dan menyata dalam struktur kehidupan sosial-masyarakat. Namun, sudah ada semacam wacana yang digulirkan untuk diwujud-nyatakan dalam kehidupan masyarakat.

Bila menengok ke belakang kita akan menemu-jumpai akar genealogis dibalik dari konsep "Lamakera Mengaji". Adalah seorang Bapak Pahlawan Mukin (tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan secara adat, agama maupun keilmuan tidak disertakan kata "nana" di depan namanya) sebagai orang (Lamakera) pertama kali yang memperkenalkan gagasan tentang "Lamakera Mengaji" (semoga saja tidak salah, karena sejauh ini baru informasi itu yang diperoleh). Gagasan demikian diperkenalkan dalam kegiatan "Lamak dan Halal Bihalal Virtual Keluarga Besar Lamakera se-Indonesia" saban hari, 6 Juni 2020. Lamak dan halal bihalal virtual merupakan sebuah gebrakan yang super dahsyat di tengah-tengah invasi Covid-19.

Sebagai salah satu panelis, Bapak Pahlawan Mukin memberikan banyak tanggapan reflektif dan aplikatif terhadap narasumber utama, yakni alm. Dr. Ali Taher Perasong, S.H., M.Hum. ketika menjelaskan cita-citanya menguliahkan anak-anak Lamakera di al-Qarawiyyin University of Maroko. Kalau tidak salah (ingat), secara garis besar, pokok-pokok pikiran terkait dengan tanggapannya kurang lebih ada tiga, di antaranya soal konsep "Lamakera Mengaji". Bahwa demi mewujudkan cita-cita agar anak-anak Lamakera dapat melanjutkan studinya di al-Qarawiyyin University of Maroko dengan syarat harus menghafal al-Qur'an 30 juz, maka perlu digalak6kan dan digerakkan program "Lamakera Mengaji".

Apa yang menjadi konsep, gagasan dan program yang ditawarkan oleh Bapak Pahlawan Mukin dalam rangka merespon dan menindaklanjuti cita-cita seorang alm. Ali Taher Perasong terbilang sangat realistis dan relevan. Sebab, salah satu wasilah yang dapat digunakan untuk mewujudkan cita-cita seorang Ali Taher Perasong adalah menggalakkan dan menggerakkan program "Lamakera Mengaji". Meskipun, sampai sejauh ini belum ditemukan adanya penjabaran spesifik dari apa yang menjadi konsep dan program "Lamakera Mengaji" itu sendiri. Mungkin saja waktu untuk memberikan tanggapan terbilang sangat terbatas sehingga tidak sampai dijelaskan secara lebih dalam dan spesifik lagi dalam bentuk peta konsep (roadmap).

Pada kenyataannya apa yang menjadi pokok pikiran tentang "Lamakera Mengaji" mendapat apresiasi dan support dari banyak kalangan orang Lamakera. Sehingga, pasca kegiatan Lamak dan Halal Bihalal virtual, konsep dan program  "Lamakera Mengaji" termasuk menjadi salah satu topik percakapan intens oleh banyak orang. Bahkan sudah ada yang sampai pada tingkat action dengan menyiapkan ruang untuk menjalankan program "Lamakera Mengaji". Bisa saja apa yang tengah dilakukan di Lamakera, yakni pembangunan Rumah Tahfizh yang notabenenya merupakan salah satu program rekomendasi musyawarah Munas 2023 dan menjadi program (afirmatif) YAMALI, bagian dari perwujudan program "Lamakera Mengaji".

 

Urgensitas Konsep Lamakera Mengaji

 

Jika dicermati lebih jauh lagi rupa-rupanya konsep "Lamakera Mengaji" bukan saja semata dalam rangka untuk "menjawab" dan mewujudkan harapan seorang ATP yang mencita-citakan untuk menyekolahkan (sebagian) anak-anak Lamakera di al-Qarawiyyin University, akan tetapi juga tidak terlepas dari kondisi kehidupan masyarakat Lamakera, khususnya anak usia sekolah maupun remaja. Meskipun kondisi semacam itu tidak menjadi pertimbangan khusus dalam memperkenalkan konsep "Lamakera Mengaji". Namun, secara langsung maupun tidak langsung sudah ter-include di dalamnya. Sebab, kondisi semacam itu bukan lagi menjadi rahasia, semua masyarakat Lamakera bisa tahu, hatta jauh dari Lamakera sekalipun.

Kondisi dimaksud terkait dengan kemampuan membaca al-Qur'an bagi anak-anak usia sekolah dan lainnya. Rupa-rupanya Lamakera yang diglorifikasikan sebagai locus dan episentrum peradaban Islam untuk semenanjung pulau Solor dan sekitarnya masih luput dengan hal-hal fundamental semacam itu. Banyak laporan yang disampaikan oleh banyak pihak perihal kondisi semacam itu. Dari Lamakera misalnya, Kepala Madrasah dan Kades Motonwutun dalam banyak kesempatan menyampaikan kondisi memprihatinkan itu. Dikatakan bahwa masih banyak anak-anak usia sekolah yang masih alla takka hulli (salah-salah) dan bahkan bisa hala hulli (tidak bisa) membaca al-Qur'an dengan baik dan benar sesuai standar pembacaan al-Qur'an.

Ironisnya, menurut laporan Kades Motonwutun pada rapat virtual melalui zoom meeting dengan Pengurus YAMALI, kondisi semacam itu bukan saja hanya terjadi pada anak-anak SDN/SD Inpres/MIN, akan tetapi juga terjadi pada anak-anak MTs N dan MAN. Hal ini menandakan ada problem serius terkait dengan pendidikan al-Qur'an di Lamakera. Di mana masih cukup banyak orangtua yang belum begitu memperhatikan pendidikan al-Qur'an bagi anak-anaknya. Bahkan lembaga pendidikan formal pun dapat dikatakan belum begitu maksimal menjalankan perannya untuk meningkatkan pendidikan al-Qur'an bagi anak usia sekolah sebelum mereka melanjutkan studinya. Pun anak-anak juga terlalu mengabaikan pendidikan al-Qur'an.

Makanya, tidak perlu heran dan kaget manakala banyak pula laporan dari dosen-dosen di kampus, khususnya dari dosen Lamakera maupun dosen lain yang memiliki kedekatan dengan dosen-dosen dari Lamakera. Laporan terkait dengan kemampuan membaca al-Qur'an anak-anak Lamakera yang menempuh studi pada beberapa perguruan tinggi bukan sebuah spekulasi dan sentimen, akan tetapi benar-benar terjadi di lapangan. Karena, di kampus sekarang ada namanya Program Baca Tulis al-Qur'an. Program ini wajib hukumnya diikuti semua mahasiswa (muslim). Termasuk mahasiswa Lamakera yang kuliah di situ  tentunya. Sistemnya semua mahasiswa dites bacaan al-Qur'annya sebelum mulai tahapan dan proses selanjutnya.

Salah satu surat yang seringkali dijadikan standar penilaian kemampuan bacaan mahasiswa (baru) adalah QS Maryam/19:1-5. Bahkan kadang kalau mahasiswa tidak bisa membaca dengan baik dan benar surat tersebut, maka digantikan dengan surat lain yang agak lebih mudah. Namun, banyak pula yang malah tidak bisa membacanya. Hal tersebut tentunya diketahui secara langsung oleh dosen-dosen bersangkutan. Apalagi banyak dosen-dosen Lamakera yang diamanatkan sebagai pengajar Program BTQ, sehingga mereka menyaksikan secara langsung problem terkait dengan ketidakmampuan sebagian anak-anak Lamakera dalam membaca al-Qur'an. Ditambah lagi laporan dari dosen lain sehingga semakin lengkap data dan validitasnya.

Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam, menjadi sumber utama ajaran Islam, baik berkaitan dengan akidah, syariat dan akhlak maupun lainnya. Sehingga, berislamnya seseorang harus mengacu secara langsung pada al-Qur'an (dan hadis dengan pemahaman ulama yang otoritatif tentunya). Sayang sekali jika mengaku sebagai umat Islam namun tidak mengenal dan tidak bisa membaca kitab sucinya: al-Qur'an. Padahal membaca al-Qur'an baru merupakan salah satu aspek dalam bermuamalah dengan al-Qur'an. Masih ada aspek lainnya, yakni memahami dan mengamalkan ajaran al-Qur'an. Logikanya, bagaimana ceritanya seseorang bisa memahami dan mengamalkan ajaran Islam ketika kitab sucinya saja tidak bisa dibaca?

Lebih spesifik lagi ternyata mempelajari dan membaca al-Qur'an dengan baik dan benar pada sesungguhnya terkait dengan kewajiban seseorang dalam beragama. Misalnya, kewajiban melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam. Dalam shalat terdapat syarat wajib, rukun dan sunnah-sunnah shalat, di antarannya terkait kewajiban membaca surat al-fatihah bagi imam maupun makmun. Selain tentunya bacaan lain yang terdapat dalam rangkaian ibadah shalat. Untuk bisa membaca surat al-fatihah dan bacaan lain dalam shalat dengan baik dan benar tentunya harus ada pengetahuan tentang huruf-huruf hijayah hingga mampu membaca al-Qur'an dengan baik dan benar. Karenanya, belajar al-Qur'an merupakan kewajiban asasi.

Pada konteks itu, rasanya aneh bin ajaib ketika mendengar salah seorang pembicara yang menganggap remeh jurusan agama di perguruan tinggi. Di mana memberikan masukan agar kiranya calon mahasiswa baru tidak perlu mengambil lagi jurusan agama karena sudah terlampau banyak lulusan dan alumni jurusan agama. Jurusan yang disarankan dan direkomendasikan untuk diambil oleh calon mahasiswa baru adalah jurusan-jurusan eksakta, humaniora dan serumpun lainnya. Entah apa alasan logisnya memberikan masukan dan rekomendasi semacam itu di tengah banyak problem yang menginvasi komitmen keagamaan siswa dan mahasiswa. Padahal orang yang ambil jurusan agama pun masih banyak problemnya.

Sebenarnya tidak ada masalah juga dengan pandangan dan rekomendasi semacam itu. Namun, perlu dikontraskan dengan konteks yang melingkupi kehidupan masyarakat dan mahasiswanya. Selain tentunya harus pula diperjelas eksistensi pembelajaran ilmu agama bagi mahasiswa yang mengambil jurusan eksakta, humaniora dan lainnya. Jangan sampai menganggap bahwa mempelajari ilmu agama tidak wajib dan penting. Atau terjebak dalam logika sekolah-isme dan linear-isme sebagaimana dikatakan oleh seorang Adian Husain dalam menjelaskan problem pendidikan bagi umat Islam. Kalau hal demikian yang terjadi, maka wajar manakala pada kenyataannya banyak yang tidak bisa membaca al-Qur'an dengan baik dan benar.

Memang di antara problem penting bagi umat Islam dalam kaitannya dengan pendidikan adalah tidak bisa membedakan ilmu yang tergolong fardhu ain dan fardhu kifayah serta mubah untuk dipelajari. Sehingga, banyak orang malah menjadikan ilmu pengetahuan yang bersifat fardhu kifayah dan mubah misalnya menjadi ilmu yang bersifat fardhu kifayah hingga mewakafkan waktu, kesempatan, potensi dan konsentrasi untuk mempelajarinya. Sementara ilmu yang bersifat fardhu ain malah dijadikan sebagai fardhu kifayah hingga dijadikan pilihan dan atau bergampang-gampangan dalam mempelajarinya. Implikasinya, banyak orang Islam yang tidak mempelajari ilmu agama yang bersifat fardhu ain. Akhirnya, mereka beragama tanpa ilmu.

Artinya, masyarakat muslim boleh mengambil jurusan apa pun (selama itu baik tentunya). Asalkan masyarakat muslim mengenal dan menyadari tentang ilmu yang bersifat wajib ain; ilmu yang terkait dengan kewajiban beragamanya. Karena, menjalankan kewajiban beragama juga membutuhkan disiplin keilmuan khusus di dalamnya, yakni keilmuan agama. Tidak mungkin mereka dapat menjalankan agamanya dengan baik dan benar kalau-kalau mereka tidak mengilmui tentang agamanya. Sehingga, meskipun mengambil jurusan lain, misalnya eksakta dan lainnya, mereka juga tetap mempelajari ilmu agamanya. Meskipun, metode pembelajarannya nanti hanya bersifat sambil lalu saja. Intinya, mereka tahu dulu ada ilmu wajib ain.

Itu baru satu aspek. Belum lagi aspek lain yang berkaitan dengan keislaman seseorang. Sebut saja shalat lima waktu, pun masih jauh panggang dari api. Masih banyak juga masyarakat yang absen dalam menjalankan shalat lima waktu, baik di masjid maupun di rumahnya. Bahkan kalangan yang dikatakan sebagai orang yang "tercerahkan" melalui proses pendidikan pun menjadi tauladan buruk dalam hal ini. Mereka bukan saja tidak shalat ketika di tempat mereka melanjutkan studi, baik di kampus maupun di organisasi dan kostnya, akan tetapi juga ketika mereka kembali pulang ke kampung halaman, Lamakera, untuk menjalankan misi organisasinya (berupa mengadakan kegiatan) maupun hanya sekedar pulang kampung karena libur.

Masih cukup akrab dalam memori ingatan banyak orang perihal kenyataan dan cerita tentang bagaimana mahasiswa-mahasiswa menghilang dari area masjid ketika tiba waktunya shalat. Padahal sebelum tiba waktu shalat mereka begitu ramai di pelataran masjid untuk mengatur segala sesuatu yang dibutuhkan dalam melakukan kegiatan mereka. Bayangkan kegiatan yang dilakukan di halaman masjid, namun mereka mengabaikan "hak" masjid, yakni sebagai tempat melaksanakan shalat ketika tiba waktunya. Mereka hanya menggunakan dan menikmati halaman masjid tanpa mau melaksanakan shalat (di masjid dan bisa-bisa saja di rumah juga tidak). Wajar kemudian banyak masyarakat menggugat dengan nada skeptis dan tidak respek.

Dengan kondisi semacam itu maka menjadi penting hukumnya untuk menggalakkan dan menggerakkan konsep "Lamakera Mengaji". Sebab, kondisi semacam itu harus segera diatasi. Meskipun, di lapangan sudah banyak Taman Pendidikan al-Qur'an (TPQ) yang mengambil bagian dan peran untuk menjawab dan mengatasi kondisi tersebut. Tidak ada salahnya jika konsep "Lamakera Mengaji" juga digalakkan dan digerakkan lebih sistematis dan masif lagi hingga masyarakat menerima sebagai sesuatu yang perlu untuk dilakukan sebagai masyarakat muslim pesisir yang memiliki komitmen kultural terhadap Islam. Sistemnya bisa saja membentuk komunitas baru dan bersinergi dengan TPQ yang ada atau langsung menterjemahkannya melalui TPQ yang ada.

Dengan demikian, konsep Lamakera Mengaji memiliki kedudukan dan peran yang begitu penting dan strategis dalam melakukan rekayasa dan kerja-kerja peradaban Lamakera. Setidaknya banyak perspektif dan approach yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal ihwal terkait urgensitas konsep "Lamakera Mengaji". Pertama; konsep "Lamakera Mengaji" dapat menumbuhkan semangat masyarakat Lamakera untuk lebih dekat dan akrab lagi dengan al-Qur'an; menjadikan al-Qur'an sebagai "teman hidup", selalu dibuka dan dibaca dalam setiap hari atau waktu-waktu tertentu. Tentunya, point ini terbilang penting sekali sebab berfungsi menemukan dan mengaktifkan kembali kesadaran dan semangat masyarakat dalam membaca al-Qur'an.

Kedua; konsep "Lamakera Mengaji" dapat menekan dan meminimalisir problem seputar ketidakmampuan membaca al-Qur'an bagi anak-anak usia sekolah maupun lainnya. Bila point sebelumnya berbicara pada kerak paling dasar terkait program "Lamakera Mengaji", maka point kedua ini bisa dikatakan sebagai "goal" yang hendak dicapai dari adanya program "Lamakera Mengaji". Meskipun, untuk sampai pada "goal" ini perlu adanya kesadaran dan semangat untuk mengakrabi al-Qur'an. Bahkan point yang diinginkan bukan saja masyarakat dapat membaca al-Qur'an dengan baik dan benar, namun juga tumbuh subur kesadaran dan semangat untuk terus membersamai dan mengakrabi al-Qur'an dalam hidup dan kehidupannya.

Program "Lamakera Mengaji" bukan semata membuat masyarakat Lamakera bisa membaca al-Qur'an sesuai dengan standar, akan tetapi melampaui itu semua, yakni paling penting adalah menumbuhkan kesadaran, semangat, kecintaan dan keakraban dengan al-Qur'an pada kedalaman jiwa masyarakat Lamakera. Sehingga, selalu ada alasan untuk membuka dan membaca al-Qur'an meski hidup dan kehidupan mereka dilingkupi oleh pelbagai macam kesibukan (dunia). Ya, untuk apa bisa membaca al-Qur'an jika pada akhirnya alumni-alumninya malah "pensiun dini" dari aktivitas membaca al-Qur'an? Padahal indikator penting kesuksesan program "Lamakera Mengaji" adalah melahirkan generasi yang selalu membersamai al-Qur'an.

Ketiga; konsep "Lamakera Mengaji" dapat membantu masyarakat, pemerintah Desa dan institusi pendidikan dalam menekan dan meminimalisir ketidakmampuan anak-anak usia sekolah dan lainnya yang masih belum bisa atau terbata-bata dalam membaca al-Qur'an. Semua masyarakat Lamakera pasti menginginkan anak-anaknya bisa membaca al-Qur'an. Begitu pun pemerintah Desa, Motonwutun maupun Watobuku, pasti juga mengingatkan masyarakatnya, khususnya anak-anak usia sekolah dan remaja bisa membaca al-Qur'an. Pun juga institusi pendidikan agama, baik yang ada di Lawo maupun perguruan tinggi di luar Lawo, menginginkan hal yang sama agar siswa/mahasiswanya bisa membaca al-Qur'an.

Perihal keinginan masing-masing element tersebut tidak perlu disurvei. Sebab, masyarakat Lamakera pada umumnya seperti itu. Mereka begitu peduli dan perhatian terhadap pendidikan al-Qur'an bagi anaknya. Makanya, kadang mereka marah-marah sampai memukul anaknya kalau tidak mau mengaji. Bahkan kadang tiba waktu mengaji mereka akan golla gamadi (berteriak memanggil) anaknya kalau anaknya belum di rumah dan siap-siap pergi mengaji. Terlepas ada kasus orangtua mengabaikan pendidikan al-Qur'an bagi anaknya. Dan terlepas pula kalau-kalau belakangan ini nyaris semua masyarakat tidak peduli dan perhatian terhadap pendidikan al-Qur'an bagi anaknya. Mungkin saja telah terjadi shifting paradigma and culture. 

 

Begitu pula pemerintah Desa, khususnya Desa Motonwutun karena informasi itu sering didengar secara langsung ketika mengikuti zoom meeting maupun membaca beberapa komentar di kolom status Pengasuh TPQ al-Ahsun, kanda Husain Maloko, juga memiliki kepedulian dan perhatian yang begitu serius terhadap pendidikan al-Qur'an bagi anak usia sekolah dan remaja. Makanya, Kepala Desanya termasuk begitu bersemangat ketika memberikan laporan sekaligus penjelasan terkait kemampuan baca al-Qur'an anak usia sekolah dan remaja. Bahkan beliau termasuk begitu prihatin dengan kondisi semacam itu dan berharap agar segera teratasi. Semoga saja ke depannya ada Perdes mewajibkan anak usia sekolah harus bisa mengaji.

Sementara pada institusi pendidikan dapat dilihat pada program yang dicanangkan. Misalnya, di tingkat sekolah sekarang semacam ada program harus bisa membaca al-Qur'an bahkan menghafal beberapa surat pendek dalam al-Qur'an. Tentunya, program semacam ini memiliki nilai positif dan utilitas yang luar biasa. Semoga ke depannya madrasah di Lamakera "mewajibkan" siswanya menghafal beberapa ayat pendek sebagai syarat tambahan kenaikan kelas maupun kelulusan. Sehingga, mahasiswa termotivasi dan terpacu adrenalinnya untuk bisa membaca dan menghafal al-Qur'an. Hal yang serupa juga terjadi di kampus-kampus. UIN Alauddin memiliki program BTQ dan mensyaratkan hafal Juz Amma untuk bisa mengikuti ujian munaqish.

Makanya, program "Lamakera Mengaji" mau tidak mau memberikan kontribusi begitu besar terhadap tiga element tersebut. Apalagi kalau program ini bergerak dari bawah, dari anak-anak usia SD/MI atau TK/RA misalnya. Sehingga, ketika masuk institusi pendidikan tingkat SD/MI sudah ada bekal dalam bidang pendidikan al-Qur'an. Pihak sekolah tinggal mengasah dan mengembangkan lebih lanjut dengan program pendidikan al-Qur'an yang dicanangkan di sekolahnya masing-masing. Begitu pula ketika lanjut SMP/MTs, SMA/MA dan perguruan tinggi. Akhirnya, para orangtua dan pemerintah Desa dapat terbantukan dan institusi pendidikan pun tidak pusing dan repot lagi dengan siswa dan mahasiswanya gara-gara tidak bisa membaca al-Qur'an.

Keempat; konsep "Lamakera Mengaji" juga dapat membuka dan memberikan akses bagi anak-anak Lamakera untuk melanjutkan studinya pada perguruan tinggi bergengsi, baik di dalam maupun di luar. Misalnya, di luar negeri terkait dengan kampus yang menjadi cita-cita alm. Ali Taher Perasong, yakni al-Qarawiyyin University of Maroko. Kampus-kampus dalam negeri pun banyak. Ada UIN Alauddin Makassar, Unhas, UNM, UMI, Unismuh Makassar, UIN Yogyakarta, UGM Yogyakarta, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Jember, UNJ, UAD Yogyakarta, UII Jakarta dan lainnya yang menyediakan pos beasiswa bagi calon mahasiswa yang memiliki hafalan tertentu. Di sini program "Lamakera Mengaji" harus juga dalam bentuk Tahfizh al-Qur'an.

Kelima; konsep "Lamakera Mengaji" juga dapat menekan dan meminimalisir patologi sosial yang seringkali dilakoni oleh anak-anak usia sekolah dan remaja. Biasanya anak-anak akan teralihkan dari dunia hedonistik dan oportunistik hingga patologi sosialnya manakala mereka disibukkan dengan kebaikan. Ketika mereka fokus dan disibukkan dengan kebaikan, maka peluang untuk tidak masuk dalam perangkat kehidupan hedonistik dan oportunity akan tertutup lebar. Seolah-olah mereka lupa dengan dunia lain, khususnya dunia hedon dan oportunistik, karena tenggelam dalam program "Lamakera Mengaji". Di situlah relasinya dengan sebuah ungkapan bahwa keburukan dan kejahatan kadang hanya diperbaiki dengan menyediakan ruang kebaikan.

Bentuk dan Format Lamakera Mengaji

 

Mengacu pada logika penjelasan sebelumnya di atas, maka dapat dikembangkan dan dirumuskan beberapa bentuk dan format "Lamakera Mengaji" untuk menjadi bahan pertimbangan dalam memperjuang-wujudkan program "Lamakera Mengaji" menyata dalam semesta kehidupan masyarakat Lamakera. Bentuk dan formatnya pun nyaris tidak ada yang baru, sebagian besarnya sudah menyata dalam kehidupan masyarakat Lamakera. Kecuali hanya beberapa saja yang terbilang agak baru karena menyesuaikan dengan banyak kebutuhan. Klasifikasi tentang bentuk dan format ini memang sangat perlu agar supaya jelas wilayah kerjanya program Lamakera Mengaji, sehingga memudahkan proses evaluasi dan peningkatan mutunya.

Pertama; bentuk mengajinya seperti yang tengah berjalan dan dijalankan oleh TPQ se-Lamakera. Sebut saja TPQ al-Ahsun besutan kanda Husain Maloko yang sudah bertahun-tahun lamanya mengambil bagian dalam meningkatkan pendidikan al-Qur'an anak-anak Lamakera. Artinya, bentuk pertama ini mengandaikan bahwa konsep dan program Lamakera Mengaji seperti yang telah dilakukan oleh TPQ se-Lamakera. Bisa saja Rumah Tahfizh yang sementara dibangun dan dalam tahapan finishing juga memiliki bentuk dan format mengajinya sama dengan yang dilakukan oleh TPQ se-Lamakera. Keduanya hanya beda namanya saja: ada namanya TPQ dan adanya namanya Rumah al-Qur'an, namun tujuannya sama.

Selama ini terlihat bahwa lembaga pendidikan al-Qur'an semacam TPQ sudah menjalankan tugasnya dengan maksimal dan sebaik-baik mungkin untuk mendidik dan membina anak-anak Lamakera agar dapat membaca al-Qur'an. Lembaga TPQ sudah berhasil mendidik dan membina ratusan anak-anak Lamakera. Ada yang melanjutkan studi sampai ke perguruan tinggi dan sudah sarjana. Ada yang menjadi Polisi, TNI dan lain sebagainya. Dalam menjalankan tugasnya, TPQ termasuk "lembaga ikhlas beramal", mereka mendidik dan membina anak-anak Lamakera secara gratis dan riang gembira. Meski di luar sana, khususnya di kota-kota, pembelajaran ilmu apa pun, termasuk ilmu agama di dalamnya, membutuhkan cost.

Kedua; bentuk mengajinya seperti yang disampaikan oleh Bapak MHR Sikkah pada sesi tanya-jawab dalam kegiatan seminar pendidikan yang diadakan oleh YAMALI di Lamakera pada 27 Juni 2023. Di mana bentuk mengaji yang disampaikan oleh Bapak MHR Sikkah (dalam bentuk refleksi dan nostalgia historis) adalah bahwa para orangtua tempo doeloe selalu membaca al-Qur'an dari rumahnya masing-masing dengan suara yang agak besar sehingga orang-orang yang lewat bisa mendengarkan Meme dan Belle ini dan itu lagi mengaji membaca al-Qur'an. Apa yang disampaikan ini _konon_ dikarenakan kini fenomena semacam itu nyaris tidak ditemukan dan didengar lagi ketika melewati ruas-ruas jalan Lamakera, dari Motonwutun hingga Watobuku.

Bentuk mengaji semacam itu menjelaskan bahwa konsep dan program Lamakera Mengaji tidak hanya diperuntukkan kepada masyarakat yang berusia sekolah dan remaja, akan tetapi menyentuh juga lapisan masyarakat yang sudah tua sekalipun. Ya, mengaji memang bukan hanya domain dan monopoli kaula muda, akan tetapi semua umat Islam, baik tua maupun muda dan laki-laki maupun perempuan. Selama mereka sebagai umat Islam dan memiliki kemampuan membaca al-Qur'an, maka selama itu pula mereka punya hak untuk membacakan al-Qur'an, hatta dengan suara lirih maupun agak besar dan keras. Hanya saja mungkin kurikulum mengaji nanti agak berbeda. Maklum karena berbeda generasi.

Ketiga; bentuk  mengajinya adalah pembinaan tilawah dan maqamat. Bentuk ini sudah sempat dijalankan di Lamakera dengan berpusat di masjid al-Ijtihad Lamakera. Namun, belakangan ini nyaris tidak terlihat dan terdengar lagi kegiatan pembinaan tilawah al-Qur'an dan maqamat. Orientasi dari bentuk mengaji tersebut adalah pembinaan tilawah dan maqamat bagi generasi Lamakera yang berpotensi dan diharapkan bisa tampil dalam banyak ajang. Dengan demikian, orang yang mengikuti model Mengaji ini adalah anak-anak usia sekolah dan remaja yang sudah memiliki basis dalam pembacaan al-Qur'an serta dipandang memiliki potensi dan bakat untuk dikembangkan dalam pembinaan tilawah dan maqamat.

Bentuk mengaji tersebut sangat realistis dan relevan dengan konteks. Di mana sudah menjadi habitus yang wajib dalam tahun-tahun tertentu adalah diadakan lomba MTQ dengan berbagai tingkat dan jenjangnya. Bersamaan dengan itu nyaris tidak ditemukan ada utusan dari Lamakera dalam setiap ajang kompetisi MTQ, hatta tingkat Kabupaten sekalipun, apalagi tingkat Provinsi, Pusat dan Internasional. Sehingga, dengan bentuk dan format mengaji tersebut diharapkan dapat menyiapkan dan juga mengorbitkan anak Lewotanah dalam dunia per-tilawah-an dan per-maqamat-an. Paling tidak nantinya ada anak-anak Lamakera yang muncul dalam setiap ajang kompetisi MTQ, minimal sekali pada tingkat Kota dan Kab.

Keempat; bentuk mengajinya adalah Program Takhassush Tahfizh al-Qur'an. Program ini boleh dikatakan sebagai program terpenting dalam konsep pendidikan al-Qur'an pada umumnya (bukan konsep "Lamakera Mengaji" secara khusus karena sangat boleh jadi banyak orang malah belum sepakat dengan adanya Program Takhassush Tahfizh al-Qur'an), meskipun program tersebut hanya merupakan salah satu bentuk dan format penting dalam pendidikan al-Qur'an. Di mana masih ada lagi level di atasnya, yakni pemahaman dan pengamalan terhadap kemampuan bacaan dan hafalan al-Qur'an. Karena, mempelajari al-Qur'an memiliki level masing-masing. Bahkan level membaca pun masih ada juga level-level yang menjadi turunannya.

Bentuk tersebut menuntut orang yang mempelajari al-Qur'an harus naik kelas. Tidak hanya berkutat pada kemampuan membaca al-Qur'an. Pun tidak boleh berhenti ada kemampuan mentilawahkan al-Qur'an dengan pelbagai macam irama yang begitu aduhai dan menggoda keimanan. Karena, al-Qur'an memang bukan hanya untuk hal-hal semacam itu. Akan tetapi , lebih baiknya dihafal, dipahami, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang muslim yang konsekuen pada ajaran agamanya. Meskipun, bentuk dan metode mengaji semacam itu terbilang agak sulit dalam konteks Lamakera jika tidak melakukan rekayasa dan pengkondisian terlebih dahulu terhadap lingkungan masyarakat.

 Program Takhassush Tahfizh al-Qur'an memiliki manfaat dan peranan yang begitu besar bagi kerja-kerja peradaban untuk Lamakera ke depannya. Jika dari program ini lahir banyak muhaffizh dan melanjutkan studinya di perguruan tinggi, termasuk perguruan tinggi yang dicita-citakan oleh alm. Ali Taher Perasong maupun misalnya, maka yakinlah ke depannya Lamakera akan memiliki banyak SDM dengan pelbagai bidang keahlian, namun mereka juga dikenal sebagai muhaffizh. Mereka bisa balik kampung untuk melanjutkan kerja-kerja peradaban yang telah dirintis dan dijalankan. Sehingga, Lamakera tidak perlu lagi mencari dan mendatangkan mentor pendidikan al-Qur'an untuk melakukan pembinaan tahfizh maupun tilawah.

Kelima; bentuk mengajinya adalah pengajian Majelis Taklim. Bentuk ini masuk kategori dakwah; transformasi ilmu dan ajaran agama dalam frame watawa saw bilhaqq watawa saw bisshobr.  Bentuk ini merupakan hasil diskusi dengan ayahanda Dr. HM Thahir Maloko, M.H.I. dengan berangkat dari fakta di lapangan terkait dengan sudah terbentuknya kelompok Majelis Taklim. Entah, kelompok Majelis Taklim di Lamakera sudah berapa banyak. Mungkin saja Majelis Taklimnya berdasarkan suku, desa dan juga kampung. Berarti jumlahnya bisa tujuh sampai sembilan Majelis Taklim. Kalau pun tidak ada misalnya, maka perlu diadakan. Sebab, masyarakat Lamakera membutuhkan Majelis Taklim sebagai wadah pembelajaran ilmu agama.

Bila bentuk-bentuk mengaji dan atau pengajian sebelumnya lebih diperuntukkan pada kelompok usia tertentu secara terpisah-pisah (misalnya TPQ, Rumah al-Qur'an, Pembinaan Tilawah, Program Takhassush Tahfizh al-Qur'an untuk anak-anak usia sekolah dan remaja), maka pengajian Majelis Taklim diperuntukkan bagi semua kelompok dan kalangan. Sebab, majelis taklim bisa untuk kelompok anak usia sekolah dan remaja, bisa untuk bapak-bapak dan bisa juga untuk emak-emak. Masing-masing kelompok usia dan jenis kelamin bisa memiliki majelis taklim. Misalnya, untuk bapak-bapak satu majelis taklim dan untuk ibu-ibu satu majelis taklim. Dan lazimnya memang seperti itu halnya. Jarang digabung laki-laki dan perempuan.

Rupa-rupanya di Lamakera majelis taklimnya masih didominasi oleh kelompok emak-emak. Sementara untuk bapak-bapak nampaknya belum ada majelis taklimnya. Tidak mengapa. Intinya ada dulu majelis taklim di sana. Sehingga, suasana pengajian tetap ada mewarnai jagat kehidupan masyarakat Lamakera. Tinggal ke depannya diatur dan bilamana dikembangkan lebih lanjut. Di antaranya dengan membentuk majelis taklim untuk bapak-bapak agar supaya bapak-bapak juga punya ruang pembelajaran dan tentunya tidak boleh kalah (dong) dengan emak-emak. Atau bisa juga disetting saja melalui pengajian akbar majelis taklim dengan melibatkan juga bapak-bapak sebagai peserta atau jama'ahnya, biar suasana agak ramai dan meriah.

Eksistensi keberadaan majelis taklim sebenarnya memiliki kedudukan dan peran sangat penting dalam membantu kerja-kerja peradaban. Karena, seperti dikatakan dalam sebuah pepatah, perempuan merupakan tiang penyanggah peradaban. Bila perempuan terdidik dan tercerahkan, walau hanya melalui majelis taklim, maka dari rahimnya akan lahir generasi-generasi hebat. Sebaliknya, jika  perempuan mengalami diskriminasi dalam pelbagai bentuknya, terkhusus diskriminasi dalam akses pendidikan dan pencerahan, maka tiang dan tonggak peradaban akan rapuh dan runtuh. Selain itu, keberadaan majelis taklim juga bisa menjadi medium bagi diaspora Lamakera untuk memberikan pencerahan ketika pulang kampung.

Langkah Mewujudkan Lamakera Mengaji

 

Setelah jelas konsep dasar terkait dengan apa dan bagaimana program Lamakera Mengaji, maka langkah selanjutnya adalah mewujudkannya menjadi sebuah kenyataan. Action untuk mewujudkan konsep dan program Lamakera Mengaji adalah jauh lebih penting dan sangat-sangat diharapkan oleh banyak pihak. Untuk mewujudkannya tentunya membutuhkan langkah-langkah khusus dan tertentu di dalamnya. Terdapat banyak langkah yang dapat digunakan dalam mewujudkan konsep dan program Lamakera Mengaji. Langkah-langkah ini bisa mengacu secara langsung pada bentuk dan format program Lamakera Mengaji. Bisa juga dikembangkan secara bebas, namun dengan basis argumentasi yang kuat di dalamnya.

Pertama; menyiapkan sumberdaya manusia (SDM). Program Lamakera Mengaji yang dibahas panjang lebar di atas maupun dipercakapkan banyak orang merupakan bagian dari intelectual engineering (rekayasa intelektual), social engineering (rekayasa sosial) dan civilization engineering (rekayasa peradaban), sehingga membutuhkan SDM yang menjadi lokomotif dan katalis di dalamnya. SDM memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dan strategis dalam hampir semua sektor dan segmentasi kehidupan. Terutama sekali sektor dan segmentasi kerja-kerja peradaban. Apa dan bagaimana program Lamakera Mengaji sangat ditentukan oleh SDM yang diberikan amanah untuk menghandle dan menjalankannya.

Karena itu, menyiapkan SDM harus menjadi "mega proyek " dan "program prioritas" dalam mengawali dan memulai kerja-kerja peradaban. Tidak boleh menganggap remeh-temeh dan bergampang-gampangan dalam kaitannya dengan SDM. Sebab, ketersambungan sejarah Lamakera pada hari-hari akan datang sangat terpulang pada SDM yang dipersiapkan pada hari-hari ini. Jika konsepnya hanya bersifat jangka pendek, maka penyiapan SDM bisa dalam bentuk mendatangkan orang-orang di luar Lamakera (outside) untuk menjadi mentor dalam menghandle program Lamakera Mengaji. Seperti misalnya program pembinaan tilawah al-Qur'an saban hari dengan mendatangkan mentor dari luar Lamakera karena Lamakera tidak punya "stok".

Namun, jika konsepnya bersifat jangka panjang, maka perlu dipersiapkan matang-matang SDM yang akan mengisi pos-pos yang masih kosong dalam keseluruhan rangkaian kerja-kerja peradaban, khususnya terkait dengan program Lamakera Mengaji. Sistemnya adalah mengidentifikasi anak-anak Lamakera yang berpotensi untuk dilanjutkan studi di bidang ilmu al-Qur'an dan tafsir yang antara lain juga dimaksudkan di dalamnya untuk menjadi muhaffizh yang memiliki kemampuan tambahan di bidang tilawah dan maqamat. Untuk adilnya bisa diambil permasing-masing suku yang ada di Lamakera. Dengan syarat mereka-mereka yang dilanjutkan studinya membuat MoU untuk mengabdi di Lamakera setelah selesai studi.

Konsep demikian bisa dikembangkan untuk aspek-aspek lain. Misalnya, masyarakat Lamakera menginginkan imam shalat tarawih, Idul Fitri dan Idul Adha harus memiliki bacaan dan suara yang bagus (sebagai pendamping imam utama atau tetap), maka aspirasi masyarakat tersebut bisa dikembangkan dalam bentuk program penyiapan SDM dari anak-anak Lamakera sendiri. Tidak perlu mendatangkan orang lain untuk menjadi imam. Sekali lagi, karena semuanya itu adalah bagian dari social engineering and civilization engineering, maka perlu dipersiapkan pula. Sistem dan tekniknya bisa mendelegasikan anak-anak Lamakera tertentu (bisa juga berdasarkan suku) untuk mengikuti program Takhassush Tahfizh al-Qur'an.

Nah, berdasarkan bentuk dan format Lamakera Mengaji, SDM yang disiapkan (harus) memiliki beberapa kompetensi dan kualifikasi. Paling tidak hanya tiga kompetensi dan kualifikasi saja yang dibutuhkan. Itupun hanya mengisi pos pembinaan tilawah dan maqamat, program Takhassush Tahfizh al-Qur'an dan pengajian Majelis Taklim. Sementara pengajian dalam bentuk TPQ sudah memiliki SDM masing-masing. Tiga kompetensi dan kualifikasi dimaksud adalah seorang mentor yang ahli di bidang tilawah dan maqamat. SDM ini bisa saja muhaffizh dan bisa saja tidak. Intinya, punya bacaan al-Qur'anbdengan baik dan benar sesuai standar bacaan plus memiliki kompetensi dan kualifikasi khusus di bidang tilawah dan maqamat.

Pada program Takhassush Tahfizh al-Qur'an dibutuhkan SDM yang secara khusus sebagai seorang muhaffizh. Lebih bagus lagi kalau-kalau muhaffizhnya cum jago bahasa Arab, baca kitab gundul (qira'atul kutub) dan jago pula tilawah dan maqamat. Sungguh luar biasa kalau-kalau SDM semacam itu mendiami Lamakera dan menjalankan program Lamakera Mengaji, khususnya dalam bidang pembinaan tilawah dan maqamat serta program Takhassush Tahfizh al-Qur'an. Sementara untuk program pengajian Majelis Taklim juga bisa dipersiapkan SDM secara khusus dalam bidang gituan, baik berasal dari dunia pendidikan formal maupun pengalaman pembinaan dakwah atau menggabungkan keduanya, untuk membantu mereka yang sudah ada di kampung.

Kedua; membangun sistem. Kerja-kerja peradaban secanggih apa pun tidak akan terwujud menjadi sebuah kenyataan historis dalam struktur kehidupan masyarakat manakala tidak disupport oleh sebuah sistem. Sistem memiliki kedudukan dan peran untuk "mengikat", mengendalikan dan meminimalisir pelbagai potensi "homo homoni lupus" dan nasut yang dimiliki manusia agar supaya apa yang menjadi konsep dan program rekayasa peradaban dapat berjalan sebagaimana diharapkan bersama. Meski sangat disadari bahwa kehidupan manusia tidak akan mungkin bisa  lepas dari pelbagai macam tantangan. Karena, tantangan adalah bagian dari sunnatullah, syarat kehidupan yang akan dihadapi oleh semua manusia.

Secara umum dapat dikatakan bahwa tata dunia membutuhkan sebuah sistem. Begitu pula negara-negara dunia dengan berbagai bentuk negaranya juga membutuhkan sistem, baik negara teokrasi, republik, monarki dan lain sebagainya. Begitu pula sebuah institusi pendidikan dalam pelbagai bentuknya juga membutuhkan sebuah sistem. Organisasi dan Yayasan pun membutuhkan sebuah sistem. Bahkan masyarakat adat sekalipun membutuhkan sistem nilai (value system) yang bernama hukum adat sebagai salah satu hukum tidak tertulis dan menjadi living law (hukum yang hidup). Sehingga, cukup alasan untuk membangun sebuah sistem dalam rangka melegitimasi dan mensupport kerja-kerja peradaban.

Sistem yang perlu dibangun untuk melegitimasi dan mensupport kerja-kerja peradaban ada dua, yaitu sistem yang datang atau mengudara dari struktur(al) dan sistem yang terbentuk dari kultur. Sistem struktural adalah sebuah sistem yang dibuat oleh pemerintah dan juga lembaga yang bergerak di bidang terkait untuk mengatur lalu lintas pelaksanaan program dan kerja-kerja peradaban. Misalnya, pemerintah Desa membuat sebuah sistem untuk melegitimasi dan mensupport hal tersebut. Atau Yayasan yang membuatnya. Sementara sistem kultural adalah sebuah sistem yang akhir dari kesadaran masyarakat untuk ikut terlihat dalam program dan kerja-kerja peradaban. Wujudnya bisa tulisan atau tidak tertulis sebagaimana menjadi karakter khasnya.

Termasuk bagian penting dari sistem yang dibangun oleh Yayasan yang memiliki konsep dan program Lamakera Mengaji adalah mengatur hal ihwal terkait dengan apa dan bagaimana pelaksanaan konsep dan program Lamakera Mengaji. Sebagai contoh, jika konsep dan program Lamakera Mengaji adalah Takhassush Tahfizh al-Qur'an, maka santri-santrinya perlu diasramakan dan dikarantina serta melakukan sterilisasi lingkungan. Selain itu, harus membuat kurikulum pendidikan Takhassush Tahfizh al-Qur'an, khususnya tentang apa dan bagaimana aktivitas seorang santri program Takhassush Tahfizh al-Qur'an di Pondok, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Semuanya diatur dalam sebuah sistem sehingga bisa menjadi guidance.

 

Ketiga; membangun soliditas dan sinergitas-kolaborasi antar element. Sama dengan sebelumnya di atas, kerja-kerja peradaban tidak bisa dilakukan oleh individu-individu, sekuat dan sehebat apa pun individu itu. Tanpa orang lain manusia bagaimana puing-puing reruntuhan. Karenanya, perlu membangun soliditas dan sinergitas-kolaborasi antar element dalam mensupport kerja-kerja peradaban. Tema kegiatan reuni saban hari sepintas lalu agak menarik dan menggelitik karena tidak berjarak dengan konteks kehidupan masyarakat Lamakera, khususnya sebagian kalangan elit. Di situ seolah-olah semuanya terpanggil untuk kembali merajut cinta melalui ruang-ruang perjumpaan yang tersedia untuk membangun Lamakera berkeadaban.

Sehingga, sejatinya tidak perlu lagi ada polarisasi dan sekat sektarian dalam kerja-kerja peradaban. Sebab, tidak ada faidahnya membangun pagar pembeda dan pemisah antar sesama anak Lewotanah, apalagi hanya karena sentimen dan relasi kuasa yang arogan dan abuse. Sekarang saatnya bersatu, meskipun tetap dalam fragmentasi perbedaan yang belum dipertemukan. Karena, persatuan hanya terbentuk karena adanya perbedaan. Dan, persatuan tidak mesti melenyapkan dan menghapus keseragaman yang terbentuk dari pelbagai perbedaan. Sebab, watak realitas adalah keseragaman: heterogen dan pluralitas. Bahkan watak realitas kebangsaan pun demikian halnya. Makanya, ada semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

 

Memang membangun soliditas dan sinergitas-kolaborasi membutuhkan keterbukaan pikiran, kelapangan jiwa, kejernihan dan kearifan batin untuk saling memahami dan menghargai dalam pelbagai hal. Dengannya pelbagai macam fragmentasi perbedaan akan disikapi dengan hati tenang dan riang gembira. Bahkan dengannya pelbagai maca dinamika yang tumbuh subur dalam bilik-bilik ikhtiar membangun peradaban disikapi dengan cerdas dan sesekali dengan gemoy-santuy. Tidak ada ceritanya intrik, intimidasi dan teror di sana. Tidak ada pula saling sikat dan sikut mempertahankan eksistensi, mengkapling kebenaran dan dukungan. Karena, semesta jiwa, hati dan pikiran sudah bersih dan jernih semua.

Soliditas dan sinergisitas-kolaborasi yang paling penting untuk dibangun adalah kalangan intelektual dan elit, pemerintah, masyarakat, institusi pendidikan dan lembaga TPQ. Di sini perlu menjadi perhatian khusus adalah lembaga TPQ. Soliditas dan sinergitas-kolaborasi harus diperkuat antar Yayasan dan lembaga TPQ. Karena, seperti diketahui bersama, lembaga TPQ sudah berkontribusi besar dan nyata dalam memulai dan mengawal kerja-kerja peradaban dalam lanskap pendidikan al-Qur'an.  Lembaga TPQ sudah membersamai banyak anak-anak Lamakera dalam suka maupun duka hingga membuat anak-anak Lamakera bisa berkenalan dengan huruf-huruf hijayah dan mampu kemudian membaca al-Qur'an.

Keempat; membangun dan menyiapkan fasilitas. Langkah ini sangat penting oleh sebab pelaksanaan konsep dan program Lamakera Mengaji membutuhkan sebuah fasilitas yang memadai, representatif, kondusif, aman dan nyaman. Tidak mungkin pelaksanaan kegiatan konsep dan program Lamakera Mengaji tanpa disupport oleh fasilitas. Setidaknya di Lamakera sudah memiliki fasilitas yang lumayan. Kalau lembaga TPQ menggunakan fasilitas rumah masing-masing pemilik dan pengampuhnya. Misalnya, TPQ al-Ahsun Motonwutun menggunakan rumah pribadi sebagai tempat pembelajaran. Meskipun, terbilang sederhana, sampai sejauh ini tetap digunakan sebagai tempat pembelajaran yang mengasyikkan.

Ada juga Rumah al-Qur'an yang sementara dibangun dan dalam proses finishing. Dibandingkan dengan tempat pembelajaran TPQ, fasilitas pembelajaran al-Qur'an di Rumah al-Qur'an mungkin jauh lebih representatif. Wajar-wajar karena Rumah al-Qur'an memang dibangun hanya untuk digunakan sebagai tempat pembelajaran al-Qur'an, selain sebagai musholla tempat shalat bagi masyarakat sekitar. Fasilitas TPQ dan juga Rumah al-Qur'an yang ada di Lamakera sesuai dengan bentuk pembelajaran yang ada, yakni pembelajaran seperti biasanya. Termasuk untuk pembinaan tilawah dan maqamat. Bisa juga menggunakan musholla Baburrahmah Tanjung Motonwutun dan masjid al-Ijtihad untuk pembinaan tilawah dan maqamat.

Berbeda lagi kalau program Takhassush Tahfizh al-Qur'an, tidak cukup tempat semacam TPQ dan Rumah al-Qur'an. Karena, program tersebut membutuhkan tempat khusus yang agak lebih besar, di dalamnya ada pengasramaan santri agar lebih fokus dan aman dalam melakukan hafalan al-Qur'an. Tempat yang cocok untuk menjalankan program Takhassush Tahfizh al-Qur'an adalah MAN 2 Flores Timur. Tempatnya agak jauh dari pusat kehidupan masyarakat Lamakera, jauh pula dari kebisingan dan kegaduhan. Apalagi di sana juga ada fasilitasnya yang agak lengkap, berupa asrama dan infonya akan dibangun musholla sekolah. Sistemnya nanti dibagi dua, yakni kelas murni dan kelas murni plus tahfizh.

Point penting dari langkah ini adalah tetap membiarkan TPQ menjalankan tugasnya sebagai lembaga pendidikan non formal yang berfungsi untuk mendidik dan membina kera muri tawa gere dalam bidang al-Qur'an dan ilmu-ilmu keislaman dasar berupa pelatihan tata cara wudhu, praktek shalat, penanaman adab dan lainnya. Tidak boleh menggeser atau mencoba untuk menguburkan peran moral, spiritual, edukatif dan historis yang telah dilakukan lembaga TPQ hanya karena ada lembaga baru yang mencoba menawarkan misi yang sama dalam meningkatkan pendidikan al-Qur'an anak-anak usia sekolah dan lainnya, hatta menertibkan sebagai bagian dari lembaga tertentu. Di situlah wujud nyata membangun soliditas dan sinergitas-kolaborasi.

Kelima; membangun budaya apresiasi dan support terhadap kerja-kerja peradaban. Langkah ini secara khusus diperuntukkan kepada lembaga TPQ se-Lamakera yang sudah berjasa membangun budaya pendidikan al-Qur'an hingga melahirkan kera muri tawa gere sebagai manusia-manusia al-Qur'an; manusia yang bisa mengenal huruf-huruf hijayah, mengenal al-Qur'an beserta keagungan dan keutamaannya, dapat membaca al-Qur'an sesuai standar dan menjadikan al-Qur'an sebagai teman hidupnya (walau belum sepenuhnya). Semua dilakukan secara gratis dan cuma-cuma, semata ikhlas mengajarkan al-Qur'an pada ummat, tidak ada biaya pendidikannya. Makanya, lembaga TPQ termasuk salah satu "lembaga ikhlas beramal".

Dengan kerja-kerja peradaban yang begitu agung dan dahsyat tentunya lembaga semacam TPQ patut diapresiasi dan disupport habis-habisan. Mereka bukan saja diberikan ruang untuk tetap mengembangkan dan menjalankan misi umat dalam mendidik dan membina generasi di bidang pendidikan al-Qur'an, tetapi perlu juga diapresiasi dan disupport. Meskipun, mereka sama sekali tidak mengharap, apalagi mengemis-ngemis, untuk mendapatkan apresiasi dan support dari pelbagai pihak. Toh, selama ini mereka tetap tumbuh subur dan bermekaran dalam melakukan kerja-kerja peradaban di bidang pendidikan al-Qur'an hatta tidak mendapat apresiasi dan support dari pihak manapun. Lagi-lagi, karena mereka ikhlas beramal.

Namun, sebagai manusia dan atau kelompok manusia yang memiliki watak rasionalistik dan sensitiftas rasa kemanusiaan yang paling otentik tentunya tidak akan mungkin begitu tega (hati) dan masa bodoh membiarkan begitu saja kerja-kerja peradaban yang dilakukan oleh lembaga TPQ. Paling tidak memberikan apresiasi dan support moral manakala apresiasi dan support dalam "wujud lain" masih begitu berat untuk dilakukan. Apresiasi dan support moral tidak membutuhkan biaya dan bukan merupakan pekerjaan berat, sehingga tidak ada alasan untuk tidak dilakukan oleh manusia-manusia rasionalistik dan berhati-nurani. Makanya, lebih afdhal lagi kalau ada dalam "wujud lain" sebagai bagian dari apresiasi dan support

 

Tantangan dalam Mewujudkan Lamakera Mengaji

 

Setelah pelbagai racikan konsep teoretis dan aplikatif tentang program Lamakera Mengaji tersaji bukan berarti selesai semua urusan. Tidak. Semuanya masih dalam proses starting. Masih ada tahapan lainnya. Tahapan itu antara lain adalah apa yang disebut dengan "tantangan". Yah, pada akhirnya tantangan yang menentukan semua racikan konsep: apakah survival hingga terwujud dan sukses atau malah sebaliknya? Di sana sistem imut setiap orang benar-benar diuji: apakah bisa survival dengan invasi virus yang bernama tantangan atau malah sebaliknya? Tantangan boleh dikatakan sebagai sosok makhluk yang selalu hadir dalam setiap episode ikhtiar yang dilakukan oleh anak manusia: kadang berwujud Malaikat, kadang malah berwujud Syaitan.

Kehidupan manusia tidak akan mungkin bisa  lepas dari pelbagai macam tantangan. Karena, tantangan adalah bagian dari sunnatullah, syarat kehidupan yang akan dihadapi oleh semua manusia. Tidak ada satu pun manusia di alam jagat ini yang luput dan tidak berurusan dengan tantangan, hatta manusia pertama, para Nabi dan Rasul hingga manusia-manusia belakangan ini. Kalau membuka lembaran demi lembaran sejarah, khususnya sejarah para Nabi dan Rasul mulai dari Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw., kita akan sampai pada sebuah kesimpulan (yang tidak terbantahkan) bahwa manusia-manusia yang memiliki maqam spiritual yang paling hebat, dahsyat dan dekat dengan Tuhan sekalipun berurusan dengan tantangan.

Tantangan biasanya hadir dalam wajah yang berbeda-beda. Kadang sesuai dengan agenda yang dilakukan. Kadang di luar dari itu. Begitulah yang dapat dilihat pada tantangan dalam mewujudkan program Lamakera Mengaji. Tantangannya nyaris tidak jauh-jauh dari upaya mewujudkan program Lamakera Mengaji itu sendiri. Jika diklasifikasi niscaya akan ditemukan banyak tantangan yang dihadapi ketika hendak mewujudkan program Lamakera Mengaji. Tantangan pertama terkait dengan penyediaan SDM. Untuk mewujudkan program tersebut dibutuhkan SDM khusus. Sementara pada kenyataannya Lamakera belum memiliki SDM sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Sebut saja belum ada SDM bidang tilawah dan tahfizh.

Selain itu, tantangan yang perlu disiasati dalam mewujudkan program Lamakera Mengaji adalah lingkungan masyarakat. Beberapa dekade belakangan ini masyarakat Lamakera mengalami transformasi besar-besaran dalam budaya. Terjadi shifting paradigma and culture masyarakat yang sudah sampai pada level mengkhawatirkan. Misalnya, munculnya pelbagai varian budaya kaget yang menginvasi "kehanifan" jiwa kaula muda hingga terkooptasi dengan pelbagai kegiatan hedonistik-oportunistik. Itulah mengapa di sana juga ada masyarakat yang mengkonsumsi khamr dan mabuk-mabukan. Belum lagi pesta disertai perjogetan yang luar biasa, baik ketika pergantian tahun, habis lebaran, ulang tahun dan lainnya.

Kondisi-kondisi semacam itu rasanya menjadi tantangan dalam mewujudkan program Lamakera Mengaji. Sehingga, sangat perlu sekali untuk disterilisasikan, mengingat kondisi-kondisi semacam itu membawa angin yang kurang segar dan sehat bagi masa depan peradaban Lamakera, termasuk bagi kerja-kerja peradaban yang tengah dilakukan. Sebab, banyak kaula muda ikut terpapar pula di dalamnya. Bahkan bukan saja kalangan patah pensil alias tidak sekolah atau berhenti sekaloh saja, akan tetapi juga menyentuh pada lapisan masyarakat sekaloh. Di mana diketahui bersama bahwa nyaris banyak patologi sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dimotori oleh anak-anak sekolah dikarenakan pola pergaulan yang tidak sehat dan produktif.

Termasuk tantangan yang tidak kalah penting dalam mengawali dan mengawal kerja-kerja peradaban seputar program Lamakera Mengaji adalah konflik dan perpecahan.  Tantangan ini hadir dam atmosfer kehidupan masyarakat (elit) disebabkan banyak sekali faktor. Sebab, konflik dan perpecahan tidak begitu saja hadir dalam kehidupan. Ada permulaan sebagai asbabnya (dan tentunya karena ada permulaan, maka seharusnya ada pula pengakhirannya untuk menyudahinya). Di antara permulaannya adalah P4, yakni perbedaan pendapat dan perbedaan pendapatan (sebagai plesetan dari hasrat ingin mendapatkan rente dalam kebersamaan). Keduanya disinyalir menjadi sebab dasar (basic cause) terhadap varian sebab lainnya.

Namun, menarik rasanya untuk mengungkapkan pandangan seorang Aba Abdul Syukur Ibrahim Dasi tentang sebab-sebab terjadinya konflik dan perpecahan, khususnya di internal masyarakat Lamakera. Dalam pidatonya pada Juni 1996 yang bertajuk "Mutiara Yang Terpendam: Arahan dan Pandangan tentang Masa Depan  Lamakera" dalam kegiatan Reuni III Keluarga Besar Lamakera Solor, Aba Abdul Syukur Ibrahim Dasi sekurang-kurangnya menyebutkan dua kali ayat "kullu hizbin bima ladaihim farihun" (QS ar-Rum/32 dan QS al-Mu'minun/53). Kutipan ayat pertama disampaikan pada penutup latar belakang (halaman 1 akhir) dan kutipan keduanya terletak pada sub pembahasan soal "Pergeseran Nilai Ata Abe" (halaman 4).

Meskipun ayat tersebut berbicara tentang perpecahan dalam masalah agama, namun point penting yang hendak disampaikan darinya adalah konflik dan perpecahan adakalanya disebabkan oleh nalar ashobiyah wa hizbiyah yang memiliki karakter berbangga-bangga diri terhadap kelebihan, kerja-kerja peradaban dan torehan capaian prestasius pada masing-masing kelompok (hizb). Tentunya, logika istidlal yang digunakan oleh Aba Abdul Syukur Ibrahim Dasi ini sangat luar biasa. Sebab, logikanya jika dalam urusan agama yang begitu sakral saja acapkali membuat sesama umatnya terpecah belah menjadi beberapa faksi (kelompok-kelompok, maka sudah bareng tentu potensi konflik dan perpecahan terbuka lebar pada urusan lainnya.

Menariknya lagi terjemahan Aba Abdul Syukur Ibrahim Dasi terhadap potongan QS QS ar-Rum/32 dan QS al-Mu'minun/53 yang berbunyi "kullu hizbin bima ladaihim farihun" itu. Di mana potongan ayat itu diterjemahkan sebagai "setiap kelompok tampil membanggakan kelebihan yang ada padanya". Bila dibandingkan dengan terjemahan Kemenag RI dalam "al-Qur'an dan Terjemahnya" terdapat perbedaan artikulasinya. Ini bukan soal salah dan benar, juga bukan soal yang tepat dan tidak tepat. Akan tetapi, kemampuan seorang Aba Abdul Syukur Ibrahim Dasi yang sangat luar biasa dalam menterjemahkan potongan ayat tersebut. Di mana Aba Abdul Syukur Ibrahim Dasi memasukkan kata "kelebihan" menjadi salah satu faktor setiap kelompok berbangga diri.

Terjemahan dan tafsiran Aba Abdul Syukur Ibrahim Dasi tersebut sejalan dengan apa yang dibahas, yakni terkait dialektika historis antara ata labe (orang berilmu di bidang keagamaan) dan ata bodo (orang tidak ahli dalam agama) yang berujung pada sebuah "pemberontakan" yang dilakukan oleh ata bodo terhadap ata labe dikarenakan sudah "muak" dengan diskriminasi berbasiskan "relasi ilmu dan agama" yang dimiliki ata labe. Artinya, tindakan yang dilakukan oleh kelompok ata labe terhadap ata bodo dalam kerja-kerja dakwah maupun urusan agama lainnya dikarenakan di sana kelompok ata labe menganggap memiliki "kelebihan" (dibandingkan ata bodo) sehingga membuat mereka berbangga diri dengan "kelebihan" yang ada padanya.

Bila sikap overpreud ata labe masih dalam taraf diskriminasi, maka perkembangan mutakhir dari penyakit "membanggakan kelebihan"  sudah sampai pada taraf "kezaliman". Di antaranya karena ingin mempertahankan eksistensi kelompoknya dan agar tetap berbangga dengan kelebihan pada diri dan kelompoknya, maka dilakukan pelbagai tindakan kezaliman. Misalnya, budaya menggunting dalam lipatan adalah wujud lain dari "membanggakan kelebihan diri dan kelompok". Orang yang sejalan dengan aspirasi politik serta mudah untuk didikte dan dijinakkan akan diberikan ruang sebesar-besarnya. Namun, kalau berbeda, maka dilumpuhkan dan diamputasi hatta memiliki struktur emosionalitas sebagai keluarga dan satu kampung.

Problem-problem demikian pada akhirnya melahirkan dinding pembeda dan pemisah antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Sehingga, masyarakat Lamakera yang terkenal memiliki SDM yang begitu banyak dan sangat luar biasa, namun pada titik yang sama masih jago dan kuat secara nafsi-nafsi, sementara itu rapuh dan tidak berdaya secara komunal. Akhirnya, tidak ada soliditas dan sinergisitas-kolaborasi yang terbangun dan terbentuk dalam memproyeksikan masa depan peradaban Lamakera melalui pelbagai saluran media. Sehingga, meskipun panggilan menyatukan hati dan merajut cinta untuk membangun Lamakera berkeadaban terus menggema, namun riak-riak perseteruan masih nampak terlihat di mana-mana.

Tabuik, 17 Mei 2024

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun