Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lamakera Mengaji: Konsep, Aplikasi dan Tantangannya

17 Mei 2024   05:46 Diperbarui: 17 Mei 2024   05:52 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kondisi dimaksud terkait dengan kemampuan membaca al-Qur'an bagi anak-anak usia sekolah dan lainnya. Rupa-rupanya Lamakera yang diglorifikasikan sebagai locus dan episentrum peradaban Islam untuk semenanjung pulau Solor dan sekitarnya masih luput dengan hal-hal fundamental semacam itu. Banyak laporan yang disampaikan oleh banyak pihak perihal kondisi semacam itu. Dari Lamakera misalnya, Kepala Madrasah dan Kades Motonwutun dalam banyak kesempatan menyampaikan kondisi memprihatinkan itu. Dikatakan bahwa masih banyak anak-anak usia sekolah yang masih alla takka hulli (salah-salah) dan bahkan bisa hala hulli (tidak bisa) membaca al-Qur'an dengan baik dan benar sesuai standar pembacaan al-Qur'an.

Ironisnya, menurut laporan Kades Motonwutun pada rapat virtual melalui zoom meeting dengan Pengurus YAMALI, kondisi semacam itu bukan saja hanya terjadi pada anak-anak SDN/SD Inpres/MIN, akan tetapi juga terjadi pada anak-anak MTs N dan MAN. Hal ini menandakan ada problem serius terkait dengan pendidikan al-Qur'an di Lamakera. Di mana masih cukup banyak orangtua yang belum begitu memperhatikan pendidikan al-Qur'an bagi anak-anaknya. Bahkan lembaga pendidikan formal pun dapat dikatakan belum begitu maksimal menjalankan perannya untuk meningkatkan pendidikan al-Qur'an bagi anak usia sekolah sebelum mereka melanjutkan studinya. Pun anak-anak juga terlalu mengabaikan pendidikan al-Qur'an.

Makanya, tidak perlu heran dan kaget manakala banyak pula laporan dari dosen-dosen di kampus, khususnya dari dosen Lamakera maupun dosen lain yang memiliki kedekatan dengan dosen-dosen dari Lamakera. Laporan terkait dengan kemampuan membaca al-Qur'an anak-anak Lamakera yang menempuh studi pada beberapa perguruan tinggi bukan sebuah spekulasi dan sentimen, akan tetapi benar-benar terjadi di lapangan. Karena, di kampus sekarang ada namanya Program Baca Tulis al-Qur'an. Program ini wajib hukumnya diikuti semua mahasiswa (muslim). Termasuk mahasiswa Lamakera yang kuliah di situ  tentunya. Sistemnya semua mahasiswa dites bacaan al-Qur'annya sebelum mulai tahapan dan proses selanjutnya.

Salah satu surat yang seringkali dijadikan standar penilaian kemampuan bacaan mahasiswa (baru) adalah QS Maryam/19:1-5. Bahkan kadang kalau mahasiswa tidak bisa membaca dengan baik dan benar surat tersebut, maka digantikan dengan surat lain yang agak lebih mudah. Namun, banyak pula yang malah tidak bisa membacanya. Hal tersebut tentunya diketahui secara langsung oleh dosen-dosen bersangkutan. Apalagi banyak dosen-dosen Lamakera yang diamanatkan sebagai pengajar Program BTQ, sehingga mereka menyaksikan secara langsung problem terkait dengan ketidakmampuan sebagian anak-anak Lamakera dalam membaca al-Qur'an. Ditambah lagi laporan dari dosen lain sehingga semakin lengkap data dan validitasnya.

Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam, menjadi sumber utama ajaran Islam, baik berkaitan dengan akidah, syariat dan akhlak maupun lainnya. Sehingga, berislamnya seseorang harus mengacu secara langsung pada al-Qur'an (dan hadis dengan pemahaman ulama yang otoritatif tentunya). Sayang sekali jika mengaku sebagai umat Islam namun tidak mengenal dan tidak bisa membaca kitab sucinya: al-Qur'an. Padahal membaca al-Qur'an baru merupakan salah satu aspek dalam bermuamalah dengan al-Qur'an. Masih ada aspek lainnya, yakni memahami dan mengamalkan ajaran al-Qur'an. Logikanya, bagaimana ceritanya seseorang bisa memahami dan mengamalkan ajaran Islam ketika kitab sucinya saja tidak bisa dibaca?

Lebih spesifik lagi ternyata mempelajari dan membaca al-Qur'an dengan baik dan benar pada sesungguhnya terkait dengan kewajiban seseorang dalam beragama. Misalnya, kewajiban melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam. Dalam shalat terdapat syarat wajib, rukun dan sunnah-sunnah shalat, di antarannya terkait kewajiban membaca surat al-fatihah bagi imam maupun makmun. Selain tentunya bacaan lain yang terdapat dalam rangkaian ibadah shalat. Untuk bisa membaca surat al-fatihah dan bacaan lain dalam shalat dengan baik dan benar tentunya harus ada pengetahuan tentang huruf-huruf hijayah hingga mampu membaca al-Qur'an dengan baik dan benar. Karenanya, belajar al-Qur'an merupakan kewajiban asasi.

Pada konteks itu, rasanya aneh bin ajaib ketika mendengar salah seorang pembicara yang menganggap remeh jurusan agama di perguruan tinggi. Di mana memberikan masukan agar kiranya calon mahasiswa baru tidak perlu mengambil lagi jurusan agama karena sudah terlampau banyak lulusan dan alumni jurusan agama. Jurusan yang disarankan dan direkomendasikan untuk diambil oleh calon mahasiswa baru adalah jurusan-jurusan eksakta, humaniora dan serumpun lainnya. Entah apa alasan logisnya memberikan masukan dan rekomendasi semacam itu di tengah banyak problem yang menginvasi komitmen keagamaan siswa dan mahasiswa. Padahal orang yang ambil jurusan agama pun masih banyak problemnya.

Sebenarnya tidak ada masalah juga dengan pandangan dan rekomendasi semacam itu. Namun, perlu dikontraskan dengan konteks yang melingkupi kehidupan masyarakat dan mahasiswanya. Selain tentunya harus pula diperjelas eksistensi pembelajaran ilmu agama bagi mahasiswa yang mengambil jurusan eksakta, humaniora dan lainnya. Jangan sampai menganggap bahwa mempelajari ilmu agama tidak wajib dan penting. Atau terjebak dalam logika sekolah-isme dan linear-isme sebagaimana dikatakan oleh seorang Adian Husain dalam menjelaskan problem pendidikan bagi umat Islam. Kalau hal demikian yang terjadi, maka wajar manakala pada kenyataannya banyak yang tidak bisa membaca al-Qur'an dengan baik dan benar.

Memang di antara problem penting bagi umat Islam dalam kaitannya dengan pendidikan adalah tidak bisa membedakan ilmu yang tergolong fardhu ain dan fardhu kifayah serta mubah untuk dipelajari. Sehingga, banyak orang malah menjadikan ilmu pengetahuan yang bersifat fardhu kifayah dan mubah misalnya menjadi ilmu yang bersifat fardhu kifayah hingga mewakafkan waktu, kesempatan, potensi dan konsentrasi untuk mempelajarinya. Sementara ilmu yang bersifat fardhu ain malah dijadikan sebagai fardhu kifayah hingga dijadikan pilihan dan atau bergampang-gampangan dalam mempelajarinya. Implikasinya, banyak orang Islam yang tidak mempelajari ilmu agama yang bersifat fardhu ain. Akhirnya, mereka beragama tanpa ilmu.

Artinya, masyarakat muslim boleh mengambil jurusan apa pun (selama itu baik tentunya). Asalkan masyarakat muslim mengenal dan menyadari tentang ilmu yang bersifat wajib ain; ilmu yang terkait dengan kewajiban beragamanya. Karena, menjalankan kewajiban beragama juga membutuhkan disiplin keilmuan khusus di dalamnya, yakni keilmuan agama. Tidak mungkin mereka dapat menjalankan agamanya dengan baik dan benar kalau-kalau mereka tidak mengilmui tentang agamanya. Sehingga, meskipun mengambil jurusan lain, misalnya eksakta dan lainnya, mereka juga tetap mempelajari ilmu agamanya. Meskipun, metode pembelajarannya nanti hanya bersifat sambil lalu saja. Intinya, mereka tahu dulu ada ilmu wajib ain.

Itu baru satu aspek. Belum lagi aspek lain yang berkaitan dengan keislaman seseorang. Sebut saja shalat lima waktu, pun masih jauh panggang dari api. Masih banyak juga masyarakat yang absen dalam menjalankan shalat lima waktu, baik di masjid maupun di rumahnya. Bahkan kalangan yang dikatakan sebagai orang yang "tercerahkan" melalui proses pendidikan pun menjadi tauladan buruk dalam hal ini. Mereka bukan saja tidak shalat ketika di tempat mereka melanjutkan studi, baik di kampus maupun di organisasi dan kostnya, akan tetapi juga ketika mereka kembali pulang ke kampung halaman, Lamakera, untuk menjalankan misi organisasinya (berupa mengadakan kegiatan) maupun hanya sekedar pulang kampung karena libur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun