Belum lama ini, wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran kembali mencuat dan menuai perdebatan sengit di masyarakat. RUU ini hadir dengan sejumlah pasal kontroversial yang dinilai dapat mengancam kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.
Salah satu pasal yang paling banyak disorot adalah Pasal 1 Ayat (9) dan Pasal 17 revisi UU Penyiaran. Dilansir dari kompas.id, Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis dalam mengatakan, "Baik live streaming maupun rekaman, podcast, dan sebagainya itu menjadi satu sama dengan isi siaran TV," kata Abdul, Selasa (19/3/2024).
konten kreator dan pekerja seni karena KPI akan mendapatkan wewenang tambahan untuk menentukan kelayakan konten di platform-platform digital, baik audio maupun visual. Konten yang mengandung unsur kekerasan, rokok, mistis, narkotika, dan gaya hidup negatif akan disensor lalu mengakibatkan berkurangnya keragaman konten. "Konten-konten mereka bisa dianggap memiliki unsur pornografi, kesusilaan, yang mana unsur-unsur ini kan sangat subyektif dan multitafsir. Kalau ini kemudian masuk, maka konten-konten mereka akan diberedel," kata Astried Permata dari Jakarta Feminis.
Artinya, pasal ini nantinya berpotensi mengekang paraMemang jika ditelisik lebih dalam, ada beberapa sisi positif dari rancangan undang-undang tersebut. Di antaranya adalah konten kekerasan, dan konten-konten negatif akan di-banned dari media sosial. Namun, sisi negatifnya, kreatifitas public dibatasi. Dan bahkan, sebuah akun di Instagram pernah melontarkan komentar sebagai berikut, "Di saat kita sudah bisa membantu mengungkap kasus kriminalitas dengan cara mem-viralkannya, eh sekarang malah muncul RUU yang mengatur konten. Kacau!"
Publik dibuat trust issue oleh mereka yang di atas. Benarkah RUU ini memang dibuat untuk kepentingan publik? Atau semata-mata untuk kepentingan korporat media tertentu?
Pemerintah perlu mendengarkan suara-suara kritis dari berbagai elemen masyarakat dalam proses pembahasan RUU ini. Masukan dari kalangan akademisi, aktivis, maupun praktisi media sangatlah penting untuk memperbaiki dan memperjelas substansi RUU Penyiaran agar selaras dengan prinsip kebebasan pers dan demokrasi, juga mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap KPI.
Pada akhirnya, kehadiran undang-undang penyiaran yang ideal harus mampu menjamin hak publik untuk memperoleh informasi yang berkualitas, tanpa intervensi kepentingan korporat manapun. Inilah yang semestinya menjadi fokus utama dalam pembahasan RUU Penyiaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H