[caption id="attachment_409159" align="aligncenter" width="346" caption="Aku dan pak Kyai"][/caption]
Salah satu pelajaran favorit saya ketika dulu ‘nyantri’ di Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta adalah "Muthola'ah". Secara sederhana, para santri sering menerjemahkan pelajaran ini menjadi hanya sebagai "bacaan".
Namun, jika ditinjau dari ilmu sharof, kata "Muthola’ah" berasal dari kata dasar "Thola’a" yang berada dalam wazan (patern): fa’ala-yaf’alu-mufa’alatan yang berarti pula: “muncul”, “hadir”, atau "menela'ah".
Dengan latar belakang pemahaman seperti itulah setiap ada bacaan (dongeng) yang diberikan oleh ustadz, saya sangat menikmati menelaahnya. Sering kali justru saya menjadikannya sebagai rujukan ketika saya harus menggambil sikap dalam hidup.
Dengan dongeng pula, sekarang saya mengajarkan kepada anak-anak dan keponakan saya hal-hal baru atau sesuatu yang mereka takutkan dalam hidup, hatta dalam penyampaian khutbah / ceramah.
Bagi saya, dongeng yang dikemas dengan baik itu akan sangat efektif sebagai media untuk transformasi gagasan menjadi aksi. Saya kira, salah satu alasan kenapa budaya Amerika begitu mendominasi dunia adalah dongeng-dongeng yang mereka produksi secara professional lewat industri hiburan Hollywood.
Ada satu cerita yang masih saya ingat, yaitu kisah sekelompok tikus. Dalam dongeng ini, dikisahkan bahwa sekelompok tikus harus mengambil sikap karena mereka menghadapi tantangan baru: pemilik rumah di mana mereka tinggal telah mengadopsi seekor kucing. Ia berwarna hitam, berkuku setajam silet, gigi seruncing tombak dan mata setajam kamera CCTV.
Ketua jama'ah tikus akhirnya menggumpulkan anggota jama'ahnya dalam sebuah rapat "dengar pendapat" yang baru pertama kalinya mereka adakan. Meskipun mereka sama-sama tikus, ternyata mereka mempunyai cara pandang yang beragam dalam mensikapi tantangan baru ini. Namun mereka punya prinsip: "Boleh berbeda asal sopan".
Tiba-tiba muncul sebuah ide spektakuler:
"Bagaimana kalau kita kalungi saja kucing itu dengan ‘klintingan’ (lonceng kecil, dalam bahasa Arab disebut “al-Jaros”), sehingga kita dapat mendeteksi secara dini kalau kucing itu mendekat ketika kita sedang beroperasi", kata seekor tikus dengan antusias.
“Iya betul sekali!! Kita akan lari sebelum dia datang", yang lain menanggapi.
"Hore.. hore... kita tetap akan kenyang. Ide yang sangat brilliant..!!", sorak yang lain.
Tiba-tiba kebahagian mereka itu buyar ketika sang ketua jama'ah tikus itu bertanya kepada para jama'ahnya:
“Manilladzi yu’alliq al-jaros?"
"Tapi . . Siapa yang akan mengalungkan klintingan (lonceng) tersebut di leher kucing?".
Cerita tikus ini mengajarkan kepada saya beberapa hal:
PERTAMA: Dalam hidup itu tidak ada yang tetap. Jama'ah tikus yang tadinya hidup dalam ‘comfort zone’ (wilayah nyaman) yaitu ada makanan yang terus tersedia di dalam rumah, harus menghadapi tantangan baru adanya kucing galak. Oleh karena itu, kalau kita mau tetap ‘eksis’ atau ‘relevance’ di dalam komunitas kita, tidak ada pilihan lain selain kelenturan kita untuk bisa berubah.
KEDUA: Ide besar yang kita tuangkan dalam bentuk ceramah ataupun tulisan itu memang sangat penting, tapi yang jauh lebih penting lagi adalah bagaimana kita melaksanakannya.
Dalam mahfuzhot (pepatah Arab) dikatakan: “Al-Ilmu bila 'amalin kas-syajari bila tsamarin” (Ilmu yang tidak diamalkan itu ibarat pohon (rindang) tapi tidak berbuah".
Para pendahulu kita telah memberikan contoh bahwa “karya nyata” mereka adalah “da’wah” mereka yang sampai hari ini bisa dirasakan oleh tidak saja umat Islam tapi juga oleh umat yang lain.
"Apapun profesimu, tugasmu: 1. Bisa mengajar ilmu agama, 2. Berda'wah", demikian wejangan kyai kami.
____________
Twitter: @azharulfuad
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H