Tiba-tiba kebahagian mereka itu buyar ketika sang ketua jama'ah tikus itu bertanya kepada para jama'ahnya:
“Manilladzi yu’alliq al-jaros?"
"Tapi . . Siapa yang akan mengalungkan klintingan (lonceng) tersebut di leher kucing?".
Cerita tikus ini mengajarkan kepada saya beberapa hal:
PERTAMA: Dalam hidup itu tidak ada yang tetap. Jama'ah tikus yang tadinya hidup dalam ‘comfort zone’ (wilayah nyaman) yaitu ada makanan yang terus tersedia di dalam rumah, harus menghadapi tantangan baru adanya kucing galak. Oleh karena itu, kalau kita mau tetap ‘eksis’ atau ‘relevance’ di dalam komunitas kita, tidak ada pilihan lain selain kelenturan kita untuk bisa berubah.
KEDUA: Ide besar yang kita tuangkan dalam bentuk ceramah ataupun tulisan itu memang sangat penting, tapi yang jauh lebih penting lagi adalah bagaimana kita melaksanakannya.
Dalam mahfuzhot (pepatah Arab) dikatakan: “Al-Ilmu bila 'amalin kas-syajari bila tsamarin” (Ilmu yang tidak diamalkan itu ibarat pohon (rindang) tapi tidak berbuah".
Para pendahulu kita telah memberikan contoh bahwa “karya nyata” mereka adalah “da’wah” mereka yang sampai hari ini bisa dirasakan oleh tidak saja umat Islam tapi juga oleh umat yang lain.
.
"Apapun profesimu, tugasmu: 1. Bisa mengajar ilmu agama, 2. Berda'wah", demikian wejangan kyai kami.
____________