Mohon tunggu...
Azhar Musa
Azhar Musa Mohon Tunggu... -

Mahsiswa s2 Universitas al-Azhar, Jurusan Hadis dan Ilmu Hadis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

‘Âdil + Dhâbith = Tsiqah; Karakter Ilmuwan Muslim

25 Mei 2012   07:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:49 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Apakah harus mendapat nilai A untuk setiap mata pelajaran? Apakah harus bergelar doktor? Apakah harus pernah menemukan sesuatu yang baru? Apakah harus lulus dari universitas tertentu? Atau apakah harus selalu terlihat teduh dan khusyu? Apakah harus selalu rajin beribadah? Apakah harus selalu terjaga dari kriminalitas tingkat rendah sampai tingkat tinggi? Seperti apakah karakter seorang ilmuwan muslim? Para ulama (semoga Allah merahmati mereka), khususnya ulama hadis, telah merumuskan syarat apakah seseorang bisa diterima transfer ilmunya. Salah satunya adalah tsiqah (masih ingat, guru ilmu hadis penulis selama belajar di aliyah mengartikannya kredibel, bener kan Ust?). Memang pembahasan ini banyak dijumpai dalam ilmu mushthalah hadis. Tapi bukan berarti predikat tsiqah mutlak dimiliki oleh para ahli hadis semata. Hal ini juga dapat diterpakan bagi para pakar di segala bidang. Menurut hemat penulis, tsiqah adalah sebuah syarat yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan muslim, bahkan di bidang non-diniyah. Tsiqah secara terminologi adalah gabungan dari dua sifat yaitu ‘âdil dan dhâbith[1]. Mari kita bahas satu per satu. ‘Âdil (Orang yang Beres Agamanya) Ibnu Hajar al-Asqalani[2] dalam Nuzhah al-Nadzar-nya memberikan sebuah definisi singkat padat mengenai ‘âdil, yaitu kemampuan untuk selalu konsisten dalam ketakwaan dan muru’ah (berkepribadian baik)[3]. Singkat kata orang yang ‘âdil tidak pernah melakukan dosa besar dan terhindar dari sebagian dosa kecil. Jelas namanya manusia tidak akan pernah terbebas dari kesalahan. Yang bisa dan harus adalah berusaha menghindari kesalahan-kesalahan tersebut. Islam sangat anti dengan sekularisme. Keberadaan manusia sebagai pemakmur bumi juga demikian. Islam memiliki pedoman cara pandang dan cara hidup di dunia dan itu datang dari Yang Menciptakan Yang Maha Tahu. Maka memisahkan agama dari kehidupan dunia sangat tidak menjanjikan. Begitu juga dengan memisahkannya dengan ilmu. Seorang ilmuwan tanpa dilandasi dengan aqidah yang kuat akan bertekuk lutut dihadapan thâghût[4] yang memaksanya menggunakan ilmu di jalan yang salah, seperti mengebor minyak dihiasi dengan sikap pura-pura tidak tahu dengan akibatnya terhadap lingkungan sekitar. Orientasi hidup juga berubah menjadi materi atau dunia an sich. Tanpa akhlak Islami,  segala cara akan dilakukan utnuk meraih tujuan dan kejayaannya di dunia. Pemanfaatan nuklir yang semestinya bisa menjadi sumber energi dialihkan untuk menjadi senjata pemusnah massal. Sehingga pendidikan aqidah, akhlak, dan ilmu syariat menjadi hal yang harus diberikan oleh setiap lembaga pendidikan. Sejarah umat Islam dan dunia juga menjadi penting agar memberi inspirasi untuk tidak mengulang kesalahan masa lalu dan mempertimbangkan sebab kemajuan masa lalu. Tak boleh ketinggalan kajian al-Quran secara langsung (dengan iringan sunah karena keduanya adalah sumber ajaran Islam). Kajian tafsir memang terlihat kalah pamor dibandingkan kajian isu umat Islam kontemporer. Tapi bagaimana manusia akan memanfaatkan peran hudan[5] dan qayyiman[6] al-Quran secara maksimal apabila tidak mangkaji al-Quran secara langsung? Para sahabat dulu juga melakukan hal ini. Hasilnya? Golden generation dan Allah Meridhai mereka[7]. Mengkaji al-Quran secara langsung samasekali tidak bertentangan dengan menguasai ilmu alam. Imaduddin Khalil mengatakan bahwa apabila seseorang mengkaji al-Quran dan mengaitkannya dengan hakekat ilmu maka dia akan menemukan 4 hal dalam al-Quran (1) Hakekat ilmu dan tujuannya (2) Cara menyingkap berbagai teori dan hakekat ilmiah (3) Sunah kauniyah khususnya ilmu bumi dan kehidupan (4) Seruan untuk mengunakan sunah kauniyah yang dengannya bisa memunculkan penelitian-penelitian yang bermanfaat bagi tugas manusia di bumi[8]. Dhâbith (Orang yang Mantap Keilmuannya) Pemahaman yang sangat tidak tepat kerap kali muncul, “Umat Islam itu yang penting solat dan hatinya baik”. Tidak ada yang mengingkari bahwa keduanya merupakan hal yang sangat penting. Akan tetapi apabila hanya memfokuskan perhatian kepada ritual ibadah khusus, tepatkah? Padahal al-Quran sendiri menganjurkan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi alam[9]. Maka istilah ‘sek penting soleh’ perlu disempurnakan menjadi ‘soleh lan pinter’. Dhâbith merupakan bentuk kehati-hatian dalam mengemban amanah ilmiah. Apabila dikaitkan dengan materi pelajaran, maka dhâbith adalah hafal dan paham 100%. Tidak hanya itu, Mushthafa Abu al-Khair, seorang dosen hadis Universitas al-Azhar di depan mahasiswanya menyatakan bahwa dhâbith adalah mampu mengeluarkan hafalan secara sempurna dalam keadaan apapun tanpa persiapan. Bisa juga berarti lebih banyak benar daripada salah atau lalai (ghaflah) nya, karena tidak mungkin manusia lepas dari salah dan lupa. Dengan lebih praktis, Ibnu Shalah[10] mendefinisikan dhâbith sebagai ‘sadar, tidak lalai, dan sempurna apabila ia meriwayatkan berdasarkan hafalannya maupun catatannya’. Selain hafal, seseorang juga harus memahami apa yang ia pelajari dan sampaikan. Salah satu syarat rawi menurut Ibnu Abdi al-Barr[11] adalah memahami apa yang ia riwayatkan[12]. Dari sini dapat dipahami bahwa Islam tidak menginginkan seseorang untuk menjadi setengah ilmuwan atau sepersekian ilmuwan. Dalam tradisi keilmuan Islam, sangat diperhatikan masalah penguasaan materi, tidak sekedar pandai beretorika tapi hanya di kulitnya, tidak menguasai sebuah ilmu sampai mendalam. Ada dua macam dhâbith:

  1. Dhâbth al-Shadr: Hafal dan paham 100 % dan mampu menyampaikannya kembali 100%
  2. Dhâbth al-Kitâbah: Lengkap dan tepat catatannya[13]

Berangkat dari sini, maka selain menguasai materi di kepala, seorang pelajar hendaknya menjaga catatan dan buku-buku yang menunjang studinya. Karena memang memori di otak terkadang ketelingsut sehingga membutuhkan catatan atau buku untuk mengembalikannya. Imam Ahmad bin Hanbal terkenal selalu menjaga validitas materi yang ia sampaikan. Ia selalu merujuk pada buku pegangannya ketika ada orang yang bertanya. Ada beberapa syarat dhâbith:

  1. Sadar ketika menerima ilmu, memperhatikan, dan tidak tidur ketika pelajaran.
  2. Tidak lalai (al-Ghaflah), meskipun pandangan mengarah kepada guru, apalah artinya apabila pikiran mengarah ke tempat lain?
  3. Selalu menjaga hafalan, penguasaan materi, dan catatannya.

Ada pula beberapa hal yang bertentangan dengan ke-dhâbith-an, seperti:

  1. al-Khatha’: Bermaksud untuk menyampaikan/melakukan sesuatu, tapi yang keluar atau yang terjadi adalah hal lain. Misalnya ingin mengucapkan A ternyata yang keluar dari mulut adalah B.
  2. al-Nisyân: Lupa akan hal-hal yang telah terjadi, misalnya lupa dengan pelajaran yang telah lalu.
  3. al-Ghaflah: Lalai, misalnya memikirkan kekalahan tim sepakbola semalam ketika sedang mendengarkan pelajaran.[14]

Lembaga pendidikan yang baik menekankan pada penguasaan konsep sehingga ketika dihadapkan pada berbagai persoalan akan mampu menyelesaikannya berdasarkan konsep-konsep tersebut. Tidak hanya sekedar ‘menghafal soal dan jawaban’ sehingga gelagapan ketika harus berhadapan dengan persoalan yang berbeda. Tsiqah di Masa Sekarang Kebesaran para ulama tidak bisa dijadikan alasan bagi sikap pesimis dan putus asa ketika belajar. Mereka juga manusia biasa. Mereka juga mengalami proses keras dan panjang untuk meraih semua itu. Imam Syafi’i yang sehebat itu juga pernah curhat dengan gurunya Imam Waki’ kenapa susah sekali memelihara hafalan. Maka dinasehati untuk meninggalkan segala kemaksiatan. Karena ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada mereka yang hobi bermaksiat. Mereka bukanlah para dewa yang tinggal di khayangan bergelimang segala kesempurnaan. Mereka adalah pelajar dan pengajar yang manusiawi. Imam Malik pergi, datang Imam Syafi’i. Ada Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Madini, dilanjutkan Imam Bukhari, Imam Muslim, lalu Imam Tirmidzi. Abad pertengahan ada Ibnu Taimiyah, kemudian Ibnu Hajar, al-Suyuthi, al-Sakhawi, dan seterusnya. Di zaman sekarang pun ada Nashiruddin al-Albani, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Yusuf al-Qaradhawi, Ramadhan al-Bouti, Muhammad Imarah dan lainnya. Artinya, semua orang punya kesempatan yang sama untuk menjadi seorang ilmuwan, nyatanya setiap generasi selalu muncul orang-orang yang menjaga risalah dengan kompetensi dan kredibilitasnya. Ini merupakan janji Allah[15]. Ketika kita mempelajari syarat-syarat perawi hadis pada awalnya memang untuk mengetahui apakah seseorang bisa diterima periwayatannya atau tidak. Sehingga kita bisa membedakan antara yang shahih dengan yang tidak. Akan tetapi ada spirit yang bisa ditangkap dari sana. Mengapa tidak mencoba menerapkannya sebagai standar seorang ilmuwan muslim? Minimal untuk diri kita sendiri :) Daftar Pustaka [1] Abdurrahman al-Khumaisi, Mu’jam ‘Ulûmi’l Hadîts al-Nabawi, Dar Ibn Hazm Beirut, Libanon, cet. I, 1421 H/2000 M, hal. 79 [2] Ulama hadis dari Mesir, karya-karyanya seperti Bulûghu’l Marâm, Nuzhat al-Nazhar, dan Fathu’l Bâri syarah Sahih Bukhari, wafat 852 H [3] Mushthafa Abu Imarah, al-Irsyâd fî ‘Ulûmi’l Hadîts, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, cer. II, 1430 H/2009 M, hal. 14 [4] Segala hal yang diberikan hak ketuhanan seperti disembah, dipuja, dan ditaati selain Allah dan dia rela untuk diperlakukan seperti itu [5] Al-Baqarah : 2 [6] Al-Kahfi: 2 [7] Al-Taubah: 100 [8] Imaduddin Khalil, Madkhal ilâ Islâmiyyati’l Ma’rifah, IIIT, Virginia, USA, cet. III, 1412 H/1992 M hal. 27 (Masih banyak yang harus dikaji di sini, penulis sendiri masih menelaah) [9] Sangat banyak ayat-ayat al-Quran berbicara mengenai alam dan ajakan untuk memikirkan ayat qauliyah (wahyu) dan ayat kauniyah (alam) [10] Ulama hadis asal Iraq, terkenal dengan masterpiece-nya dalam ilmu hadis, Ma’rifat Ulûmi’l Hadîts (Muqaddimah Ibn al-Shalah), wafat tahun 643 H [11] Ulama hadis asal Andalusia (Spanyol), wafat tahun 463 H [12] Mushthafa Abu Imarah & Ahmad Abdul Karim, Buhûts fî Manâhij’il Muhadditsîn, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, 1431 H/2010 M, hal. 95 [13] Muhammad Abu Syahbah, al-Wasîth fî ‘Ulûmi Mushthalahi’l Hadîts, Maktabah al-Sunah, Kairo, Mesir, cet. I, 1427 H/2006 M, hal. 97 [14] Mushthafa Abu Imarah, al-Irsyâd fî ‘Ulûmi’l Hadîts, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, cer. II, 1430 H/2009 M, hal. 63-67 [15] Al-Hijr: 9

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun