Kali ini saya akan menceritakan perjuangan saya menembus kampus impian, Universitas Indonesia. Keinginan saya untuk masuk UI sebenarnya sudah ada sejak saya baru masuk SMK, sejak saat itu saya banyak mencari informasi tentang Universitas-Universitas Negeri yang ada di Indonesia, termasuk kesempatan meraih beasiswanya. Percaya atau tidak bahkan saya telah menuliskan di kalender HP pertama saya waktu itu, Esia. bahwa pada tanggal 16 Agustus tahun 2011 tepat di ulang tahun saya yang 17 saya menuliskan note 'Masuk UI'. Entah karena optimisme saya yang berlebih atau hanya sekedar main-main, yang jelas saya pernah membaca suatu artikel bahwa mimpi itu harus dituliskan, dibayangkan, dirasakan, dan diraih. Oke kembali ke cerita, seiring dengan berjalannya waktu keiginan saya untuk masuk UI cenderung mengendur, bagaimana tidak? saat itu saya mencoba mencari tahu berapa biaya untuk masuk UI, dan ternyata itu justru membuat saya semakin tidak percaya diri. Kalaupun saya nantinya masuk, apa bisa saya bayar pendaftarannya? saya gak mau membebankan keluarga saya nantinya, saya juga gak mau lebih sakit hati nantinya jika saya sudah diterima tapi keluar lagi karena tidak sanggup membayar uang pendaftaran. Perlu diketahui, semenjak SD sampai SMP sekolah saya gratis, di SD saya SDN Sukatani 1 membebaskan biaya bagi siswa yang orang tuanya telah meninggal dunia. Sementara di SMP, gratis karena ada program wajib belajar 9 tahun dari pemerintah. Baru kemudian di SMK saya mulai bayar sekolah, butuh perjuangan untuk bisa menyelesaikan biaya pendidikan di SMK, tak jarang saya tidak diizinkan ujian karena belum membayar uang SPP, bahkan sampai lulus pun saya belum mampu menebus ijazah saya karena terkendala administrasi. Perjuangan saya menuju kampus impian dimulai ketika saya mencoba daftar di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) yang ada di belakang UI. Saat itu saya mendaftar dengan nilai bermodal nilai rapor, saya lulus verifikasi berkas di PNJ Teknik Bangunan D4. Â Akan tetapi saya gagal di proses verifikasi karena kesalahan input data nilai rapor, mungkin belum jodoh pikir saya. Perjuangan saya berlanjut, saat itu target utama saya beralih bukan lagi masuk UI, tapi masuk STAN. Kenapa? karena saya pikir STAN adalah sekolah ikatan dinas milik negara yang gratis, setelah lulus langsung kerja dan terjamin. Saya gak perlu membebankan keluarga saya lagi dong, karena kuliahnya gratis dan terjamin. Setiap hari saya habiskan waktu saya untuyk mengerjakan soal-soal dari buku bank soal STAN yang saya beli di Gramedia. Berminggu-minggu saya belajar, namun tak kunjung ada kepastian tentang dibukanya penerimaaan mahasiswa baru STAN. Kebetulan saat itu sedang ada pendaftran SNMPTN Tertulis. Pendaftaran akan ditutup 2 hari lagi, kemudian saya berpikir sambil menunggu penerimaaan STAN yang gak jelas, mungkin gak ada salahnya saya mencoba ikut SNMPTN. H-1 hari pendaftaran ditutup, saya langsung mendaftar lewat ATM, bermodal uang dari ATM kakak saya, saya memilih tes IPC. Esok harinya di hari terakhir saya mulai registrasi via online di warnet, saya bingung pilih jurusan apa, belum ada persiapan sama sekali sebelumnya untuk mencari tahu jurusan-jurusan favorit, saya juga tidak mengenal passing grade saat itu. Bermodalkan data di web SNMPTN yang menampilkan jumlah pendaftar tahun lalu dan kuota tahun ini pada masing-masing jurusan. Saya memutuskan untuk menempatkan Psikologi UI di pilihan pertama, karena saya memang suka dengan ilmu-ilmu psikologi. berarti tinggal tersisa 2 lagi, karena psikologi adalah IPS, berarti sisanya harus IPA semua atau 1 IPA, 1 IPS. Lagi-lagi saya berpatokan pada biaya, saya tahu biaya IPA jauh lebih mahal daripada biaya IPS. Akhirnya saya pilih Sastra Rusia UI di pilihan kedua. Kenapa Sastra Rusia? karena saya melihat peluang yang cukup besar saya diterima disana, dilihat dari peminat dan kuotanya. Saat itu saya juga suka dengan sepak bola Rusia pada Euro 2008 yang mampu mengalahkan tim jagoan saya Belanda dengan skor 3-1, Arshavin dan Pavlyuechenko menjadi pemain favorit saya ketika itu. Pilihan ketiga adalah Teknik Pertenakaon UNSOED Purwokerto, ini jalan terakhir jika saya harus tinggal di rumah nenek saya di Prwokerto. Pendaftaran sudah selesai, tinggal nunggu Ujian seminggu lagi. Saya mendapatkan tempat di SMA 5 Jakarta di daerah Kemayoran. Waktu seminggu itu saya gunakan untuk belajar, saya download soal-soal SNMPTN tahun sebelumya di internet. Tanpa bermodalkan Try Out seperti anak-anak pada umumnya, saya percaya diri menghadapi Ujian. Singkat cerita 2 hari Ujian telah selesai, saya selalu ditemani kakak saya menuju SMA 5. Masa-masa menunggu pengumuman saya gunakan untuk kembali belajar soal STAN, sambil terus berdoa agar diberikan hasil yang terbaik dalam SNMPTN nanti. Akhirnya tiba juga saat dimana pengumuman itu tiba, saya menuju warnet untuk membuka pengumuman tersebut.Hasilnya 'Selamat anda diterima di Universitas Indonesia Program Studi Rusia' kira-kira begitu tulisannya. Seneng, bingung, perasaan yang bercampur aduk dalam diri saya. Akhirnya saya pulang setelah sebelumnya mencari tahu tentang apa saja yang harus dilakukan setelah diterima di UI. Saya langsung memberi tahu Ibu saya, beliau tidak menunjukan raut bahagia ketika saya memberitahu saya diterima di UI. Mungkin saat itu beliau berpikir "Darimana Biaya untuk masuk UI". Orang pertama yang terlihat antusias mendengar berita ini adalah kakak perempuan saya satu-satunya, Widi. Ia sangat mendukung saya. Kemudian saya mencoba menjelaskan kepada keluarga bahwa di UI ada mekanisme bayaran yang sesuai dengan kemampuan orang tua namanya BOPB, jadi tidak perlu khawatir, wlaupun di website tertera nominal 10 Juta lebih untuk pembayarannya. Beberapa hari kami sibuk mengurus berkas BOPB, saya dibantu oleh kakak saya bolak-balik RT,RW,Kelurahan. Setelah selesai semua berkas terkumpul, saya mengantar berkas tersebut ke perpustakaan lama. Beberapa hari kemudian hasil BOPB muncul, Uang pangkal yang tadinya bernilai 5 juta kini menurun sampai 2 Juta. Bayaran semester yang tadinya 5 Juta kini menjadi 1,5 Juta. Dengan nominal tersebut kami masih keberatan, sampai akhirnya saya mengajukan banding dengan beberapa berkas pendukung. Namun hasil banding tidak merubah nominalnya, hanya merubah proses pembayarannya yang bisa dicicil beberapa kali. Kami pasrah, dan menerima keputusan itu. Beberapa hari kemudian nama saya dipanggil untuk proses seleksi beasiswa Bidik Misi, Jika saya lolos maka saya tidak perlu lagi memusingkan bayar kuliah. Saya isi berkas dengan sungguh-sungguh sambil terus berdoa, dan akhirnyaaaaaaa betapa bahagia dan bersyukurnya saya ketika beberapa hari kemudian nama saya lolos sebagai penerima Bidik Misi. Ternyata Allah benar-benar sayang kepada saya, saya telah diberikan kesempatan untuk kuliah di UI tanpa bayar sampai lulus. Sejak saat itu saya berjanji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan Allah kepada saya. Banyak pelajaran yang saya bisa ambil dari sini, "Ketika ada niat baik, pasti akan ada jalan keluarnya, Allah akan memudahkan jalan hamba-Nya yang mau berusaha".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H