Mohon tunggu...
Azhar Fariz Daffa Risqullah
Azhar Fariz Daffa Risqullah Mohon Tunggu... Penulis - |Content Writer|Copywriter|Digital Marketing enthusiasts|

Actively blogging and writing to share my perspective on current issue and pop culture, such as Sport or Movie.

Selanjutnya

Tutup

Film

Mai (2024), Melihat Budaya Asia Tenggara melalui Mai

3 September 2024   08:50 Diperbarui: 3 September 2024   08:56 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2024 mungkin jadi tahunnya perfilman Asia Tenggara yang sedang naik daun. Meskipun tahun ini baru setengah jalan, beberapa negara Asia Tenggara sudah merilis film box office yang hits, seperti Thailand dengan 'How to Make Millions Before Grandma Dies' dan Indonesia dengan 'Agak Laen'. Vietnam juga tidak mau kalah dengan filmnya 'Mai' yang dirilis pada Februari 2024 dan sekarang sudah bisa ditonton di Netflix.

'Mai' bercerita tentang seorang ibu tunggal yang berjuang menghadapi kenyataan hidup yang keras. Sebagai seorang janda dengan ayah yang kecanduan judi, Mai bertemu dengan seorang pria misterius bernama Sau. Tapi, kisah cinta Mai dengan Sau jauh dari kata mulus. Ini adalah film Vietnam pertama yang aku tonton, dan kesannya benar-benar kuat. Konflik-konflik dalam film ini terasa sangat dekat dan relatable.

 Sebagai orang Asia Tenggara, masalah-masalah yang dihadapi Mai dan karakter lain dalam film ini sangat menggema, karena mencerminkan masalah-masalah umum di kawasan ini. Dalam review ini, aku akan membahas nilai-nilai "budaya" asia tenggara yang menarik dari film ‘Mai’ (2024).

1. Tetangga yang berisik

Dimanapun kamu berada di Asia, tetangga yang berisik dan suka ikut campur urusan orang lain sepertinya sudah jadi momok umum. Di ‘Mai’, stereotip ini digambarkan dengan sangat nyata. Di awal film, Mai pindah ke apartemen baru dan langsung disambut oleh tetangga-tetangga yang mengganggu dan cepat menghakiminya sebagai wanita panggilan, lalu menyebarkan gosip-gosip pribadi. 

Penggambaran ini mirip banget dengan pengalaman nyata banyak orang di Asia, di mana tetangga yang suka bergosip bisa jadi gangguan yang konstan. Seperti kata pepatah, “Mereka nggak bakal berhenti sampai dihajar.”

2. Kecanduan Judi di Kalangan Masyarakat Kelas Bawah

Penyanyi legendaris Indonesia, Rhoma Irama, pernah bilang, “Judi meracuni iman dan kehidupan.” Judi sudah lama jadi masalah sosial yang susah diberantas. Dengan munculnya judi online, masalah ini malah semakin parah, terutama di Asia Tenggara, di mana 80% penjudi online berasal dari latar belakang ekonomi rendah. 

Di ‘Mai’, kita melihat dampak kecanduan judi ayahnya yang membuat Mai harus menanggung utang-utang ayahnya. Ini mencerminkan masalah yang lebih besar di mana kemiskinan mendorong orang untuk mencari solusi finansial instan, tekanan hidup memperburuk masalah, dan kurangnya pendidikan tentang risiko judi semakin menyulut kecanduan ini.

3. Lingkungan Sosial yang Tidak Ramah bagi Perempuan

“Jadi perempuan itu sudah nasib sial” — Mai (2024)

Selain drama emosional dan perjuangan Mai mencari kebahagiaan, salah satu konstruksi sosial yang paling mencolok dalam film ini adalah ruang publik yang tidak ramah bagi perempuan. Sepanjang film, Mai bekerja di spa yang sebagian besar pegawainya adalah perempuan, dan kita bisa melihat bagaimana pelanggan pria sering melecehkan pekerja perempuan. 

Di mata karakter-karakter pria, perempuan diobjektifikasi hanya untuk kesenangan mereka. Mai harus menghadapi slut-shaming dari tetangganya, yang mengkritiknya hanya karena dia lebih cantik dan lebih baik dari mereka. Sebagai anggota sandwich generation, Mai harus berjuang menghidupi anaknya dan menangani ayahnya yang kecanduan judi, sambil menghadapi tekanan di tempat kerja dan penghakiman dari masyarakat. 

Film ini menyoroti lingkungan yang menekan yang diciptakan oleh norma-norma patriarki, terutama stigma seputar keperawanan perempuan. Perjuangan Mai menggambarkan kenyataan pahit bagi perempuan di Asia Tenggara, di mana patriarki sering kali gagal memberikan ruang yang aman dan menghormati perempuan.

Secara keseluruhan, ‘Mai’ adalah film yang memecah batasan untuk perfilman Vietnam. Film ini menyajikan drama yang penuh perjuangan dan hati yang patah, menampilkan perjalanan Mai untuk membangun kembali hidupnya dan mengatasi masa lalunya. Film ini sangat layak ditonton karena menyoroti stigma sosial terhadap ibu tunggal dan kurangnya kenyamanan bagi perempuan yang berusaha menghidupi keluarganya. Film ini menggambarkan masyarakat Asia Tenggara dengan keaslian dan kedalaman yang luar biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun