“Jadi perempuan itu sudah nasib sial” — Mai (2024)
Selain drama emosional dan perjuangan Mai mencari kebahagiaan, salah satu konstruksi sosial yang paling mencolok dalam film ini adalah ruang publik yang tidak ramah bagi perempuan. Sepanjang film, Mai bekerja di spa yang sebagian besar pegawainya adalah perempuan, dan kita bisa melihat bagaimana pelanggan pria sering melecehkan pekerja perempuan.
Di mata karakter-karakter pria, perempuan diobjektifikasi hanya untuk kesenangan mereka. Mai harus menghadapi slut-shaming dari tetangganya, yang mengkritiknya hanya karena dia lebih cantik dan lebih baik dari mereka. Sebagai anggota sandwich generation, Mai harus berjuang menghidupi anaknya dan menangani ayahnya yang kecanduan judi, sambil menghadapi tekanan di tempat kerja dan penghakiman dari masyarakat.
Film ini menyoroti lingkungan yang menekan yang diciptakan oleh norma-norma patriarki, terutama stigma seputar keperawanan perempuan. Perjuangan Mai menggambarkan kenyataan pahit bagi perempuan di Asia Tenggara, di mana patriarki sering kali gagal memberikan ruang yang aman dan menghormati perempuan.
Secara keseluruhan, ‘Mai’ adalah film yang memecah batasan untuk perfilman Vietnam. Film ini menyajikan drama yang penuh perjuangan dan hati yang patah, menampilkan perjalanan Mai untuk membangun kembali hidupnya dan mengatasi masa lalunya. Film ini sangat layak ditonton karena menyoroti stigma sosial terhadap ibu tunggal dan kurangnya kenyamanan bagi perempuan yang berusaha menghidupi keluarganya. Film ini menggambarkan masyarakat Asia Tenggara dengan keaslian dan kedalaman yang luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H