Catatan: artikel ini dibuat berdasarkan skrip Podcast penulis. Jadi apabila kalian merasa pernah mendengar pembahasan artikel ini, itu tidak mengherankan
Selamat pagi, kawan.
Aku tidak tahu saat kamu mendengarkan rekaman ini, apakah itu sedang pagi atau malam, sedang cerah atau hujan, tak apa. Aku sendiri juga merekam ini di sore hari yang hangat. Namun, aku ingin memulai ini dari waktu pagi, karena pagi adalah waktu yang paling menginspirasi.
Saat aku sedang menulis ini, kawan, aku sedang mengingat-ingat kembali sebuah momen. Belum terlalu lama, kira-kira sehari sebelum lebaran puasa kemarin. Waktu itu, aku sudah mudik ke kampung halaman. Sehari sebelum lebaran, Mama minta ditemani pergi ke sebuah pasar.Â
Pasar yang cukup besar untuk ukuran di daerah tempat tinggal kami. Kami pergi ke pasar, membeli beberapa barang. Aku membeli peci baru karena besok mau lebaran, sedangkan Mama membeli kue kering, serta beberapa perlengkapan bumbu dapur untuk persiapan memasak menu lebaran. Kami ke pasar tidak lama, paling cuma satu jam, lalu pulang.
Terdengar biasa saja ya, kawan? Iya, itu memang cuma momen biasa. Namun momen itu, yang hanya satu jam itu, melekat kuat dalam kepalaku, kawan. Tiap aku mengingat kembali momen itu, aku akan tersenyum. Sinar mentari pagi yang menerpa kami sepanjang perjalanan rasanya seperti cahaya yang membawa aroma surgawi amat menenangkan.Â
Riuh suara para pembeli dan penjual saling tawar menawar terdengar seperti harmoni musik yang amat indah. Apapun itu, otakku bekerja secara misterius menerjemahkan momen di hari itu, sehari sebelum lebaran, menjadi sebuah kenangan yang indah. Ah seandainya kawan bisa melihat, sekarang aku sedang tersenyum-senyum sendiri.
Kurang dari setahun belakangan, kawan, aku mempelajari banyak hal. Hidupku amat biasa-biasa saja. Tidak ada hal yang istimewa kalau diukur dengan standar orang banyak. Aku tidak pernah berlibur ke tempat yang keren, aku jarang nongkrong atau jalan-jalan ke kafe yang kekinian, aku jarang bersosialisasi, tidak punya pacar, prestasi biasa-biasa saja, pengangguran.Â
Yeah, di beberapa titik, aku merasa tidak ada hal yang bisa dinikmati dalam hidup. Apalagi dengan standar sekarang, kau tahu bukan, orang sekarang sekehendak hati menerapkan standar kebahagiaan yang aneh-aneh. Harus punya barang ini dan itu, harus pergi ke sana dan ke situ, harus memiliki pasangan, anak, teman, circle atau whatever lah.
Dalam titik inilah, di saat aku nyaris terpuruk, aku menemukan ini. Aku menyebutnya Seni Mencintai Masa Lalu.