Selepas Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Sylviana Murni (Sylvi) bikin acara Voice of Saturday, haters langsung nyinyir. Secara pribadi saya menilai barangkali haters ini gak paham subtansi acara pertemuan AHY-Sylvi dengan anak muda Jakarta ketika itu.
Tetapi, waktu baca berita tentang pengamat komunikasi politik yang berpendapat pidato AHY-Sylvi di Voice of Saturday gak ada manfaatnya untuk warga Jakarta. Kalau yang penting itu blusukan, berdialog bersama warga, saya tergelitik juga.
Sebagai anak muda Jakarta yang tidak kenal lelah mencari tempat nongkrong yang asyik, nyaman dan murah meriah, izinkan saya buat ngomong, “Helooo? Ke mana aja selama ini?”
Paslon yang kemarin berani bersikap beda itu siapa? Yang kemarin gak takut kena bully karena bilang blusukan lebih penting ketimbang cuap-cuap di TV itu siapa? Lha kok, pengamat ini gak ada ngomong? Boro-boro apresiasi, bilang kalau AHY-Sylvi sudah gerilya ke pelosok-pelosok Jakarta saja enggak? Padahal sebelum pengamat ini ngomong begitu, AHY-Sylvi sudah lebih dulu berbuat, sudah jauh-jauh menerapkan komunikasi interpersonal, langsung berdialog dengan rakyat. Blusukan!
Kok setengah-setengah gitu sih ngelihatnya? Apa gak pernah nonton berita di TV?
Lagian, kalau melihat video AHY-Sylvi di Youtube itu, terasa banget paslon ini gak berjarak sama anak-anak muda. AHY tampil fresh! Mpok Sylvi tampak seperti kakak perempuan kita.
Gagasan bikin 100 Kedai Jakarta itu contohnya. Gerai seluas 1.000-2.000 m2 bakal dilengkapi banyak fasilitas dan bebas diakses oleh siapa saja. Ini kan khas anak muda Jakarta banget.
Bukan cuma wifi gratis, kalau begitu mah biasa atuh. Tapi fasilitas lengkap supaya anak-anak muda punya tempat nongkrong yang asyik, fresh, dan nyaman buat ngobrol dan menumbuhkembangkan ide-ide kreatif. Kalau wifi mah cuma salah satu sarana pendukung supaya suasana makin asyik buat melahirkan ide-ide kreatif tadi.
Komunitas-komunitas anak muda Jakarta bisa berkumpul di Kedai Jakarta. Bisa buat ngobrolin agenda-agenda komunitasnya. Kedai Jakarta juga bisa jadi tempat buat parade unjuk bakat. Ajang pentas pantomin, musik akustik, atau tempat pameran lukisan buat pekerja seni yang belum tembus galeri yang wah itu. Bukan gak mungkin dari sini para senior itu bisa ketemu bakat-bakat baru buat diorbitkan.
Di zaman dua jempol di gadget, pertemuan fisik memang berkurang, tetapi bukannya gak penting. Gak semua bisa kelar di dunia maya. Jujur saja dech, kalau kita jadi anak band, lebih suka dapat like bejibun di Youtube atau denger keprok tangan riuh di dunia nyata? Lebih suka lukisan kita dikomentari di Facebook atau langsung dapat jabat tangan aspresiasi dan dengar pujian dari si Mukidi, Ngademin atau Markonah secara langsung?
Serius deh. Minimal di Kedai Jakarta kita bisa kongkow sepuas-puasnya, tanpa kuatir kena lirik sinis pelayan cafe gegara berjam-jam nongkrong tapi cuma mesen es teh doang :D Kan gak asyik banget!