1. Pendahuluan
      Akhir-akhir ini kita menyaksikan banyak lembaga pendidikan yang gulung tikar karena tidak mendapatkan siswa. Hal ini diawali dari ketidak-harmonisan hubungan antara pimpinan dengan guru dan karyawan, dan juga terjadinya diskomunikasi antar komponen pendidikan. Ditambah lagi dengan tidak adanya upaya untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, sehingga permasalahan intern sekolah terus berlanjut. Kesejahteraan guru tidak lagi menjadi prioritas akibatnya kinerja guru semakin buruk dan pada akhirnya berimbas pada siswa. Semakin hari keadaan semakin kacau, siswa sudah tidak diperhatikan lagi, guru banyak yang malas mengajar sehingga sekolah berubah nama menjadi sekolah 89 (masuk jam delapan pulang jam sembilan). Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah semakin berkurang dan pada tahun-tahun berikutnya tidak ada lagi orang tua yang mau memasukan anaknya kesekolah tersebut.
      Tampak jelas di depan mata, kita sering menyaksikan lembaga pendidikan yang begitu mentereng dan mewah. Pengelolanya bergaya gedongan, rumahnya mewah bagai istana, kendaraannya berjejer sampai kehalaman, hampir semua merek mobil terpampang dirumahnya. Tapi setelah kita menengok ke dalam sekolah yang dikelolanya dan bertanya pada guru yang ada disana, ternyata banyak diantara mereka yang kondisinya sangat memprihatinkan, jangankan untuk membeli rumah dan kendaraan, untuk bayar kontrakan saja mereka sering menunggak. Masih banyak pengelola lembaga pendidikan yang hanya memikirkan kepentingan pribadinya dan keluarganya saja, mereka menganggap bahwa lembaga pendidikan yang mereka kelola merupakan sumber penghasilan bagi keluarga mereka. Bahkan ketika para sesepuh dan pendiri lembaga tersebut meninggal dunia, lembaga pendidikan tersebut menjadi rebutan. Padahal lembaga pendidikan yang mereka kelola berada diatas tanah wakap yang jelas-jelas adalah milik umat. Beberapa contoh kasus belum lama ini tejadi, di Universitas Islam Sumatra Utara (UISU) sebuah Universitas tertua dikota itu yang menjadi kebanggaan umat Islam, tarjadi bentrokan dua kubu Pengelola dan Mahasiswa yang Pro Hajah Suryani dan yang Pro Helmi Nasution. Hajah Suryani adalah salah satu istri dari Pendiri Lembaga tersebut sedangkan Helmi Nasution adalah salah satu anak dari pendiri. Keduanya mengaku sebagai salah satu yang berhak mengelola lembaga tersebut dan memiliki semua asset yang ada didalamnya. Harta lah yang membutakan hati mereka karena jumlah Mahasiswa yang mencapai 8000 Mahasiswa dengan biaya kuliah yang mahal sehingga menghasilkan omset milyaran rupiah setiap tahunya. Ada lagi kasus perebutan kampus Trisakti antara pendiri dan pengelola, Thoby Mutis sebagai pengelola merasa turut membangun kampus tersebut sehingga besar seperti sekarang, sedangkan pendiri merasa kampus tersebut adalah buah karyanya sehingga mereka berhak memiliki semua asetnya. Sampai sekarang perebutan asset kampus tersebut belum selesai. Dan masih banyak lagi kasus yang lain yang pada akhirnya harus mengorbankan Guru terlebih lagi siswa. Ketika lembaga tersebut masih kecil dan keadaannya memprihatinkan mereka saling meyodorkan tanggung jawab, akan tetapi ketika lembaga tersebut berkembang dan menghasilkan banyak uang mereka memperebutkanya. Sengguh harta telah membutakan hati mereka.  Â
      Ketika mereka mendapat amanah untuk memimpin, mereka memimpin secara sewenang-wenang. Berbagai batuan dari pemerintah untuk  kesejahteraan Guru yang seharusnya menjadi hak guru sepenuhnya, mereka sunat dengan alasan tertentu yang tidak logis. Guru yang vocal dan kritis mereka tendang begitu saja tanpa diberi pesangon sedikitpun, padahal guru tersebut telah berjuang disekolah tersebut sejak awal pendirian. Pada awal pendirian setiap guru dituntut untuk bersama-sama memperjuangkan kemajuan sekolah, dengan iming-iming kesejahteraan yang lebih baik, akan tetapi setelah sekolah maju dan mendatangkan banyak income, meraka ditinggalkan dan kesejahteraannya diabaikan. Para guru rela digaji dibawah UMR selama bertahun-tahun, tanpa diberi penghargaan yang layak sehingga sangat cocok bila guru mendapatkan gelar  sebagai "Pahlawan tanpa tanda jasa".
      Pengelola Yayasan menganggap bahwa kemajuan sekolah yang selama ini dirasakan merupakan hasil kerja keras mereka dan keluarganya saja, sehingga meraka melupakan kontribusi para dewan guru yang begitu ikhlas mengajar demi kemajuan anak didiknya. Mereka alergi terhadap kritikan, lebih-lebih kalau kritikan itu datangnya dari guru, kalau ada guru yang mengkritik dengan entengnya mereka berkata : "Kalau sudah tidak suka lagi mengajar disini ya sudah, cari saja sekolah lain yang lebih baik, masih banyak kok guru yang lain yang mengantri ingin mengajar disini". Kalau ada guru yang bertanya tentang pemotongan uang BKG mereka lantas berkata: "kalau tidak ada tanda tangan kami (kepala sekolah) uang ini tidak akan turun dan berada ditangan anda". Sungguh picik pikiran mereka bukannya memberikan solusi dan menambah uang bantuan yang hanya sedikit jumlahnya, eh  malah disunat, dimanakah hati nurani mereka.
      Seandainya guru mau menghitung secara matematika berapa besar investasi meraka di sekolah dan berapa jumlah uang yang harus dibayarkan kepada setiap guru yang dikeluarkan. Jika diasumsikan UMR yang telah ditetapkan oleh pemerintah "tujuh ratus ribu rupiah" perbulan, sedangkan rata-rata gaji yang mereka terima hanya "tiga ratus ribu rupiah", berarti setiap bulan seorang guru berinvestasi "empat ratus ribu rupiah". Jika seorang guru telah mengajar selama sepuluh tahun berarti setiap guru mempunyai investasi terhadap sekolah sebesar "empat puluh delapan juta rupiah". Sanggupkah sekolah membayar uang sebesar itu untuk setiap guru yang dikeluarkan. Sebagai seorang guru mungkin kita tidak akan sepicik itu dengan menuntut uang pesangon sebesar itu. Tapi yang diharapkan seorang guru adalah peningkatan kesejahteraan secara adil, bukan hanya pihak pengelola sekolah dan keluarganya saja yang sejahtera  tapi guru juga bisa menikmati kesejahteraan walaupun hanya untuk menutupi belanja dapur dan keperluan rumah tangga lainya. Tugas seorang pemimpin (pengelola sekolah) adalah menciptakan suatu pengelolaan pendidikan yang memberikan suasana yang kondusif bagi guru dan karyawan, sehingga guru dapat melaksanakan tugas profesionalnya secara kreatif dan produktif, serta memberikan jaminan kesejahteraan  dan pengembangan karirnya.1 Jabatan Kepala sekolah dalam hal ini sangat strategis karena kepala sekolah merupakan jabatan struktural dalam bidang pendidikan yang mengemban kewenangan profesi dimana selaku pimpinan bertugas untuk mengarahkan dan membimbing tenaga-tenaga kependidikan. Dengan demikian jabatan struktural kepala sekolah tidak terlepas dari tuntutan penguasaan kemampuan kepemimpinan dan kemampuan propesional bidang pendidikan.
      Kepala sekolah yang propesional adalah kepala sekolah yang mampu memberdayakan berbagai potensi yang ada untuk tujuan pendidikan secara maksimal maupun menyelesaikan berbagai masalah yang terkait dengan pengelolaan sekolah. Menurut Gary Easthope, kepemimpinan akan berkembang apabila melibatkan juga siswa. Sebagai komponen proses pembelajaran disekolah, guru, karyawan dan siswa perlu dilibatkan dalam proses kepemimpinan, dan jika perlu diberi kesempatan untuk mengevaluasi kemampuan kepemimpinan mereka. Selanjutnya Everard dan Moris mengatakan bahwa ada tiga komponen penting yang merupakan tanggung jawab seorang pemimpin yaitu : 1). Mengelola SDM (Managing People); 2). Mengelola organisasi (Managing organization); dan 3). Mengelola perubahan (Managing Change).3 Masih menurut Everard dan Morris ketiga tanggung jawab inilah yang harus dilakukan oleh kepala sekolah agar dia berhasil dalam memimpin sekolah nya. Lebih jauh lagi Thurow menyatakan bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang dapat memberikan kepada orang lain apa yang harus mereka lakukan dan bukan bagaimana cara melakukannya.Â
       Dengan demikian nampak jelas bahwa peran kepemimpinan dalam upaya meningkatkan mutu sekolah amat penting, sebagaimana dinyatakan oleh Beck dan Murphy bahwa kepemimpinan merupakan salah satu syarat utama keberhasilan suatu sekolah.  lebih lanjut lagi beck dan Murphy  menyatakan bahwa kepemimpinan tidak hanya melibatkan kekuatan satu orang saja  melainkan pembagian tanggung jawab antar seorang pemimpin dan semua komponen yang ada disekolah. Seorang Kepala sekolah juga harus selalu memberikan motivasi kepada guru, karyawan dan siswa agar semua komponen pendidikan tersebut dapat terus meningkatkan dan mengembangkan terus profesinya dengan baik. Karena profesionalisme guru dan juga karyawan merupakan tuntutan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap lembaga pendidikan. Â
 2. Pengertian Profesionalisme Guru
      Profesi guru merupakan profesi yang sangat mulia, baik dalam pandangan masyarakat maupun dalam pandangan agama. Sebelum kita membahas lebih jauh tentang profesi guru terlebih dahulu kita bahas dulu tugas dan tanggung jawab antara guru dan karyawan. Guru adalah tenaga profesional dalam bidang pendidikan sedangkan karyawan adalah tenaga profesional dalam bidang administrasi yang bertugas membantu guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kedua komponen tersebut harus terjalin kerja sama yang baik sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan keduanya mempunyai tanggung jawab yang sama yaitu mencapai tujuan pendidikan.
      Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik (guru), dan peserta didik (siswa) untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk sustu triangle, jika hilang salah satu komponen maka hilang pula hakekat pendidikan.6 Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya profesionalisme guru. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.7 Â