Mohon tunggu...
Saikhunal Azhar
Saikhunal Azhar Mohon Tunggu... lainnya -

Penulis akan mati, tapi karyanya akan tetap abadi. karena itu menulislah untuk kebahagiaanmu di akhirat nanti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Writer's Anxiety

2 April 2016   23:16 Diperbarui: 2 April 2016   23:30 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Menulis bukan lagi sebuah kerja elite, sulit, mahal, dan artifisial sebagaimana mulanya. Menulis kini adalah sebuah kerja ‘alamiah’, seperti kita minum, tidur, beranak, bersenandung, atau mencoret-coret gambar. Ia adalah satu kebutuhan dasar. Ia adalah ukuran adab dan kebudayaan. Dan manusia terisap di dalamnya. Manusia harus bisa menulis, bahkan menjadi penulis.”

Pernyataan yang menggairahkan ini disampaikan oleh budayawan Radhar Panca Dahana, lewat tulisannya yang berjudul “Metabolisme Tulisan” dalam memberikan pengantar buku “Writing without teachers, merdeka dalam menulis” karya Peter Elbow yang diterbitkan dalam edisi Indonesia. Saya suka dengan pernyataan tersebut, karena menurut saya di dalam tulisan itu terdapat energi yang luar biasa besar sebagai ekspresi kemerdekaan manusia, yang dengan kemerdekaannya itu manusia bebas menulis apa pun yang ada dalam pikirannya. Ya seharusnya memang begitu. Orang akan bisa menulis secara ekspresif, lugas, jujur dan tanpa basa-basi kalau ia tidak dihantui dengan bayang-bayang yang menakutkan. Bayang-bayang yang saya maksud itu adalah segudang aturan tentang ini itu dalam menulis.

Coba dibayangkan, di depan kita sudah menghadang berbagai aturan seperti tata bahasa (sudah sesuai dengan EYD atau belum), struktur kalimat, penggunaan kosakata dan sebagainya. Seolah semua itu sedang mengancam kita, awas kalau salah menulis!. Bagaimana orang akan berani menulis kalau belum-belum sudah diwarning seperti itu. Ini semua tidak lebih sebagai hantu yang terus menakut-nakuti kita. hantu-hantu itu kemudian menjelma ke dalam labirin yang menghalangi langkah kita untuk menulis. Saya sependapat dengan pernyataan di atas, bahwa untuk memulai menulis pikiran kita harus bebas dari semua tekanan dan bayang-bayang kesalahan. Justru dari kesalahan itulah, menurut saya kita akan belajar menjadi benar. Kesalahan di awal kita menulis pada akhirnya akan menjadi pengalaman yang sangat penting dalam memberdayakan setiap kata, setiap kalimat dan setiap tulisan yang kita susun secara utuh. Sehingga akan menjadi sebuah bangunan kalimat yang enak dibaca, dan yang paling penting adalah bisa memberdayakan penulisnya sendiri dan juga orang yang membacanya. Semua itu tentunya diawali dari sebuah proses, dan dengan adanya kesalahan itu kita bisa belajar untuk benar. Seorang penulis yang hebat pun pasti mengalami proses awal yang penuh dengan rintangan dan kesulitan. Meskipun tingkat kesulitan yang dihadapi masing-masing orang tentunya berbeda.

Lebih menarik lagi, nasihat yang diberikan Dr. Pennebaker (2002) dalam bukunya Ketika Diam Bukan Emas: Berbicara dan Menulis sebagai Terapi, nasihatnya sederhana tapi mengena. Begini nasihatnya: Anda tidak usah terlalu memikirkan masalah tata bahasa, ejaan, ataupun struktur kalimat ketika menulis. Anda juga harus berusaha membebaskan diri Anda. Terserah kepada Anda untuk menulis apa saja yang Anda inginkan. Yang penting, Anda merasa nyaman dan tekanan Anda hilang ketika menulis.

 Nasihat ini sama sekali berbeda, berbanding terbalik dengan pelajaran yang diberikan oleh kebanyakan guru-guru kita ketika di sekolah. Semua guru kita kompak mengajarkan kepada peserta didiknya, kalau menulis itu harus memperhatikan hal-hal teknis dan tata cara penulisan seperti tata bahasanya, harus sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), gramatikanya harus benar, pemilihan kosakatanya harus tepat dan seterusnya. Semua ini hemat saya hanya akan menambah orang semakin tidak bergairah. Apa yang terjadi kemudian? Tak satupun peserta didiknya berhasil menulis dengan baik. Kalaupun menulis hanya untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh guru. Mereka menulis dengan penuh keterpaksaan. Kalimat pembukanya dimulai dengan sangat berat. Bukan ekspresi jiwa dan pikiran orisinil yang mereka tuliskan, melainkan hanya barisan kata yang terpaku pada kebenaran EYD, gramatika dan tatacara penulisan yang baik dan benar menurut guru. Dari sini sebenarnya menulis menjadi sesuatu yang tidak diminati oleh peserta didik di sekolah. Kalau di sekolah saja mereka sudah tidak berminat, selepas dari bangku sekolah saya yakin akan semakin dibuang jauh-jauh.  Fenomena ini terus menggejala, menjalar bak virus ganas yang dengan cepat menyebar.

Kalau sudah begini, jangan berharap kalau budaya literasi –yang di dalamnya meliputi budaya membaca dan menulis-- akan mendapatkan tempat di hati masyarakat kita. Karena mereka sudah dihantui perasaan takut salah terlebih dahulu. Jadi sebenarnya sejak di bangku sekolah hantu-hantu itu sudah diproduksi oleh guru-guru kita dan kemudian kita warisi entah sampai kapan. Secara tidak sadar dinding-dinding penghalang itu kita ciptakan sendiri. Kini saatnya dinding-dinding perintang itu dihancurkan supaya kita bisa leluasa kesana kemari. Kabar gembira ini harusnya bisa memacu diri kita untuk berubah untuk memberdayakan diri dengan menulis. Karena sekarang ini sudah zamannya literasi, bukan lagi zaman budaya oral. Kita harus mampu membenahi budaya literasi (baca dan tulis) yang kedodoran sehingga jauh tertinggal dengan bangsa-bangsa lain.

Bagi saya, menulis tidak harus benar, yang penting jujur. Sesuatu yang ditulis benar-benar ekspresi jiwa dan pikiran kita. Lebih baik menulis salah, dari pada menulis benar tapi menggambil dari orang lain, alias copy and paste atau copas. Fenomena ini belakangan menjadi perhatian serius di kalangan praktisi pendidikan Indonesia. Banyak sekali lulusan sarjana di Indonesia yang melakukan plagiarisme. Mereka mencomot karya orang lain kemudian diklaim sebagai karya sendiri. Sungguh pelanggaran etik yang sangat berat kalau hal ini terjadi di kalangan akademik. Kejujuran semakin terpinggirkan bahkan terlupakan kalau aksi plagiarisme masih terus menjadi bagian dari kerja intelektual. Inilah dampak buruk yang pasti bakal terjadi kalau budaya tulis dan baca diabaikan. Mereka lebih senang mengambil jalan pintas dengan cara copas, karena sudah pasti tidak mampu apabila mengerjakan sendiri.

Fenomena tersebut setidaknya menjadi otokritik bagi kita bersama sekaligus menjadi titik balik untuk membenahi budaya tulis kita. Dimulai dari membenahi  budaya tulis kita secara pribadi. Banyak sekali hal-hal yang menjadi hambatan untuk kita singkirkan. Mari kita telaah dengan baik apa saja hal-hal itu. Mendiskusikan tentang apa saja hambatan yang sering dialami bagi seorang calon penulis, rasanya semakin menarik kalau kita menengok sejenak buku main-main dengan Teks (Kaifa, cetakan ke-2,2005). Penulis buku ini, Hernowo sudah mengidentifikasi pelbagai hambatan menulis yang cukup apik. Hambatan menulis dibaginya menjadi dua, yakni hambatan internal dan eksternal. Hambatan eksternal berkaitan dengan hal-hal yang datang dari luar diri calon penulis. Biasanya hambatan ini lebih bersifat teknis kepenulisan, seperti kaidah penulisan, tata bahasa, ejaan dan sebagainya. Sementara hambatan internal berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam diri calon penulis. Mengatasi hambatan internal ini menurut hemat saya menjadi prioritas yang lebih penting sebelum kita menaklukkan hambatan eksternal. Karena hambatan internal ini bersifat non teknis, jadi membutuhkan penyelesaian non teknis pula. Sedangkan hambatan eksternal karena berkaitan dengan hal-hal teknis biasanya sudah banyak dibahas dalam buku-buku yang membicarakan tentang tata  bahasa dan tata cara penulisan, karena hal ini bersifat baku. Nah, pada kesempatan ini saya mencoba mengidentifikasi apa saja hambatan internal itu.

Pertama, saya menduga rasa malas atau tidak mood menjadi alasan pertama kenapa orang enggan menulis. Banyak sekali mahasiswa yang skripsi atau tesisnya tidak kelar-kelar karena mereka malas mengerjakan. Kalau masalah ini yang menjadi hambatan, berarti motivasi orang tersebut rendah. Mereka tidak memiliki dorongan yang kuat untuk melakukan sesuatu, tidak hanya menulis sebenarnya. Banyak hal yang terbengkelai karena penyakit malas. Hal ini berkaitan erat sekali dengan faktor psikis seseorang. Rasa malas dalam menulis juga merupakan penyakit yang tidak bisa dianggap sepele. Harus dibasmi sampai ke akarnya. Jangan berdiam diri sambil menunggu mood, namun kita harus bergerak untuk menciptakan mood dalam diri kita. Caranya, bangun motivasi yang kuat dalam diri Anda. Bangun kemauan kuat untuk menulis. Hanya Anda sendiri yang tahu bagaimana melakukan kiat ini.

Memang dalam teori motivasi kita tahu bahwa sumber motivasi ada yang bersifat eksternal ada pula yang bersifat internal. Eksternal adalah sumber motivasi yang berasal dari luar diri kita atau orang lain, sedangkan internal berasal dari dalam diri kita sendiri. Sumber motivasi eksternal biasanya usianya pendek, cepat layu. Sumber motivasi yang paling tentunya adalah yang berasal dari dalam diri kita sendiri. Kita bangun sugesti, harapan, cita-cita atau apapun dengan tujuan supaya diri kita terdorong untuk menulis. Mungkin kita bisa menanamkan sugesti dalam diri kita bahwa menulis sangat bermanfaat untuk melatih kemampuan kita berpikir. Atau misalnya kita, melalui tulisan kita bis menuangkan gagasan kita yang selanjutnya bisa menginspirasi orang lain. Ini artinya kita hendak membangun personal brand lewat tulisan yang kita buat. Ini semua sangat subyektif sifatnya. Artinya hanya diri kita yang bisa mengondisikan dorongan-dorongan itu.

Kedua, rasa tidak percaya diri atau tidak PeDe. Problem psikologis ini memang menjadi penghalang bagi seseorang yang ingin maju. Dalam hal menulis rasa tidak PeDe itu biasanya muncul dalam bayang-bayang pikiran kita. Aduh...saya malu kalau tulisan saya jelek. Ungkapan ini salah satu contoh ilusi yang membayangi pikiran kita ketika hendak menulis. Banyak sekali alasan mengapa seseorang tidak percaya diri menulis. Semua itu tidak lebih dari sebuah ilusi yang sebenarnya tidak ada. Ilusi ini terjadi karena kita berpikir negatif tentang diri kita. Sehingga selalu menganggap diri kita lemah dan tidak mampu. Rendahnya rasa percaya diri ini bisa membuat kita terpenjara dalam keadaan tak bergerak (statis). Keadaan ini membuat diri kita tidak bisa bergerak dengan dinamis untuk mengekspresikan segenap kemampuan kita. Krisis ini dapat berdampak negatif jika kita tidak segera tersadarkan diri. Perasaan tidak mampu mengerjakan suatu hal secara terus-menerus dapat mengakibatkan matinya kreativitas seseorang. Perlu langkah yang tepat agar kita bisa terlepas dari belenggu kurangnya rasa percaya diri. Nah, justru kegiatan menulis itu jadikanlah sebuah terapi untuk membangu rasa percaya diri itu. Sekalipun tulisan Anda dianggap biasa saja oleh orang lain, bukan berarti bahwa tulisan Anda tidak bagus. Atau misalnya selalu ditolak ketika mengirim artikel opini ke sebuah surat kabar. Bisa jadi tulisan Anda memang tidak memenuhi selera mereka atau barangkali juga ada faktor lain yang kita tidak tahu. Tapi semua itu tidak perlu dipikir pusing bukan?, toh Anda masih memiliki saluran yang lain untuk mempublish tulisan yang sudah dibuat dengan susah payah. Ini sebenarnya tergantung untuk apa tujuan Anda menulis. Misalnya menulis artikel surat kabar, menulis blog, menulis buku dan sebagainya. Tujuan ini tentunya harus ditentukan dulu, dan tulisan yang kita buat tentu saja harus disesuaikan dengan segmen yang akan kita tuju. Namun intinya semua itu bisa dipelajari, yang penting kita memiliki rasa percaya diri yang utuh. Ingat!, tidak semua orang ternyata bisa menulis seperti yang Anda lakukan. Jadi berbahagialah karena Anda termasuk orang istimewa karena bisa menulis.

Ketiga, bingung membuat kalimat pembuka. Ini masalah klasik yang sering dialami banyak orang termasuk saya sendiri. Saya merasakan gejala ini ketika periode awal latihan menulis. Rasanya susah sekali mengeluarkan sebuah kata. Padahal sebelumnya dengan rasa percaya diri ingin segera mengeluarkan ide yang bergelantungan di langit-langit otak saya. Namun ternyata setelah menyalakan laptop, satu kata pun tak segera tampak di layar monitor.  Ada beberapa alat yang bisa menolong kita ketika terjebak dalam kebuntuan semacam ini. Antara lain dengan membuat daftar pertanyaan sebanyak mungkin mengenai tema yang akan kita tulis. Kemudian jawablah pertanyaan-pertanyaan itu, lalu tuangkan satu persatu menjadi kalimat yang saling berhubungan. Alat lain yang biasa digunakan adalah dengan membuat outline atau kerangka tulisan. Prinsipnya sama, kita diajak untuk menjabarkan gagasan utama yang akan kita tulis menjadi beberapa bagian tulisan, sehingga tersusun seperti kerangka. Paragraf pertama apa, kedua apa dan seterusnya. Kerangka ini akan memandu kita untuk menuangkan kalimat yang ingin kita tulis. Selain kedua alat tersebut, kini diperkenalkan alat lain yang disebut dengan mind mapping atau pemetaan pikiran. Sebenarnya cara kerjanya hampir sama dengan kedua alat diatas, namun mind mapping lebih flexibel karena dapat berkembang bebas. Pembahasan secara komprehensif mengenai masalah ini akan saya kupas pada tulisan lain yang khusus membicarakan tentang membangun paragraf.

Keempat, tidak punya waktu luang untuk menulis. Hambatan ini juga sering diungkapkan oleh banyak orang. Masalahnya hampir sama dengan tidak punya cukup waktu untuk membaca, pada tulisan sebelumnya. Mengapa tidak punya waktu?, saya kok tidak sepenuhnya yakin. Coba direnungkan kembali, benarkah Anda sudah tidak punya waktu lagi?. Dugaan saya sama seperti kasus tidak punya waktu untuk membaca, persoalannya hanyalah tidak bisa mengelola waktu dengan baik. Saya percaya, bagi orang yang sangat sibuk, mengelola waktu memang tidak mudah. Namun itu semua akhirnya berpulang kepada kita, kalau memang menulis menjadi sesuatu yang dianggap penting seperti solat misalnya, ya tentu harus dialokasikan waktu meskipun di sela-sela kesibukan yang dijalani. Sekarang menulis tidak harus membuka laptop dan duduk manis di depan komputer. Saya sudah mulai terbiasa menulis di mana saja menggunakan smartphone, salah satu hikmah teknologi yang sangat saya rasakan manfaatnya. Anda pun bisa, sambil istirahat menunggu makan siang, setelah salat subuh atau menjelang beraktivitas pagi, menjelang tidur dan sebagainya. Ingat! Waktu yang dipinjamkan Tuhan sebanyak 24 jam sehari semalam dan selama hidup ini adalah milik Anda sepenuhnya. Jadi seharusnya Andalah yang mengatur waktu itu, bukan sebaliknya waktu yang mengatur Anda.

Kelima, pernahkah Anda mengalami blank alias tidak punya ide apapun?. Ya ini masalah utama yang menjadi hambatan dalam menulis. Namun persoalan ini sesungguhnya tak perlu dibahas secara panjang dan lebar. Karena upaya untuk mengatasinya sudah dipaparkan dalam mengikat makna, sebuah terapi memberdayan diri. Kali ini saya hanya ingin menegaskan bahwa persoalan blank ide ini terjadi karena kita miskin referensi. Cara mengatasinya ya membaca. Kalau menulis adalah skema pemberdayaan  in-out, artinya kita mebgeluarkan apa yang ada dalam diri kita dan memberikannya kepada orang lain. Maka membaca adalah skema pemberdayaan out-in, kita mentransfer infomasi dan pengetahuan dari luar (membaca) ke dalam otak kita.

Ini semua merupakan hambatan yang bersumber dari dalam diri calon penulis. Hambatan yang dipaparkan tersebut bersifat universal, artinya berdasarkan identifikasi secara umum. Di luar kelima hambatan yang saya paparkan tersebut, tentu masih banyak lagi hambatan menulis yang bisa dialami oleh calon penulis. Karena hambatan internal ini sifatnya dinamis, persoalannya kompleks dan terus berkembang.  Di luar hambatan yang universal ini tentu juga tidak tertutup kemugkinan akan terjadi hambatan yang bersifat eksklusif atau khusus, hanya dialami oleh orang-orang  yang khusus pula. Sehingga upaya penyelesaiannya pun harus khusus pula.

demikian catatan sederhana saya, semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun