Mohon tunggu...
Saikhunal Azhar
Saikhunal Azhar Mohon Tunggu... lainnya -

Penulis akan mati, tapi karyanya akan tetap abadi. karena itu menulislah untuk kebahagiaanmu di akhirat nanti.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengenalkan Kopi Jepara kepada Dunia

12 Oktober 2014   21:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:20 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permasalahan kopi di Kecamatan Keling, khususnya sentra penghasil kopi di Desa Damarwulan dan Tempur, Kabupaten Jepara yang diangkat pada penelitian ini bermula dari tingginya minat petani menanam kopi, khususnya kopi Robusta di sisi barat laut, kawasan lereng Gunung Muria. Menurut Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jepara (2013), luas tanam kopi di Kabupaten Jepara tahun 2012 tercatat sebesar 17.926,8 ha dengan produksi sebanyak 8.374,1 ton. Sedang jumlah keluarga petani yang mengusahakan mencapai 42.134 KK (BPS Kantor Jepara, 2011). Lebih dari 60% perkebunan kopi di Kabupaten Jepara ini terletak di lereng gunung Muria mulai dari sisi utara sampai barat.

Sejarah perkembangan tanaman kopi di Kabupaten Jepara sangat panjang. Konon, pengusahaannya telah dimulai sejak jaman Belanda. Tanaman-tanaman kopi di beberapa kawasan telah menua dan dibudidayakan secara tradisional, tanpa pemangkasan yang intensif, sehingga banyak yang pohonnya setinggi dan sebesar pohon mangga. Namun di beberapa lokasi, telah dilakukan peremajaan, dengan varietas yang lebih produktif dengan umur genjah. Salah satu sentrarehabilitasi kopi ini adalah Desa Damarwulan dan Tempur, dengan jenis kopi Robusta, yang dinilai lebih tahan terhadap serangan penyakit, khususnya jamur.

Peremajaan kopi di kedua desa tersebut dimulai sejak tahun 2008, dengan gerakan yang lebih masif sejak tahun 2010. Saat ini (2014) hasil peremajaan kopi tersebut telah membuahkan hasil. Akibatnya, masalah klasik pun muncul; petani mulai kesulitan memasarkan hasil kopinya. Sementara struktur pasar belum tertata, para petani menjual produk-produk kopi yang dihasilkan tanpa melalui pemisahan biji menurut kelas-kelasnya. Pembelinya pun masih didominasi pedagang-pedagang tradisional, dengan serapan pasar per pedagang yang relatif kecil. Menurut pengakuan petani, sebagian besar para pedagang tersebut memasarkan produk-produk kopi mereka ke pasar-pasar tradisional di lingkungan Kabupaten Jepara dan sekitarnya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemasaran produk-produk kopi yang dihasilkan masih didominasi oleh pasar-pasar “basah”. Pemasaran ke rantai-rantai pasar yang lebih kering, apalagi sampai melalui kontrak pembelian dengan perusahaan tertentu, belum terbentuk. Salah satu faktornya adalah karena produknya yang masih masif, tanpa klasifikasi mutu, sehingga mutu produk sangat berragam, seakan tidak memiliki standard apapun. Apabila hendak melakukan klasifikasi mutu dengan standard tertentu, maka pihak pembeli harus melakukan pemisahan sendiri mutu kopi tersebut, secara intensif.

Di Desa Damarwulan, sebagian petani berusaha mengolah sementara produk kopi mereka, menjadi produk-produk kopi olahan, seperti kopi bubuk, kopi susu, kopi luwak, kopi bubuk dengan rempah-rempah, dan sejenisnya. Sekalipun produk-produk olahan ini memiliki karakteristik yang spesifik, dengan nilai jual yang relatif tinggi, tetapi penyerapanpasar dari pengolahan ini tidak signifikan dibanding biji kopi yang dihasilkan. Upaya-upaya pemasaran melalui pengolahan ini juga menghadapi persaingan dengan kopi yang dihasilkan oleh desa tetangganya, yaitu kopi dari Desa Tempur, yang sudah lebih dulu populer di masyarakat, dengan branding Kopi Tempur.

Kopi yang dijual petani adalah kopi ose kering (green bean), secara masif (bulk) pada berbagai macam ukuran, warna, keutuhan, tanpa ada keseragaman produk. Demikian juga dengan keseragaman kadar airnya,yang seharusnya juga merupakan masalah paling serius untuk produk masif yang dihasilkan di daerah dengan altitusi tinggi dengan intensitas sinar matahari yang lebih rendah ini. Karena seluruh produk kopi green bean yang dihasilkan dibeli oleh pasar, tanpa melalui proses sortasi dan grading, maka harga yang diterima petani relatif rendah, yaitu setara dengan harga kopi Mutu III.Akibat lebih jauh, karena dipasarkan tanpa adanya sortasi mutu, maka keunggulan-keunggulan spesifik kopi Damarwulan, baik warna, rasa, aroma, krema, maupun kandungan kafeinnyatidak dapat ditampilkan secara utuh pada saat disajikan, baik sebagai kopi bubuk maupun kopi seduhan.

Desa Damarwulan dan Tempur terletak di lereng sebelah barat daya deretan Gunung Muria, dari Puncak Rahtawu, pada ketinggian 500 – 600 m. d.p.l. Gunung Muria sendiri merupakan kelompok gunung api sekunderyang sudah tidak aktif. Disamping batu-batuanvulkanik yang tidak mudah melapuk, batuan induk tanah di Desa Damarwulan terdiri atas kapur dengan agregat pasir dan debu vulkanik yang subur, kaya kalsium, magnesium dan besi. Oleh sebab itu, kopi dari Desa Damarwulan ini seharusnya memiliki mutu yang tinggi, karena ketersediaan unsur hara dan mineral.

Para petani terkesan tidak menyadari bahwa rendahnya harga jual kopi yang selama ini mereka terima, adalah sebagai akibat dari perilaku usahatani mereka yang tidak melakukan seleksi kopi-kopi mereka sebelum panen. Pola-pola pemasaran yang mengandalkan pada pembeli dari pedagang-pedagang setempat, yang datang ke desa mereka dengan membeli beberapa kg, telah menjadi kebiasaan secara turun-temurun. Jenis kopi yang mereka beli juga kopi masif, yang campur aduk berbagai ukuran, warna, dan tingkat kekeringan. Dengan siklus sosial-ekonomi seperti ini, maka para petani (dan para pedagang) merasa bahwa apa yang mereka lakukan selama ini, adalah satu-satunya cara dalam usahatani kopi.

Kondisi sosial ekonomi petani kopi, rendahnya mutu produk kopi yang diperkuat dengan lemahnya rantai pasardi Desa Damarwulan dan Tempur ini perlu diangkat melalui suatu penelitian ilmiah dengan parameter dan indikator-indikator terukur. Pemerintah telah menetapkan standard mutu kopi dengan standard nasional, yaitu dengan SNI No. 01-2907-2008. Di dalam SNI ini, mutu biji kopi dikelompokkan menjadi tiga tingkat mutu, yaitu Mutu I, Mutu II, dan Mutu III. Syarat dan batasan untuk setiap kelompok mutu telah tercantum dalam SNI tersebut, demikian pula dengan mekanisme pengujian, penilaian, dan prosedur-prosedur pelaksanaannya, baik grading maupun sortasinya. Dengan demikian, SNI tersebut dapat diaplikasikan sebagai instrumen penentuan mutu biji kopi oleh petani di Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Dengan grading maupun sortasi ini, maka diharapkan nilai jual kopi yang dihasilkan petani Kabupaten Jepara ini akan lebih tinggi, sehingga kesejahteraan petani juga akan meningkat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun