Mohon tunggu...
Azhar A Gani
Azhar A Gani Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"sosok lemah yang sedang mencari kepuasan melalui torehan pena" \r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyoal AMDAL “Best Western”

17 Januari 2012   02:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:48 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PRO kontra rencana pembangunan sektor akomodasi berskala internasional, dengan nama Best Western Hotel dan Mall, berhampiran Masjid Raya Baiturrahman, terus bergulir hingga pekan ini. Suara pro pembangunan hotel dan mall antara lain datang dari Ketua DPRK Banda Aceh sebagaimana dikemukakan Yudi Kurnia bahwa pihaknya sudah menyetujui dan merekomendasikan rencana pembangunan Best Western Hotel dan Mall, karena dinilai positif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di ibukota Provinsi Aceh itu. "Kami mempelajari rancangan pembangunan hotel itu justru mendukung konsep Banda Aceh sebagai bandar wisata Islami,” (The Atjeh Post, 5/1).

Sementara itu, arus penolakan antara lain disuarakan oleh pihak Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Koalisi Peduli Masjid Raya Baiturrahman (KPMRB), Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Mahasiswa IAIN Ar-Raniry dan serta melalui sejumlah jejaring sosial. Pada prinsipnya para pihak yang menolak pembangunan hotel dan mall, yang ketinggiannya melebihi menara Masjid Raya itu, menilai pembangunan hotel dan mall tersebut dapat merusak pemandangan dan keindahan serta keagungan masjid kebangaan rakyat Aceh. "Kami tidak menolak investasi masuk ke Aceh, tapi tidak pada tempatnya jika hotel dan mall berdiri didekat masjid, sebab secara otomatis akan mengganggu aktivitas masyarakat muslim menunaikan ibadah," seperti diungkapkan Faisal Ali (The Gatra News, 14/1).

Dari fenomena tersebut diketahui bahwa arus penolakan pembangunan hotel dan mall ternyata lebih banyak dibandingkan dengan pihak yang mendukungnya. Sebagaimana kita ketahui arus penolakan tersebut merupakan konsekuensi dari sebuah keputusan perencanaan. Oleh karena itu, menarik untuk mempertanyakan mengapa penduduk menolak kehadiran hotel dan mall?. Seterusnya, materi yang akan dibincangkan dalam tulisan ini memberi tumpuan kepada persoalan-persoalan yang harus dijadikan pertimbangan oleh segenap pemangku kepentingan sebelum lahirnya sebuah keputusan.

Perencanaan berbasis Masyarakat

Para ahli sering menyebutkan bahwa proses perencanaan pembangunan dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu model top-down (atas bawah) dan model bottom-up (bawah-atas) serta kombinasi antara kedua pendekatan tersebut. Pada model top-down, perencanaan dibuat oleh pengambil kebijakan tanpa melibatkan bawahan. Sedangkan, pada model bottom-up, proses perencanaan dilakukan dengan melibatkan bawahan. Pertanyaannya, model mana yang harus diadopsi oleh pengambil kebijakan sebelum melahirkan suatu keputusan?. Pengalaman menunjukkan, seringkali pola pembangunan top-down mengalami kegagalan ketika diimplementasi di lapangan. Oleh karena itu, pembangunan yang digagas tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga gagal mendapat tempat di hati masyarakat.

Untuk mengeliminir tingkat kegagalan, pihak perencana harus melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan sebelum mengambil keputusan. Apalagi kehadiran hotel dan mal tersebut dikaitkan dengan Bandar Wisata Islami. Dalam konteks kepariwisataan dukungan dan partisipasi masyarakat merupakan variabel terpenting penentu keberhasilan program pariwisata. Contohnya, sebagaimana dilaporkan oleh Ioannides (1995), pemerintah Cyprus tidak melibatkan dan tidak mendengar aspirasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan kawasan Taman Nasional. Akibatnya, secara drastis masyarakat menghentikan pembangunan kawasan tersebut.

Demikian halnya, dengan rencana pembangunan hotel dan mall di samping halaman Masjid Baiturrahman sejatinya juga melibatkan masyarakat ketika perencanaan itu sedang berproses. Apalagi kalau kehadiran hotel dan mall tersebut diharapkan dapat menarik wisatawan untuk berkunjung. Padahal kita maklum wisatawan yang berkunjung ke Aceh memiliki karakteristik yang berbeda dimana motivasi mereka berkunjung lebih kepada untuk menikmati keunikan budaya dan agama. Sebenarnya dengan jumlah hotel dan tempat-tempat penginapan yang ada sekarang sudah lebih dari cukup untuk menampung wisatawan. Tambahan lagi, tingkat hunian hotel di Aceh menunjukkan trend kurang menggembirakan kecuali ketika ada even-even yang bersifat temporer.

Memang tidak dapat dinafikan dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) aspek sosial budaya merupakan salah satu bahan pertimbangan untuk menilai kelayakan untuk keperluan rekomendasi rencana pembangunan hotel yang diperkirakan menelan biaya 200 milyar itu. Namun demikian, menurut hemat penulis berkait dengan penyusunan AMDAL Best Western Hotel dan Mall ini ditenggarai ada “kecederaan” pada aspek sosial budaya.

Idealnya, kajian sosial budaya yang dilakukan dalam kerangka Amdal harus melibatkan komponen masyarakat yang bisa merepresentasikan aspirasi masyarakat Aceh. Saya berani berasumsi, komponen penting dan strategis berkenaan luput dari penjaringan ini. Mengapa saya berani katakan seperti itu?. Jelas terlihat dari pihak yang menentang kehadiran hotel dan mall antara lain berasal dari kalangan ulama yang diwakili oleh Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), maupun dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), sebagaimana diungkapkan Prof Muslim Ibrahim bahwa rencana pembangunan hotel dan mall di kawasan atau di lingkungan masjid Raya Baiturrahman itu dapat menganggu kehormatan masjid. Beliau malah menyarankan hotel dan mall tetap dibangun namun memilih lokasi ditempat lain (Voice of America, 9/1). Nah, seandainya komponen tersebut turut dilibatkan dalam proses penyusunan AMDAL besar kemungkinan dan dapat dipastikan rencana pendirian hotel dan mall tidak akan menuai protes seperti yang terlihat hari ini.

Belajar dari pengalaman penolakan rencana pendirian Best Western Hotel dan Mall, sejatinya pihak-pihak berkuasa terutama Pemerintah Kota Banda Aceh harus melibatkan masyarakat lokal dan segenap pemangku kepentingan lainnya dalam proses pengambilan keputusan. Ketika masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan maka dengan sendirinya mereka akan berpartisipasi dalam kegiatan dimaksud sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun