Mohon tunggu...
Azfa AkbarFadhil
Azfa AkbarFadhil Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tulisan tulisan yang saya upload merupakan tugas kuliah yang banyak berbicara tentang media dan tren sekarang

Selanjutnya

Tutup

Beauty

FOMO YANG MERUSAK LINGKUNGAN

7 Januari 2024   15:00 Diperbarui: 7 Januari 2024   15:58 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi komunikasi telah mengalami kemajuan yang signifikan selama dekade terakhir. Oleh karena itu, perubahan sosial masyarakat sedang terjadi, seperti perubahan cara manusia berinteraksi, berkomunikasi, bekerja dan berbagi informasi. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena perkembangan teknologi yang saat ini berkembang begitu pesat, platform-platform online pun semakin banyak. Itulah yang membuat informasi-informasi mengalir sangat cepat dan masif.

Ditengah-tengah perkembangan teknologi informasi yang cepat inilah terbentuk sebuah istilah baru yaitu “FoMo”. Kalian pasti sudah sangat sering mendengar istilah ini, namun apa sih sebenarnya FoMo itu? Jadi, FoMo adalah kependekan dari Fear of Missing Out (FoMO) yaitu adanya keinginan yang besar untuk tetap terus terhubung dengan apa yang sedang dilakukan oleh orang lain melalui dunia maya (Przybylsky, 2013). Sederhananya FoMo adalah hal yang dilakukan oleh seorang karena takut “tertinggal” oleh orang lain, hal ini di dorong oleh perkembangan teknologi dan informasi yang pesat seperti media sosial.

Contoh dari FoMo sangat banyak macamnya. Seperti;

  • Selalu mengecek media sosial, hal ini dilakukan karena seorang takut ketinggalan informasi yang ada di media sosial.
  • Ingin tahu dan ikut-ikutan ke dalam kehidupan orang lain di media sosial
  • Selalu berkata “ya” kepada ajaan orang lain meskipun sebenarnya tidak ingin. Ini terjadi karena ketakutan ketinggalan momen dan informasi yang bisa saja ada disaat orang itu tidak ada.

            Jika dilihat dari arti dan contohnya, FoMo sangat bersinggungan dengan teknologi informasi dan dunia maya. Namun, yang kebanyakan orang tahu saat ini FoMo itu adalah “ikut-ikutan” tren. Di tulisan ini, kita akan berbicara tentang FoMo di dunia fashion yang ternyata bisa memiliki dampak yang buruk.

            Baju dan celana dengan warna yang terang, membeli wedding dress, baju musim panas atau dingin, pakaian-pakaian hypebeast yang sedang tren. Zara, Pull n Bear, HnM. FoMo sangat mendorong kita untuk ikut meramaikan hal-hal tadi. Kita tidak ingin ketinggalan oleh orang lain yang memakai barang atau merk merk diatas yang kita lihat di media sosial.

            Namun ternyata dibalik itu semua, terdapat sisi “Kelam” yang terjadi akibat dari FoMo ini. Sisi kelam ini harus diketahui oleh berbagai pihak agar dapat lebih bijak dalam menggunakan pakaian. Tren ini dinamakan fast fashion. Apa itu fast fashion? Fast fashion merupakan sebuah tren di dunia fashion yang berubah dan berkembang dengan cepat dan memiliki harga yang lebih terjangkau tetapi memiliki dampak yang negatif untuk lingkungan dan kesejahteraan sosial.

            Proses produksi fast fashion menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan, mulai dari tanah, air, hingga udara. Dalam proses produksi juga, biasanya perusahaan yang menerapkan fast fashion ini tidak memperhatikan kesejahteraan pekerjanya, para pekerjanya kebanyakan wanita dengan pendidikan rendah dan diharuskan bekerja hingga 14 jam/hari dan tidak ada jaminan keselamatan.

            Saat ini, istilah fast fashion bukanlah sesuatu yang baru didengar karena sudah banyak pihak yang sering membicarakan tren fast fashion ini. Mulanya fast fashion muncul karena adanya tren yang terus berganti dengan cepat dan tuntutan masyarakat yang menginginkan fashion dengan harga yang relatif terjangkau (Muazimah, 2020). Fast fashion memberikan berbagai pilihan mode yang sedang tren dengan harga yang relatif terjangkau (Joy et al., 2012). Fenomena fast fashion didorong oleh adanya industri fashion yang memproduksi produk fashion dengan harga terjangkau untuk memenuhi permintaan pasar sehingga terjadi overproduction dan overconsumption atau produksi dan konsumsi yang berlebihan (Tanzil, 2017). Hal tersebut menjadikan fast fashion makin memiliki peminat dengan jumlah yang terus bertambah. Namun apa yang terjadi dengan baju-baju bekas yang sudah tidak terpakai? Penelitian yang dilakukan YouGov mencatat bahwa 66% masyarakat dewasa di Indonesia membuang sedikitnya satu pakaian mereka dan 25% membuang lebih dari 10 pakaian mereka dalam setahun. Belum lagi, 41% millenial Indonesia menjadi konsumen produk fast fashion terbesar.

            Dan ternyata Indonesia juga menjadi salah satu negara yang terdampak industri fast fashion dengan ditemukannya limbah cair yang telah terkontaminasi oleh zat-zat kimia berbahaya seperti timah hitam, merkuri, arsenic, dan nonylphenol di Sungai Citarum dan di daerah Melong, Cimahi, Jawa Barat. Diketahui bahwa senyawa yang terkandung didalam limbah tersebut dapat menganggu ekosistem dan meracuni makhluk hidup yang ada di sungai tersebut (Muazimah, 2020). Selain itu, hasil dari investigasi Greenpeace mengatakan bahwa Indonesia terancam darurat kerusakan ekologis akibat dari sejumlah sumber mata air utama di pulau Jawa yang tercemar oleh adanya limbah-limbah industri pakaian (Muazimah, 2020)

            Dampak ini dapat di minimalisir dengan menerapkan ethical fahsion dan sustainable fashion. Ethical fashion dapat diartikan sebagai fashion yang memerhatikan segala hal yang berkaitan dengan nilai-nilai moral dan sosial. Ethical fashion dikaitkan dengan sesuatu yang manusiawi dan tidak melanggar norma-norma sosial (Astuti & S., 2014). Sederhananya, ethical fashion adalah bagaimana cara beretika dalam berpakaian, seperti cara kita merawat lemari agar pakaian di dalamnya semakin awet dan tahan lama. Lemari yang jarang dibersihkan akan membuat jamur yang tentunya akan membuat pakaian kita bau bahkan rusak dan berakhir di tempat sampah. Oleh karena itu, membersihan pakaian adalah salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi dampak dari fast fashion ini.

            Selain itu, sustainable fashion juga dapat diterapkan. Sustainable Fashion adalah bagaimana cara kira memilih pakaian dengan kualitas bagus, dan model yang timeless. Seperti kemeja flannel, jaket jeans, celana jeans, jas pria, hoodie dan sweater polos, dll. Serta serba serbi pakaian dengan warna yang cendrung “aman” seperti warna hitam, putih, abu-abu, maroon, navy blue dan warna lain yang memudahkan kita untuk mix n match pakaian dan warna itu. Sustainable fashion tidak hanya sebatas fashion saja tetapi merupakan suatu pengembangan gaya hidup yang dapat memengaruhi pemanasan global, keseimbangan ekologi, peminimalan bencana alam, konservasi vegetatif, konservasi satwa liar, dan segala hal yang sifatnya dapat menjaga alam atau ramah lingkungan (Kaikobad et al., 2015).

                Penerapan sustainable fashion dan ethical fashion sangat banyak manfaatnya. Dengan mengunakan produk fashion yang diproduksi secara berkelanjutan atau sustainable dapat mengurangi dampak negatif bagi lingkungan dan menyediakan berbagai pilihan fashion sesuai selera konsumen. Beberapa manfaat yang terdapat pada sustainable fashion adalah dapat mengurangi pencemaran lingkungan, menghemat biaya, memberikan kenyamanan bagi konsumen, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Shafie et al., 2021).

                Namun kekurangan dari sustainable fashion dan ethical fashion tidak bisa diproduksi secara sembarangan, produsen harus bisa mempertibangkan segala aspek aspek penting terutama kenyamanan dan kualitas produknya yang membuat produknya dapat tahan lama. Produk dengan kualitas baik juga pasti akan terasa nyaman dipakai oleh konsumen

Kaikobad, N. K., Zafar, M., Bhuiyan, A., Zobaida, H. N., & Daizy, A. H. (2015). Sustainable and Ethical Fashion: The Environmental and Morality Issues. IOSR Journal Of Humanities And Social Science

Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHan, C. R, & Gladwell, V.(2013). Motivational, Emotional and Behavioural Correlates of Fear of Missing Out. Computer in human behavior

Tanzil, M. Y. (2017). The Sustainable Practces Of Indonesian Fashion Brands.

https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-tata-busana/article/view/35921/32008

https://jnse.ejournal.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/view/28344

https://journal.uny.ac.id/index.php/ptbb/article/view/44683

https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/view/34486

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun