Seperti yang kita ketahui rumah pada kumuh dan liar bukanlah hal asing lagi untuk kita lihat, khususnya di DKI Jakarta. Padahal kita tahu bahwa rumah adalah sebuah kebutuhan primer yang diperlukan tiap individu untuk tinggal. Berdasarkan UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, rumah diartikan sebagai sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian serta sarana pembinaan keluarga, lalu menurut Siswono Yudohusodo (Rumah Untuk Seluruh Rakyat, 1991: 432) menyatakan bentuk atau struktur yang digunakan untuk berdiam dan menetap oleh satu orang atau satu keluarga dan juga dijadikan sebagai sarana binaan keluarga disebut rumah.
Seharusnya rumah merupakan sebuah tempat yang nyaman dan layak untuk dihuni, memberikan kesan aman, dan nyaman bagi penghuni rumah tersebut. Rumah juga seharusnya bisa mewadahi penghuninya ketika akan beristirahat di waktu malam sebelum beraktivitas untuk esok hari. Namun, nyatanya terdapat jenis rumah yang bisa dikatakan tidak layak huni atau bisa disebut sebagai rumah kumuh, melansir dari bps.go.id rumah kumuh bisa dikatakan sebagai berikut :
tidak memiliki akses terhadap sumber air minum layak,
tidak memiliki akses terhadap sanitasi layak,
tidak memiliki akses terhadap luas lantai >= 7, 2 m2 per kapita,
tidak memiliki akses terhadap kondisi atap, lantai, dan dinding yang layak
(dikutip dari bps.go.id)
Rumah kumuh yang seharusnya tidak layak huni ini ternyata masih digunakan sebagai tempat tinggal dan masih banyak ditemui khususnya di DKI Jakarta, melansir dari bps.go.id setidaknya jumlah rumah kumuh berkisar 42,73% pada tahun 2019.
Rumah kumuh ini juga berkaitan erat dengan perumahan liar dan jika dilihat berdasarkan kondisi ekonomi, rata - rata penghuninya merupakan orang dengan pendapatan yang menengah kebawah. Perumahan kumuh ini juga biasanya berdiri pada tempat bebas dan dianggap sebagai tanah kosong menurut mereka. Seperti pada bantaran sungai, area di pinggir rel kereta api yang terbangun seadanya dan difungsikan hanya sebatas sebagai tempat untuk tidur. Mereka tidak memikirkan berbagai aspek lainnya seperti akses sumber air yang layak dan luas lantai yang layak.
Kenapa rumah kumuh dan liar ini bisa terbangun? Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi, salah satu yang perlu diperhatikan adalah tingginya pertumbuhan penduduk maka semakin tinggi juga kebutuhan akan lahan yang besar untuk mewadahi tempat tinggal. Sehingga bisa dilihat bahwa angka pertumbuhan penduduk berbanding lurus dengan kebutuhan tempat tinggal.
Namun ternyata jumlah peningkatan ledakan penduduk yang tinggi khususnya di DKI Jakarta tidak sebanding dengan ketersediaan lahan untuk ditinggali. Sebagian penduduk yang terdapat di Jakarta bisa diidentifikasikan juga sebagai pendatang, mereka datang dari berbagai luar pulau untuk mencari pekerjaan, namun tidak semuanya bisa berhasil karena kemampuan yang kurang akhirnya tidak memiliki uang untuk kembali pulang sehingga yang awalnya hanya berdiam sementara lalu mendirikan tempat untuk mereka tinggal.
Kedatangan pendatang ini juga dipicu salah satunya karena pada zaman dulu terjadi pembangunan ekonomi di Pulau Jawa sehingga membuat para pendatang untuk datang. Tanpa mengetahui siapa pemilik lahan sesungguhnya dan menganggap lahan kosong tersebut sebagai lahan yang bebas untuk mendirikan rumah, rumah yang mereka dirikan juga tidak didasari pada standar peraturan yang ada, hal ini lah yang menjadi pemicu berdirinya rumah kumuh dan liar.
Berkaitan dengan rumah liar dan kumuh ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang normal dan  sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk lebih ditata dan diperbaiki, tentunya dalam ranah arsitektur solusi terbaik untuk perumahan kumuh dan liar ini dengan menertibkan kawasan ini dan membuat rusun untuk digunakan sebagai hunian khususnya untuk golongan menengah ke bawah agar bisa mendapatkan hunian rumah yang layak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H