Mohon tunggu...
azella syarra
azella syarra Mohon Tunggu... -

Akutual dan Fleksibel

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

BPJS Nyata atau Fatamorgana?

26 Juni 2014   17:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:48 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep Jaminan atau Asuransi Kesehatan Nasional (JKN) pertama kali dicetuskan di Inggris pada tahun 1911 yang di dasarkan pada mekanisme asuransi kesehatan sosial yang pertama kali diselenggarakan di Jerman tahun 1883. Setelah itu banyak Negara lain menyelenggarakan JKN seperti Kanada (1961), Taiwan (1995), Filipina (1997), dan Korea Selatan (2000). Setelah melakukan berbagai kajian dan kunjungan para legislatif maupun eksekutif ke berbagai Negara untuk belajar tentang system JKN, pada tanggal 28 September 2004 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang salah satunya berisi JKN disetujui Rapat Pleno DPR untuk diundangkan (Hasbullah Thabrany – Analisis BPJS, 2009).

Baru saja tiga bulan UU SJSN diundangkan,UU ini diuji materi ke Mahkamah Konstitusi karena badan penyelenggara yang ditetapkan dalam UU yang kemudian diberi nomor 40 tahun 2004 dianggap monopolistik Pemerintah. Sesungguhnya penyelenggaraan Jaminan Sosial memang umumnya Monopolistik Pemerintah (Pusat atau Federal). Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 31 Agustus 2005 tentang uji materi UU SJSN memperkuat UU SJSN karena keputusan MK menyatakan bahwa ke-empat BPJS sah sebagai badan penyelenggara tingkat nasional dan UU SJSN telah memenuhi amanat UUD 1945. Kontroversi penyelenggaraan, khususnya badan penyelenggaraan, masih saja terus terjadi sampai akhir tahun 2008 – tanpa ada perubahan penyelenggaraan jaminan sosial seperti yang diamanatkan UU SJSN dan keputusan Mahkamah Konstitusi. Padahal, dalam sebuah system jaminan sisoal yang paling penting adalah bagaimana manfaat (benefit) jaminan social, dalam hal ini jaminan kesehatan, dapat diterima seluruh rakyat dengan kualitas dan kuantitas yang memadai (Hasbullah Thabrany – Analisis BPJS, 2009).

Jaminan Kesehatan Nasional yang dimulai pada tahun 2014dansecara bertahap menuju ke Universal Health Coverage. Tujuan Jaminan Kesehatan Nasional secara umum yaitu mempermudah masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Sistem Jaminan Sosial Nasional seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, diselenggarakan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang sangat berbeda dengan prinsip pasar. Prinsip-prinsip tersebut dirumuskan dalam UU SJSN berdasarkan kajian akademik yang mendalam dengan mengambil pelajaran dari praktik (best practice) Negara lain.

BPJS Kesehatan (Badan Penyelanggaraan Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/Polri, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa. BPJS Kesehatan bersama BPJS Ketenagakerjaan dahulu bernama Jamsostek merupakan program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2014.

Perubahan pembiayaan menuju keUniversal Coveragemerupakan hal yang baik namun mempunyai dampak dan resiko sampingan.Ketidakmerataan ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan kondisi geografis, menimbulkan masalah baru berupa ketidakadilan diantarakelompok masyarakat. Sebagai gambaranyaitudi Indonesia timur :Di daerah kawasan timur yang jumlahprovider-nya terbatas dan aksesnya kurang menyebabkan kurangnyasupply (penyediaan layanan oleh pemerintah & pihak lain), sehingga akan muncul kesulitan terhadap akses ke fasilitas kesehatan. Hal ini berimbas pada masyarakat di wilayah Indonesia timur yang tidak memiliki banyak pilihan untuk berobat di fasilitas kesehatan.

Sementara di wilayah Indonesia barat dimana ketersediaanprovider-nya banyak, diperkirakaan pemanfaatanproviderakan lebih banyak dengan benefit packageyang tidak terbatas. Hal yang mengkhawatirkan adalah tanpa adanya peningkatan supplydi Indonesia bagian timur, dana BPJS Kesehatan akan banyak dimanfaatkan di daerah-daerah perkotaan dan di wilayah Indonesia Barat. Situasi inilah yang membutuhkan kegiatanmonitoring dengan seksama.

Undang-Undang BPJS Nomor 24 Tahun 2011 mengamanatkan bahwa lembaga yang melakukan pengawasan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional adalah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan lembaga Independen. Lembaga independenatauyang dimaksud adalah Otoritas Jasa Keuangan(OJK). Permasalahannya sejauh mana peran OJK dalam monitoring pelaksanaan JKN oleh BPJS Kesehatan.

BPJS nyata atau fatamorgana menjadi istilah yang menarik diperbincangkan. Bagaimana tidak BPJS dengan segala konsep memang merupakan suatu perpaduan yang mungkin sangat dinantikan oleh rakyat terutama kalangan menengah ke atas.  Sejak disahkannya pada tanggal 1 Januari 2014 yang lalu hingga sampai pada saat ini BPJS dinilai masih belum bisa menjadi pionir dalam mewujudkan system kesehatan nasional. Masalah-masalah BPJS sering kali dating bahkan tak terbendungkan lagi. Hal ini karena kurang adanya suatu integritas pejabat elit BPJS yang focus pada perbaikan dan persiapan SDM BPJS.  SDM BPJS dinilai sangat penting dalam menunjang keberhasilan system kesehatan nasional terutama pada pelaksanaan BPJS di Rumah Sakit.

BPJS yang bertujuan melindungi dan menjamin kesehatan rakyat masih menjadi isapan jempol belaka. Pada kenyataannya BPJS belum sepenuhnya mengcover rakyat miskin yang hendak berobat, belum lagi perlakuan petugas-petugas kesehatan yang kurang kompeten menjadi faktor utama terhambatnya pelaksanaan BPJS dengan tepat sesuai dengan UU BPJS.

BPJS dengan segala konsepnya hanya menjadi sebuah karya tulisan nyata dari pemerintah dan belum dapat dinikmati oleh masyarakat kecil seperti fatamorgana ada tapi tak dapat dirasakan. Perbaikan pelayanan BPJS menjadi hal yang harus diperhatikan pemerintah terutama peningkatan terhadap perbaikan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia agar kesalahan-kesalahan pelaksanaan BPJS dapat diminimalisir.

Tuntutan terhadap rumah sakit untuk menjadi organisasi sosio-ekonomi merupakan cerminan perilaku masyarakat yang menyadari pentingnya nilai kesehatan dan menuntut pelayanan optimal bagi pemeliharaan kesehatan mereka. Di era modern ini, masyarakat tidak hanya menuntut ketersediaan obat-obatan dan tenaga medis bagi kebutuhan kesehatan mereka, akan tetapi perhatian dan hubungan yang juga dipercaya akan membantu pemulihan kondisi mereka.  Ketidakpuasan terhadap satu institusi rumah sakit, tidak hanya bersumber pada  ketidakcakapan tenaga medis/paramedis, ketersediaan sarana prasarana, melainkan sampai dengan penilaian terhadap kerjasama tim, komunikasi, perhatian sebagai paket yang dianggap “tidak terpisahkan” bagi kesembuhan seseorang.

Agar program BPJS ini berjalan lancar harus dilakukan optimalisasi melalui peningkatan kualitas SDM BPJS, melalui beberapa kegiatan seperti pelatihan, seminar semiloka maupun kegiatan terkait sosialisasi BPJS. Sehingga pemahaman tenaga kesehatan mengenai tujuan BPJS tercapai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun