Program nuklir yang dikembangkan oleh Korea Utara menjadi salah satu polemik ketegangan yang tidak pernah henti baik di kawasan maupun di Semenanjung Korea. Ketegangan semakin meningkat karena pada 9 September 2016, disaksikan oleh Presiden Kim Jong Un, Korea Utara dilaporkan melakukan uji coba roket yang diklaim peluncuran tersebut merupakan peluncuran satelit.Â
Namun banyak pihak yang menduga bahwa satelit baru yang diklaim oleh Korea Utara tersebut sebenarnya merupakan pemanfaatan alat sebagai peluncur hulu ledak nuklir. Hal ini membuat Korea Utara mendapatkan banyak kecaman dan juga sanksi-sanksi. Tidak hanya negara-negara yang memang tidak memiliki hubungan baik dengan Korea Utara, namun negara seperti Rusia dan juga China juga sama mengecam tindakan yang dinilai memunculkan kekhawatiran internasional tersebut. Nuklir dan Korea Utara tidak pernah terlepas hubungannya dari Semenanjung Korea. Banyak masalah-masalah yang menjadi pemicu saat ini Korea Utara menjadi negara yang defensif dengan Program Nuklir.
Perang saudara pada tahun 1950 hingga 1953 antara korea Utara dan juga Korea Selatan menjadi faktor utama dari Program Nuklir milik Korea Utara. Perang diakhiri pada tanggal 27 Juli 1953. Namun penandatanganan pada tanggal tersebut hingga saat ini tidak memberikan hasil bahwa perang kedua negara berakhir. Hal ini dikarenakan penandatanganan tersebut tetap berisi bahwa kedua negara tersebut tetap memiliki gencatan senjata. Dari perjanjian tersebut,  Korea Selatan pada akhirnya menekan Amerika Serikat untuk segera menandatangani perjanjian Mutual Security Agreement pada 1 Oktober 1953 dengan berisikan bahwa Amerika Serikat akan melindungi dan juga membantu Korea Selatan apabila Korea Utara kedepannya melakukan invasi.Â
Melihat kondisi yang terjadi di Korea Selatan, membuat Korea Utara pada tahun 1959an dibawah bantuan Uni Soviet dan pendiri pemikiran Korea Utara, Kim Il-sung, meyakini bahwa negaranya akan mendapatkan keuntungan baik strategis, simbolis, dan juga teknologi apabila melakukan program kerjasama pengembangan nuklir. Hal ini dilakukan oleh Korea Utara pada saat itu untuk melindungi negaranya dari Korea Selatan yang mendapat payung bantuan dari Amerika Serikat dan juga militernya. Sehingga jika ditarik benang merah dari sejarah terbentuknya program nuklir di Korea Utara, dapat disimpulkan bahwa kedua negara tersebut pada akhirnya tidak dapat lagi menemukan kepercayaan antara satu sama lain sehingga hasil dari perjanjian tetap membuat mereka melihat bahwa keberadaan mereka merupakan ancaman bagi masing-masing.Â
Melihat saat ini, Program Nuklir yang dikembangkan oleh Korea Utara yang pada awalnya digunakan sebagai security dilemma, berproses menjadi ancaman bagi masyarakat internasional. Hal ini dikarenakan sebelum tahun 1985, internasional mendapatkan laporan bahwa Korea Utara memiliki teknologi reaktor nuklir rahasia. Dari hal tersebut Korea Utara ditekan untuk menandatangani Traktat Non-Proliferasi Nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons) pada tahun 1985.Â
Sebuah kesepakatan besar bagi internasional untuk dapat menekan bahkan menghentikan Program Nuklir milik Korea Utara. Karena dalam perjanjian tersebut, Korea Utara bersedia untuk menghentikan Program Nuklir jika Amerika Serikat dan negara lainnya turut membantu Korea Utara dalam memenuhi kebutuhan energi. Namun di tahun 2003, Korea Utara yang mundur dari NPT dan kembali mengaktifkan fasilitas Program Nuklir. Korea Utara menyatakan bahwa mereka memiliki dan sedang mengolah 8.000 bahan bakar nuklir dan sudah menjadi nuclear weapon-grade plutonium. Tidak hanya itu, Korea Utara juga melakukan untuk pertama kalinya melakukan uji coba peledakan nuklir pada Oktober 2006. Bulan September 2016 merupakan yang kelima bagi Korea Utara dalam melakukan uji coba.
Program uji coba yang dilakukan pada bulan September di wilayah Pyongyang, diinformasikan oleh Badan Cuaca Korea Selatan bahwa ledakan tersebut dinilai 70 persen lebih besar dari kekuatan bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Hiroshima. Korea Utara menyampaikan bahwa tidak dapat kebocoran radioaktif uji coba. Namun berita tersebut tetap tidak dapat dijadikan acuan utama yang dapat dipercayai oleh internasional. Akibat dari uji coba tersebut, terjadi beberapa ketegangan diantaranya, China yang langsung memonitor sendiri radiasi nuklir di provinsi yang berbatasan dengan Korea Utara.Â
Selain itu Jepang yang juga langsung mengirimkan dua pesawat T-4 untuk mengambil sampel udara untuk menganalisis kemungkinan bocor radioaktif. Korea Selatan pun merespon tindakan Korea Utara dengan mengecam dan juga menginginkan bahwa PBB semakin memperketat sanksi-sanksi sehingga tidak dapat celah yang dapat disalahgunakan oleh Korea Utara. Berbeda dengan negara lainnya, Amerika Serikat merespon Korea Utara dengan mengirimkan pesawat strategis di Guam dengan tujuan sebagai komitmen Amerika Serikat dalam menjaga stabilitas kawasan dan Semenanjung Korea.Â
Banyak negara-negara lain yang juga mengecam Program Nuklir milik Korea Utara. Karena internasional merasa bahwa Program Nuklir milik Korea Utara merupakan ancaman secara langsung. China sendiri yang dinilai sering mendukung Korea Utara juga turut dalam meningkatkan kerjasama dengan PBB terkait sanksi-sanksi yang akan diterapkan. China akan berkolaborasi dengan Amerika Serikat untuk membahas resolusi PBB sebagai bentuk respon dari uji coba Nuklir Korea Utara.Â
Lantas bagaimana respon internasional dalam menanggapi masalah tersebut terutama Indonesia? Jika dilihat kembali ke belakang, Defensif  Korea Utara terhadap internasional sudah ada sejak Kim-Il Sung yang melihat bahwa Korea Utara menjadi negara yang kuat baik secara simbolis maupun teknologi jika memiliki senjata yang memiliki jangka panjang. Selain itu, strategi lain untuk membuat Korea Utara tetap mempertahankan posisinya di Internasional dengan melakukan isolasi negara. Isolasi ini dinilai sebagai posisi bargaining atau posisi tawar agar Korea Utara tidak dapat diintervensi oleh negara-negara lain. Semakin Korea Utara ditekan untuk menandatangani, mengikuti, atau menyetujui hal-hal yang dinilai mengurangi kekuatan Korea Utara yang berdasarkan kepada pemikiran Kim Il-Sung, maka Korea Utara akan mengundurkan diri bahkan sampai mengisolasi dari sosialisasi internasional. Terutama jika sosialisasi internasional tersebut merugikan dan juga mengancam Program Nuklir milik Korea Utara.Â
Tentu hal ini memiliki prospek risiko yang cukup besar kedepannya. Namun internasional harus memiliki strategi dalam membangun komunikasi dan menyelaraskan persepsi dengan Korea Utara. Jika Korea Utara semakin ditekan dengan berbagai macam tekanan yang dinilai menyudutkan juga mengurangi kekuatan, maka Korea Utara melihat hal tersebut merupakan tindakan provokatif yang dapat memicu Korea Utara untuk semakin gencar memaksimalkan ancaman yang mereka miliki. China sendiri meskipun menyatakan bahwa akan bekerjasama dengan Amerika Serikat dalam membangun resolusi PBB untuk merespon Program Nuklir Korea Utara, tetap tidak merekomendasikan untuk melakukan tindakan yang semakin menciptakan ketegangan.Â