Dalam putusan perkara yang dibacakan oleh para hakim di pengadilan, diawali oleh kata-kata atau irah-irah, Â "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".Â
Pembacaan irah-irah dalam putusan tersebut menandakan bahwa hakim itu dalam memberikan keputusan itu mewakili keadilan Tuhan.Â
Seharusnya sebagai hakim dalam mengadili dia harus benar bertindak adil karena dia mewakili Tuhan yang Maha Adil. Tetapi yang terjadi banyak sekali terjadi putusan perkara di pengadilan yang menyakiti hati keadilan masyarakat. Â
Salah satu contoh putusan kontroversial adalah kasus pembunuhan Dini Sera Afrianto di Surabaya, Jawa Timur.Â
Dalam putusannya tiga hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, memberikan vonis bebas kepada Ronald Tannur atas dakwaan pembunuhan Dini Sera Afrianti pada 24 Juli 2024 lalu.Â
Dini merupakan kekasih Ronald Tannur yang tewas karena dianiaya dan dilindas dengan mobil. Namun, hakim menyatakan Dini tewas karena penyakit lain akibat minum alkohol.Â
Adanya putusan kontroversial ini membuat kecurigaan banyak pihak kepada ketiga anggota majelis hakim PN Surabaya tersebut. Kemarin, 23 Oktober 2024 tim penyidik Kejaksaan Agung telah melakukan penggeledahan dan penangkapan kepada tiga Hakim Pengadilan Negeri Surabaya dan seorang Advokat dalam perkara Ronald Tanur.Â
Mahkamah Agung pada tanggal 22 Oktober 2024 lalu dalam tingkat Kasasi  kasus pembunuhan ini memvonis terdakwa Ronald Tanur bersalah dan dihukum 5 tahun penjara.Melihat putusan para hakim mulai dari PN Surabaya dan hakim agung Mahkamah Agung, pantaskah para hakim di Indonesia disebut, Yang Mulia dan wakil keadilan Tuhan?Â
Bayangkan saja ketiga hakim di PN Surabaya ini memberi vonis bebas kepada terdakwa Ronald Tanur. Ketika ditingkat kasasi, hakim agung menyatakan bersalah terdakwa dan menghukum Ronald Tanur 5 tahun penjara.Â
Pertanyaannya pantaskah terdakwa pembunuhan Ronald Tannur divonis bebas dan hakim agung MA menghukum 5 tahun?Â
Tertangkapnya tiga hakim PN Surabaya yang memeriksa dan membebaskan  terdakwa kasus pembunuhan Ronald Tannur adalah bukti kuat bahwa masih banyak praktek menjual putusan perkara oleh para hakim di Indonesia.  Putusan bebas
Apakah ketiga hakim PN Surabaya  ini pantas dipanggil Yang Mulia? Apakah ketiga hakim tidak menjual putusan perkara?Â
Tetapi hasil operasi tangkap tangan (OTT) Kejaksaan Agung kemarin mendapatkan bukti ketiga hakim ini tertangkap tangan menerima gratifikasi atau suap untuk menjualÂ
vonis atau putusan bebas bagi Ronald Tannur.  Apakah hanya tiga hakim ini saja yang suka menjual putusan perkara? Bagaimana para hakim yang minta naik gaji tempo hari, apa benar tidak pernah menjual putusan perkara?ÂSaat aksi mogok para hakim saya sudah katakan bahwa faktanya  banyak hakim yang suka jual putusan perkara. Tetapi banyak kawan saya tidak percaya dan tidak mendukung pernyataan saya saat itu.Â
Nah sekarang kan terbukti lagi, ada banyak hakim menjual putusan perkara? Ini ada tiga hakim, lebih dari satu hakim berarti banyak kan? Juga saya pernah bertanya, "apakah hidup hakim di Indonesia tidak sejahtera?"
Begitu pula dengan putusan hukuman hakim agung dalam perkara pembunuhan ini memberi putusan bersalah dengan hanya memberi vonis 5 tahun penjara.Â
Mengerikan sekali para hakim yang tidak agung ini. Membunuh manusia kok hanya dihukum lima tahun? Dimana hati nurani kalian? Kalian memutus perkara "demi keadilan dan atas nama Tuhan". Â
Kalian gadaikan Tuhan demi menjual putusan perkara. Melihat ringannya hukuman hakim agung MA, patut dicurigai dan diselidiki putusan penjara tahunÂ
kepada pelaku pembunuhan. Sangat ringan sekali. Praktek jual putusan ini sangat merugikan dan menyakiti hati masyarakat pencari keadilan.ÂMaraknya hakim menjual ini putusan ini telah menghancurkan hukum dan keadilan.Ayo komisi yudisial (KY) dan  komisi pemberantasan korupsi (KPK) serta Kejaksaan Agung  selidiki indikasi gratifikasi para hakim tidak agung ini.Â
Menyedihkan dan mengerikan, semua hakim dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung satu paket bisa jadi sama sama  terindikasi jual putusan, Pembunuh manusia dihukum bebas dan dihukum hanya lima tahun.
Jakarta, 24 Oktober 2024.
Azas Tigor Nainggolan.
Advokat di Jakarta