Meregulasi Ojek Online Untuk Kepastian Hukum, Layanan Aman Dan Nyaman di Indonesia.
Baru-baru ini marak lagi protes para pengemudi ojek online yang menuntut keadilan atas pekerjaan mereka sebagai pengemudi ojek online dan mitra aplikator.
Tuntutan mereka didasari oleh keadaan semakin sulit dan rendahnya pendapatan mereka sekarang ini. Pendapatan mereka sebagai pengemudi ojek online rendah dikarenakan rendahnya tarif dan tingginya potongan komisi aplikasi hingga 20% yang dilakukan para aplikator atas penghasilan dari para pengguna ojek online.
Mereka para pengemudi datang mengadu dan lakukan aksi besar kepada pemerintah agar pemerintah mau melakukan intervensi agar tarif mereka bisa dinaikkan dan dikuranginya potongan komisi aplikasi oleh para aplikator.
Sebagai kurir pengantar barang, menurut aplikator mengikuti Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika. Sementara untuk tari sebagai pengantar penumpang, tarif mengikuti peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan serta Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat.
Menteri Perhubungan menyatakan akan mengeluarkan peraturan yang melindungi kepentingan para pengemudi ojek online. Membaca sikap Menteri Perhubungan saya jadi teringat, bahwa Menteri Perhubungan RI pernah PM 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang digunakan untuk Kepentingan Masyarakat.
Peraturan Menteri Perhubungan ini dikeluarkan untuk memberikan pelindungan keselamatan bagi penggunaan sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat yang dilakukan dengan aplikasi berbasis teknologi informasi dan tanpa aplikasi berbasis teknologi informasi.
Adanya regulasi PM 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang digunakan untuk Kepentingan Masyarakat bukanlah regulasi yang beberapa kalangan sebagai regulasi yang mengakui keberadaan bisnis layanan ojek online di Indonesia.
Sebenarnya Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun 2019 ini hanya mengatur tentang aspek keselamatan penggunaan sepeda motor untuk masyarakat berbasis teknologi informasi dan tidak berbasis teknologi informasi, tarif, prosedur dalam penghentian operasional sementara (suspend) dan putus mitra terhadap pengemudi.
Sementara pengawasan operasional penggunaan sepeda motor untuk kepentingan masyarakat didelegasikan kepada pemerintah daerah.
Dapat dikatakan bahwa Permenhub (PM) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat belum kuat karena tidak mengaju pada perundangan di atasnya yakni UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang tidak mengakui sepeda motor sebagai alat transportasi umum.
Beberapa bulan lalu pun saat menjelang hari Raya Lebaran 2024, Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan pernyataan bahwa menghimbau agar para aplikator transportasi online memberikan Tunjangan Hari Raya kepada para pengemudinya.
Saya ketika itu berpikir, apakah Menteri Tenaga Kerja mengerti bahwa status para pengemudi transportasi online itu adalah mitra para aplikator bukan pekerjanya aplikator? Apakah Menteri Tenaga Kerja mengerti bahwa Tunjangan Hari Raya diberikan kepada pekerja yang memiliki relasi antara pengusaha dan pekerja?
Sepertinya kondisi ini publik dan menteri di atas mengandaikan bahwa bisnis layanan tarnsportasi online, termasuk apalagi ojek online sudah diakui dan diatur oleh UU Transportasi No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.
Adanya pengakuan terhadap ojek online dan perlindungan bagi pengguna ojek online sudah menarik perhatian saya secara khusus agar dibuatkan regulasi pengakuannya oleh pemerintah. Pengakuan dan adanya regulasi hukum ini akan menjadi Kepastian Hukum yang akan memberikan Keadilan serta Manfaat bagi pengawasan bisnis layanan ojek online dan masyarakat.
Masalah pengakuan secara hukum bagi bisnis layanan ojek online dan semua permasalahan yang timbul bagi bisnis layanan transportasi ojek online inilah yang saya dapatkan sebagai dasar penelitian disertasi saya.Â
 Indonesia adalah Negara Hukum, prinsip itu ditegaskan dalam UUD NRI 1945. Prinsip ini secara tegas dikatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) bahwa secara konstitusional negara Indonesia adalah negara hukum dan dibangun berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan semata (machtsstaat).
Dalam Pasal 28 D ayat (1) dikatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum: [1] Adanya kepastian hukum ini memperkuat bahwa setiap warga negara tanpa kecuali harus taat dan tunduk pada hukum yang berlaku.
Kepastian hukum ini merujuk kepada hukum atau Undang-Undang yang dibuat oleh pemerintah dan DPR RI dalam bentuk hukum positif.
Indonesia memiliki regulasi atau aturan hukum untuk mengatur dan mengawasi layanan transportasi umum (komersial), non komersial dan lalau lintas juga jalan raya yakni dalam UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Dalam UU No. 22 Tahun 2009 tersebut diatur mengenai kewajiban pemerintah dalam pembangunan dan pengawasan sistem transportasi di Indonesia. Diatur dalam Pasal 138 UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa:
[2], (1) Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau, (2) Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan (3) Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.
Artinya pemerintah berkewajiban menyediakan sarana transportasi umum yang aman dan nyaman di Indonesia, termasuk juga membuat regulasi hukumnya.
Tentunya pemerintah memiliki keterbatasan, untuk memenuhi kewajiban tersebut dan untuk itu pemerintah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga yakni investor swasta.
Saat ini di Indonesia sudah banyak sekali beroperasi ojek online oleh kendaraan sepeda motor pribadi dengan plat nomor sebagai kendaraan pribadi. Sementara berdasarkan pasal 47 UU Lalu Lintas ini diatur bahwa sepeda motor bukan alat angkutan umum.
Pasal 47 (3) Undang-Undang Lalu Lintas ini hanya mengakui hanya mobil penumpang, mobil bus dan mobil barang sebagai alat angkutan umum. Berarti dengan demikian bisnis layanan transportasi ojek online belum diakui oleh UU No.22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Hal ini menjadi alasan utama yang kuat bagi promovendus untuk mengkaji lebih lanjut topik hukum ini. Satu harapan kami adalah mengenai perlunya regulasi bagi bisnis layanan Transportasi Ojek Online di Indonesia agar adanya suatu aturan hukum yang adil, adanya kepastian hukum dan adanya regulasi hukum yang bermanfaat bagi masyarakat.
Penulis menggunakan Teori Law as a Tool of Social Engineering dari Roscoe Pound, Teori Sistem Hukum dari Lawrence M. Friedman dan Teori Tujuan Hukum dari Gustav Radbruch dalam menganalisa masalah keberadaan layanan ojek online di Indonesia.
Ketiga teori hukum ini dipilih karena relevan dengan kondisi yang ada kebutuhan akan regulasi terhadap bisnis layanan ojek online di Indonesia.
Ketiga teori ini dapat digunakan untuk mengkaji dan menguji dampak pembentukan hukum yang adil akan membangun kekuatan sosial pada sistem hukum dan selanjutnya mempengaruhi perilaku sosial masyarakat itu sendiri.
Hukum yang mengandung nilai keadilan dapat memberikan kepastian hukum untuk dilaksanakan agar hukum tersebut memberikan manfaat kepada masyarakat.
Manfaat tersebut selanjutnya membuat masyarakat memiliki kemauan membangun perilakunya taat aturan sesuai tujuan hukum atau isi aturan hukum yang dibuat karena bermanfaat bagi dirinya.
Ojek online adalah pengembangan atau disrupsi dari jenis layanan ojek pangkalan yang sebelumnya ada walau tidak ada pengakuan dari Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Pengembangan atau disrupsi dari ojek pangkalan menjadi ojek online adalah untuk memberikan layanan yang lebih aman dan nyaman atau mudah didapat serta bisa memberikan rasa kepuasan kepada konsumen secara maksimal.
Nilai tambah dari pengembangan ini lebih mudah dan fleksibel, dan bisa diterima oleh masyarakat umum sebagai hasil nilai positif dari era disrupsi.
Suatu era atau perkembangan masa yang mau tidak mau kita harus mengikuti penyesuaiannya dan menjawab kondisi yang diharapkan oleh masyarakat pengguna transportasi publik.
Sejak lama di Indonesia, ojek yang merupakan jasa layanan transportasi dengan menggunakan sepeda motor dinilai mampu menjadi transportasi yang dapat mengangkut orang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan cepat dan dengan biaya yang terjangkau.
Melalui perkembangan teknologi dan transportasi di era digital seperti saat ini, ojek konvensional kemudian bertransformasi menjadi ojek online, suatu jasa transportasi yang menggunakan aplikasi online sebagai media pemesanannya.
Menurut sudut pandang hukum pengangkutan, perjanjian pengangkutan yang terbentuk dalam pelaksanaan bisnis layanan transportasi ojek online merupakan suatu bentuk baru yang dinamakan kontrak online.
Konsensus sebagai syarat pembentukan sekaligus salah satu sifat perjanjian pengangkutan terpenuhi dengan adanya penawaran dari aplikasi penyedia layanan ojek online dan adanya penerimaan oleh pengguna aplikasi sebagai penumpang ojek online.
Para pihak dalam pelaksanaan bisnis ojek online terikat dalam suatu hubungan kontraktual yang berbeda-beda. Perusahaan aplikasi dan pengemudi ojek online terikat dalam hubungan kemitraan yang didasarkan pada perjanjian kemitraan. Hubungan kontraktual antara pengemudi dan penumpang membentuk suatu perjanjian pengangkutan, sedangkan perusahaan aplikasi dan penumpang didasarkan pada perjanjian penggunaan aplikasi.
[3] Dalam menghadapi tantangan era disrupsi di bidang transportasi online di Indonesia dibutuhkan reformasi hukum bagi bidang transportasi yakni dibuatnya regulasi hukum untuk mengakui dan mengatur bisnis perusahaan aplikasi layanan ojek online di Indonesia agar diakui Undang-Undang bidang Transportasi, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Begitu pula pentingnya dibuat atau diaturnya bisnis layanan transportasi ojek online di Indonesia sebagai kepastian hukum guna memberi perlindungan kepada para penggunanya dan pelaku bisnisnya serta ruang pengawasan oleh pemerintah bagi bisnis layanan transportasi ojek online di Indonesia.
Perkembangan bisnis layanan transportasi online, terutama ojek online di Indonesia tidak bisa dibiarkan tanpa pengaturan hukum atau regulasi yang jelas.
Adanya kepastian hukum atau pengaturan bagi bisnis transportasi Ojek Online diperlukan agar pemerintah dapat mengawasi serta membangun perilaku bisnis layanan transportasi ojek online yang aman dan nyaman bagi masyarakat.
Pembuatan regulasi tentang bisnis layanan transportasi ojek online sudah harus segera dibuat oleh pemerintah RI untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dan negara RI.
Artinya adanya kepastian hukum layanan transportasi ojek online akan membangun sebuah perubahan perilaku para pengusaha aplikasi bisnis layanan transportasi ojek online sebagai pelaku bisnis pelayanan transportasi ojek online itu sendiri. Secara nyata dikatakan bahwa teori hukum yang berkaitan adanya hukum dan kepastian hukum dapat membangun perubahan perilaku atau membangun perilaku sosial di masyarakat.
Pemerintah selanjutnya untuk mengisi kekosongan hukum bagi pengawasan bisnis aplikasi layanan transportasi ojek online, menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan No.12 Tahun 2019 Tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat yang berlaku sejak 11 Maret 2019 hingga sekarang. Peraturan Menteri perhubungan No.19 Tahun 2019 itu dibuat berdasarkan kewenangan diskresi pemerintah, Kementerian Perhubungan dan bukan berdasarkan UU No.22 Tahun 2009.
Sejalan dengan cita-cita didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah membangun kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk dapat membangun kesejahteraan maka diperlukan adanya sistem hukum yang memberikan kepastian hukum, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang memberikan kemanfaatan terbangunnya kesejahteraan bersama bangsa Indonesia.
Sistem hukum yang adil dan memberi manfaat bagi kesejahteraan akan ditaati oleh seluruh rakyat dan menjadi adanya kepastian hukum di NKRI. Kepastian hukum dalam regulasi ojek online diperlukan untuk mengatur bisnis para pengusaha aplikasi transportasi ojek online dan membangun ketertiban serta perlindungan bagi pengemudi juga para pengguna transportasi ojek online itu sendiri. Adanya regulasi bagi ojek online untuk membangun layanan yang baik yakni aman dan nyaman kepada konsumennya.
Diakuinya keberadaan bisnis layanan transportasi ojek online sebagai salah satu alat transportasi umum maka akan memberikan kepastian hukum untuk mengawasi para pelaku atau pengusaha bisnis aplikasi ojek online agar melindungi mitra pengemudinya dan pengguna atau konsumen layanan ojek online. Regulasi akan melindungi masyarakat pengguna ojek online, mendapatkan hak asasinya berupa perlindungan hukum dari para pengusaha aplikasi bisnis ojek online, mitra pengemudi ojek online dan juga dari pemerintah.
[4] Melihat perkembangan penanganan bisnis layanan ojek online ternyata terdapat kekosongan hukum, tidak adanya regulasi yang mengatur bisnis layanan para perusahaan aplikasi ojek online di Indonesia. Kondisi tidak adanya regulasi ini mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum di bidang bisnis layanan ojek online dan menandakan bahwa masih rendahnya kualitas regulasi di Indonesia.
Prof Ida Bagus Rahmadi Supancana mengatakan bahwa kondisi regulasi Indonesia berdasarkan hasil pemetaan Bappenas terkait kualitas regulasi di Indonesia, sebagai berikut: Terlalu banyak regulasi (Hyper-regulation), Saling bertentangan (Conflicting), Tumpang Tindih (Overlapping), Multi Tafsir (Multi Interpretation), Tidak Taat Asas (Inconsistency), Tidak Efektif, Menciptakan Beban yang Tidak Perlu (Unnecessary Burden), Menciptakan Ekonomi Biaya Tinggi (High-Cost-Economy).
[5] Pemerintah pada tahun 2019 mengeluarkan regulasi ojek online berupa Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat tetapi bertentangan dengan UU No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan karena ojek atau sepeda motor memang tidak dikategorikan sebagai alat transportasi umum.
Kondisi tidak mengakui dan tidak ada regulasi yang mengatur bisnis layanan transportasi ojek online ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada tidak lengkap.
Kepastian hukum memberikan landasan yang stabil dan dapat diprediksi bagi bisnis untuk beroperasi, melindungi hak dan kepentingan mereka, menarik investasi, dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan hingga saat ini memang tidak mengakui keberadaan sepeda motor sebagai alat transportasi publik atau angkutan umum.
Tetapi dalam praktiknya atau kesehariannya, keberadaan layanan transportasi ojek online dengan menggunakan sepeda motor pribadi sudah sangat besar jumlahnya dan memberi pengaruh dalam sistem layanan transportasi publik dan perekonomian di Indonesia.
Penerbitan regulasi Peraturan Menteri perhubungan RI untuk mengatur keberadaan bisnis layanan ojek online melalui Permenhub (PM) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat menimbulkan sikap pro dan kontra karena dianggap bertentangan dengan UU No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang tidak sepeda motor sebagai kendaraan transportasi publik atau angkutan umum di Indonesia. Tindakan pemerintah mengeluarkan Permenhub (PM) Nomor 12 Tahun dianggap telah mengakui bahwa sepeda motor sebagai alat transportasi umum.
Melihat kondisi ini perlu dilakukannya langkah reformasi di bidang hukum transportasi di Indonesia untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan adanya regulasi yang mengakui sepeda motor sebagai alat transportasi umum serta mengakui transportasi ojek online agar memberikan layanan yang aman dan nyaman. Fungsi hukum dalam konteks bisnis transportasi ojek online adalah untuk melindungi dan mengakomodir hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam bisnis transportasi ojek online.
Jalan terbaik yang kami sarankan adalah pemerintah segera melakukan revisi terhadap UU No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada DPR RI. Revisinya adalah mengakui sepeda motor sebagai alat angkutan umum dan meregulasi bisnis layanan transportasi ojek online di Indonesia.
Selanjutnya pemerintah bisa membuat regulasi turunan dari Undang-Undang yang mengakui bisnis layanan ojek online menggantikan Permenhub (PM) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat.
Adanya pengakuan dan regulasi yang mengatur bisnis layanan ojek online memberi ruang dan otoritas bagi pemerintah untuk mengawasi bisnis layanan ojek online agar memberi layanan yang aman dan nyaman kepada penggunanya di Indonesia.
***
Jakarta, 11 Septemebr 2024
Azas Tigor Nainggolan
Analis Kebijakan Transportasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H