Mohon tunggu...
Azam Akbar Hawariy
Azam Akbar Hawariy Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pemuda pengamat bola

Selanjutnya

Tutup

Bola

Cabe-cabean, Alay, dan Potensi Sepakbola Wanita Indonesia

22 Juli 2015   20:15 Diperbarui: 22 Juli 2015   20:22 1843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

“Aku suka Real Madrid soalnya ada Cristiano Ronaldo yang ganteng ituuu” “Kalo aku suka Manchester United soalnya dulu ada David Beckham” 

“Kamu piala dunia ngejago-in siapa?” “LIVERPOOL donkk!!”

 

Contoh percakapan diatas mungkin bagi kaum adam yang suka bola terdengar sangat menggelikan. Namun bagaimanapun, contoh kecil tersebut telah membuktikan bahwa sepakbola adalah olahraga sejuta umat. Siapapun baik laki-laki maupun perempuan, bisa menikmati sepakbola kapanpun, dimanapun, dan dengan cara apapun sesuka-sukanya dan sebebas-bebasnya.

Sepakbola telah menjadi salah satu olahraga favorit di Indonesia, bahkan bisa dikatakan telah melewati popularitas dari bulu tangkis yang seringkali berprestasi di level internasional. Tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa sepakbola telah menjadi alat pemersatu bangsa. Atribut merah putih bisa dengan mudahnya menggantikan atribut warna apapun yang dikenakan oleh supporter sebagai warna kebanggaan sepakbola daerahnya. 

Meskipun prestasi masih jauh dari kata membanggakan, masyakarat Indonesia terus antusias untuk mendukung tim nasional Indonesia saat berlaga di kompetisi internasional. Konflik yang seringkali terjadi dalam induk organisasi sepakbola nasional kita (PSSI), hebatnya sama sekali tidak melunturkan kesetiaan dan semangat masyarakat untuk terus mendukung tim nasional Indonesia.

Beberapa dari kita mungkin ketika mendengar kata timnas Indonesia, apa yang ada di pikiran kita adalah nama-nama dari para pemainnya, seperti Boas Salossa, Cristian Gonzales, Irfan Bachdim, Evan Dimas, dan terkadang pula nama pelatih seperti Indra Sjafri, Alfred Riedl, dll. Menariknya semua itu adalah nama-nama dari seseorang yang berjenis kelamin laki-laki. Lalu dimana nama-nama cantik para wanita Indonesia, ataulah nama-nama wanita cantik Indonesia? 

Miris sekali, tanpa kita sadari ternyata timnas sepakbola kita sangat maskulin. Kita lupa bahwa sepakbola tidak hanya dimainkan oleh kaum pria saja. Kita lupa bahwa PSSI seharusnya juga meningkatkan prestasi sepakbola wanita Indonesia. Kita ternyata terlalu larut dengan konflik-konflik supporter antar daerah. Kita ternyata terlalu terlena dengan kepedulian kita akan konflik internal PSSI yang berkepanjangan yang terus-menerus semakin terkuak boroknya. Dan akhirnya kita sekarang sadar bahwa banyak PR yang harus kita dan (terutama) PSSI kerjakan.

Ternyata, yang lebih penting dari itu semua, kita lupa bahwa jumlah cabe-cabean dan alay di Indonesia terus meningkat. Maaf informasi ini tidak valid. Namun, apakah keadaan ini kita harapkan benar-benar terjadi? 

Mari kita mulai berimajinasi. Andaikan sepakbola wanita sangat berkembang di Indonesia, akan banyak bermunculan supporter-supporter, dan tentunya akan didominasi oleh kaum pria. Para pria tentunya sangat bahagia sekali karena mendapatkan tontonan baru tidak hanya sepakbola yang dimainkan oleh kaum pria saja. 

Fenomena ini membuat image wanita Indonesia akan menjadi lebih kuat dan perkasa, baik penilaian dari para pria dalam negeri maupun masyarakat luar negeri. Keadaan ini, cepat atau lambat, akan membuat prestasi sepakbola wanita Indonesia terus berkembang dan mulai diperhitungkan di level Internasional. 

Kita bisa melihat Amerika Serikat yang baru saja menjuarai Piala Dunia Wanita 2015 (FIFA Women’s World Cup) di Kanada. Uniknya sepakbola bukan menjadi olahraga utama penduduk Amerika Serikat, tidak seperti di Indonesia. Mereka lebih suka basket, american football, dan baseball. Namun kenyataannya sepakbola wanita Amerika Serikat sangat maju dan bahkan bisa mengalahkan prestasi dari timnas sepakbola prianya.

Lalu bagaimana dengan prestasi sepakbola wanita Indonesia? Di level ASEAN pun timnas wanita Indonesia sama sekali tidak terdengar prestasinya. Selain itu, tidak ada sama sekali sorotan media tentang perkembangan atau pemberitaan sepakbola wanita Indonesia. Sangat disayangkan sekali padahal media punya peran penting dalam memberikan image bagi para penontonnya terkait dengan sepakbola wanita dan tentunya secara tidak langsung wanita Indonesia. 

Mari sekali lagi kita berandai-andai. Dengan adanya pemberitaan yang intensif tentang sepakbola wanita Indonesia, tentunya para pria akan semakin tersajikan dengan suguhan baru yang tidak kalah menarik ketimbang pemberitaan sepakbola pria di luar negeri, katakanlah seperti di Liga Inggris, Spanyol, atau Italia. Kemudian, perilaku para pria ini mulailah diamati oleh para wanita Indonesia, termasuk dan khususnya para cabe-cabean dan alay. 

Mereka mulai merasakan arti kehilangan (tsaah) karena mulai banyak para pria yang tidak memperdulikan ‘kelakuan’ mereka, karena lebih memilih para wanita Indonesia yang lebih kuat dan perkasa dengan melihat permainannya di dalam lapangan. 

Tentunya perubahan perilaku dan kebiasaan para pria ini ditanggapi legowo oleh para wanita Indonesia, sekali lagi termasuk dan khususnya para cabe-cabean dan alay, semata-mata agar kembali mendapatkan perhatian dari orang lain, terutama para pria. Mereka akan legowo merubah jati dirinya dan menunjukkan kepada semua pria bahwa mereka adalah wanita kuat dan perkasa. 

Para wanita Indonesia, termasuk cabe-cabean dan alay, tentunya akan terus termotivasi untuk menjadi sama dengan para wanita lain yang telah mampu berprestasi dengan menjadi atlet sepakbola wanita, dan tentunya yang ada di pikiran para cabe-cabean dan alay yang terpenting telah mampu dan berhasil mendapatkan perhatian kembali dari para pria. 

Motivasi diri dan juga kontribusi media dalam memberitakan perkembangan sepakbola wanita Indonesia tentunya akan membuat cabe-cabean mulai berubah, bukan lagi wanita lemah yang bisa-bisanya hanya mentok berusaha mencari perhatian para pria saja. Cabe-cabean akan berubah menjadi wanita yang dengan mudahnya mendapat perhatian dari para pria. Alay bukan lagi penonton yang selalu memeriahkkan acara music di pagi hari. Alay telah berubah menjadi tontonan menarik bagi para pria Indonesia, dengan jogging dan latihan fisik menjadi kesibukan baru di pagi hari. 

Secara tidak langsung pula, sepakbola wanita yang terus berkembang akan terus menggerus eksistensi para alay golongan pria karena mereka mulai sadar akan lemahnya dan memalukannya dirinya ketika melihat teman-teman wanitanya telah berubah dan mulai banyak yang berprestasi yang kemudian tidak mau lagi berteman dengannya.

Apa yang kita harapkan dari sepakbola Indonesia adalah sepakbola yang sebenar-benarnya dimainkan dan dinikmati oleh siapa saja. Perlu dicamkan terus di benak kita bahwa sepakbola adalah olahraga nomor 1 di Indonesia. 

Mari kita mulai tiru Brazil yang sama-sama menjadikan sepakbola sebagai olahraga utamanya. Brazil telah membuktikan bahwa mereka mampu mengembangkan potensinya sebagai negara sepakbola, dengan prestasi timnas sepakbola pria dan wanitanya yang sama-sama baiknya. Seharusnya kita (dan PSSI) malu sekali ketika melihat perkembangan sepakbola wanita Amerika Serikat yang sudah sangat maju, padahal sepakbola bukan olahraga yang terbilang popular di Amerika Serikat.

Sudah saatnya masyarakat Indonesia tidak hanya menikmati tontonan dan mengikuti perkembangan sepakbola yang dimainkan oleh para pria saja. Para cabe-cabean dan alay sebaiknya mulai sekarang berhenti dengan kebiasaannya dan mulai dengan kebiasaan baru yang membuat mereka semakin diperhitungkan, diperhatikan, dan dibangga-banggakan oleh masyarakat Indonesia. 

Sudah saatnya sepakbola wanita tidak hanya dimainkan dan didominasi oleh segelintir negara saja. Indonesia dengan timnas sepakbola wanitanya harus ikut berpartisipasi memeriahkan kompetisi Internasional, lebih-lebih Piala Dunia Wanita. 

Namun, sudah siapkah PSSI dan kita semua menyambut kemajuan sepakbola wanita Indonesia? Apakah kita harus menunggu cabe-cabean dan alay sadar sesadar-sadarnya? Atau justru malah kita tidak menginginkan cabe-cabean dan alay hilang begitu saja dari peredaran?

Wallahu a’lam..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun