Emosi sebagai bentuk luapan perasaan manusia yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Emosi memberikan dampak bagaimana manusia merespon lingkungannya. Terdapat dua macam bentuk emosi, berupa emosi negative dan emosi positif. Kedua emosi tersebut dapat dirasakan oleh setiap manusia.Â
Emosi yang negative dapat digambarkan dengan takut, marah, sedih, ketidaksukaan dan perasaan negative lainnya, sedangkan emosi positif sebaliknya (Seligman, 2005: 38-39). Emosi sering kali dimaknai sebagai kata kerja, sedangkan emosi sendiri merupakan objek dalam bentuk ungkapan perasaan.Â
Dalam Bahasa inggris juga emosi tidak digunakan sebagai kata kerja tetapi pengungkapan dalam bentuk seperti apa emosinya, misalnya sedih, marah, senang, takut, dll.Â
Distorsi pemaknaan tersebut menjadikan banyak orang yang memaknai emosi sebagai makna yang negative padahal emosi tidak mesti demikian, ada emosi yang positif. Emosi muncul dari pikiran terlebih dahulu dan muncul tindakan, atau karena tindakan-tindakan dalam tubuh yang kemudian muncul emosi atau pikiran.
 Lingkungan menjadi salah satu yang sangat diperhatikan sebagai suatu hal yang menjadi penyebab perkembangan individu secara emosi. Regulasi emosi suku Jawa yang memegang prinsip dalam setiap hubungan interpersonal, diantaranya prinsip rukun atau harmonis yang mengutamakan hubungan baik antar manusia, menghindari gesekan dengan mencegah perkelahian, penuh penghormatan/sopan santun, tenggang rasa, dan ramah tamah penuh kelembutan.Â
Masyarakat Jawa juga memiliki aturan yang baku dalam penggunaan Bahasa, baik dalam bertutur kata maupun beretika. Misalnya ketika orang yang lebih muda berbicara dengan yang lebih tua, maka orang yang lebih muda harus menggukan Bahasa kromo inggil sebagai penghormatan dan bentuk menghargai kepada yang lebih tua. Â
Konotasi dalam berkomunikasi dalam Suku Jawa juga menjadi perhatian, berbicara secara perlahan-lahan dan halus, sedapat mungkin menyembunyikan perasaan asli sebagai bentuk  ungkapan sungkan.Â
Prinsip yang telah digunakan oleh Suku Jawa menuntut semua lapisan masyarakat Jawa, pada semua golongan usia, dari anak-anak hingga dewasa senantiasa mampu mengontrol perilaku dan emosi yang secara alam bawah sadar mampu mempengaruhi bagaimana individu tersebut bersikap.Â
Semakin individu mampu mengontrol emosinya dan semakin menguasai tata krama pergaulan terhadap lingkungannya, maka semakin ia dianggap dewasa dan diakui oleh anggota masyarakat Jawa.
Masyarakat Suku Jawa memiliki pengungkapan emosi yang berbeda dari suku lain, misalnya ketika seorang individu mampu memperlihatkan perasaannya secara spontan, hal tersebut dianggap tidak pantas, seperti sedih, kecewa, marah, putus asa, atau rasa belas kasihan, ekspresi emosi yang seharusnya mampu untuk diekspresikan oleh individu tersebut secara sadar harus disembunyikan untuk tidak diperlihatkan kepada banyak orang.Â
Sehingga Sebagian besar masyarakat jawa akan lebih memperlihatkan senyuman sebagai ekspresi "baik-baik saja" demi menjunjung prinsip-prinsip yang telah dibangunnya atas emosi positif yang harus ditunjukkan kepada orang lain.