Oleh : Zaskia Zanuba Arifah
Di tengah dinamika kehidupan modern, kecemasan muncul sebagai gangguan mental yang kian mengkhawatirkan bagi pelajar, seperti yang diungkap dalam laporan Liputan6 pada 28 Oktober 2022 (Kecemasan Jadi Gangguan Mental yang Sering Dialami Remaja). Tekanan sosial, tuntutan akademis yang tinggi, serta pengaruh media sosial sering kali menciptakan beban psikologis yang berat.Dalam laporannya, WHO (2023) mengatakan bahwa 1 dari 7 anak usia 10-19 tahun mengalami gangguan mental, seperti kecemasan dan depresi.
Dalam konteks pendidikan, tekanan akademik sering kali menjadi salah satu penyebab utama stres pada siswa. Sistem pendidikan tradisional yang menekankan hasil akademik dibandingkan kesejahteraan emosional menciptakan lingkungan belajar yang kurang mendukung. Banyak anak merasa terjebak dalam siklus prestasi tanpa ruang untuk mengekspresikan diri. Hal ini menunjukkan pentingnya reformasi pendidikan yang mengedepankan kesehatan mental siswa sebagai prioritas.
Salah satu solusi yang diusulkan  oleh UNICEF dalam buku yang luncurkannya pada 2009 lalu yakni  Child Friendly School (CFS) atau Sekolah Ramah Anak. Model sekolah ramah anak didasarkan pada premis sederhana bahwa sekolah dapat dan harus beroperasi demi kepentingan terbaik anak. Lingkungan pendidikan harus aman, sehat, dan protektif, memiliki staf pengajar terlatih, dilengkapi dengan sumber daya yang memadai, dan menyediakan kondisi yang sesuai untuk pembelajaran..
Sekolah Ramah Anak yang digaungkan UNICEF memiliki beberapa karakteristik utama yang membedakannya dari model pendidikan tradisional. Pertama, lingkungan sekolah harus aman dan bebas dari bullying atau kekerasan. Kedua, kurikulum harus fleksibel dan menyesuaikan kebutuhan individu siswa. Ketiga, anak-anak harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi mereka. Terakhir, kerja sama antara guru dan orang tua sangat penting untuk mendukung kesejahteraan anak, baik di sekolah maupun di rumah.
Dalam konteks "Anxiety Generation," dalam buku The Anxious Generation karya Jonathan Haidt mengatakan bahwa pendekatan dalam dunia sekolah ini sangat relevan. Generasi ini tumbuh di era digital, di mana media sosial sering menjadi sumber kecemasan sosial. Banyak siswa merasa terbebani oleh tekanan untuk tampil sempurna di platform seperti Instagram dan TikTok. Selain itu, ekspektasi akademik yang tinggi dari keluarga dan masyarakat memperburuk kondisi mental mereka. Sekolah Ramah Anak dapat membantu dengan menciptakan ruang di mana anak merasa dihargai dan didukung.
Data menunjukkan efektivitas model ini. Sebagai contoh, UNICEF (2022) melaporkan bahwa di sekolah yang menerapkan prinsip Sekolah Ramah Anak, tingkat bullying menurun hingga 40%. Selain itu, studi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2021) menunjukkan bahwa siswa yang belajar di lingkungan ramah anak cenderung memiliki kepercayaan diri dan kesehatan mental yang lebih baik.
Untuk mengimplementasikan Sekolah Ramah Anak, beberapa langkah strategis diperlukan. Pelatihan guru menjadi elemen penting, karena guru harus mampu mengenali tanda-tanda kecemasan pada siswa dan memberikan dukungan yang sesuai. Selain itu, menyediakan pusat konseling di sekolah melalui pembinaan yang intens oleh Guru Bimbingan Konseling (BK) dapat membantu siswa yang membutuhkan bimbingan psikologis. Kegiatan sosial yang positif, seperti seni, olahraga, atau diskusi kelompok melalui game atau permainan, juga dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa.
Sistem evaluasi juga perlu diperbaiki. Tekanan untuk meraih nilai tinggi sering kali membuat siswa kehilangan motivasi intrinsik untuk belajar. Pendekatan penilaian berbasis proyek atau penilaian holistik dapat menjadi alternatif yang lebih manusiawi. Dengan demikian, siswa dapat mengembangkan berbagai keterampilan tanpa merasa tertekan oleh standar yang kaku.
Dalam konteks fenomena "Anxiety Generation", Sekolah Ramah Anak berperan sebagai oase bagi generasi muda yang sering terjebak dalam tekanan akademik, sosial, dan digital.Program seperti ini menempatkan perhatian besar pada keseimbangan antara prestasi akademik dan kesehatan mental, menciptakan ruang bagi anak-anak untuk belajar mengenal diri, membangun koneksi positif, dan mengembangkan keterampilan hidup.
Di Sekolah Ramah Anak, nilai-nilai seperti empati, kerja sama, dan penghargaan terhadap perbedaan menjadi fondasi utama. Sebagai penutup, penting bagi kita untuk menyadari bahwa masa depan generasi mendatang sangat bergantung pada bagaimana kita membentuk lingkungan belajar mereka hari ini. Hal ini relevan dengan apa yang disampaikan oleh Nelson Mandela, "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H