Mohon tunggu...
Ayyu Sandhi
Ayyu Sandhi Mohon Tunggu... -

People may forget who you are, but they will not forget what you've done.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Wedding Series (3): Pemeriksaan Kesehatan Calon Pengantin

29 Mei 2014   20:29 Diperbarui: 4 April 2017   18:19 2808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Setiap pasangan yang hendak menikah idealnya menjalani pemeriksaan kesehatan yang biasa disebut dengan pemeriksaan kesehatan pranikah, pre-conception screening atau premarital check-up. Premarital check-up ini mempunyai banyak sekali manfaat, di antaranya untuk mengetahui kesehatan reproduksi baik calon pengantin pria maupun wanita, mengetahui kesiapan masing-masing untuk memiliki anak (baik secara fisik, psikologis, maupun bekal pengetahuan yang terkait), mengubah perilaku hidup yang tidak sehat, dan menentukan tindakan yang tepat untuk menanggulangi penyakit-penyakit tertentu yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan tersebut.

Banyak kelainan atau penyakit yang dapat dideteksi melalui premarital checkup, antara lain: 1) penyakit hereditas atau yang diturunkan dari orang tua (thalassemia, hemofilia, sickle cell disease); 2) penyakit menular (hepatitis B, hepatitis C, HIV/AIDS, penyakit menular seksual, infeksi TORCH); 3) penyakit menahun. Untuk mendeteksi penyakit-penyakit tersebut nantinya kedua calon pengantin akan menjalani serangkaian pemeriksaan baik pemeriksaan fisik lengkap maupun cek laboratorium (darah dan urin). Tidak hanya itu, kedua calon pengantin juga akan mendapatkan vaksinasi seperti vaksinasi hepatitis B, tetanus, MMR, varicella, influenza, dan vaksinasi dewasa lainnya sesuai jadwal imunisasi dewasa yang dikeluarkan oleh Satgas Imunisasi Dewasa PAPDI. Kemudian, berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, kedua calon pengantin akan mendapatkan bimbingan/konseling kesehatan (disini tentunya sangat diharapkan agar kedua calon pengantin menjadi mitra kesehatan yang cerdas dan proaktif). Premarital checkup idealnya dilakukan 6 bulan sebelum hari H menikah (meskipun jika waktu yang dimiliki terbatas, pemeriksaan ini dapat dilakukan kapanpun) dengan harapan jika ada penyakit yang diketahui selama pemeriksaan, masih ada waktu untuk melakukan tindakan penanggulangannya.

Saya dan si Mas adalah salah satu contoh pasangan yang, ahem, tidak menjalani serangkaian pemeriksaan kesehatan tersebut. Jangan salah, kami tidak menganggap pemeriksaan tersebut tidak penting, justru sebaliknya. Akan tetapi memang dana yang harus dikeluarkan untuk pemeriksaan tersebut lumayan banyak (total sekitar 2,5 juta untuk kedua calon pengantin, tergantung paket apa yang diambil). Mahal atau tidaknya memang relatif, tapi untuk saat ini sudah ada banyak sekali dana yang dialokasikan ke pos lainnya (mengingat kami berdua akan berangkat sekolah ke luar negeri, yang untuk mengurus birokrasi dan mondar-mandirnya makan biaya yang tidak sedikit), jadi kami memutuskan hanya melakukan pemeriksaan kesehatan yang ‘standar’ saja sesuai yang tercantum dalam persyaratan nikah, yaitu di Puskesmas.

Pemeriksaan kesehatan di Puskesmas tidak ribet dan tidak aneh-aneh, cuma agak lama karena mengantri, hehehe. Pertama, kami hanya diukur tekanan darah serta tinggi dan berat badan. Sama sekali tidak ada pemeriksaan fisik head to toe. Kemudian, si Mas diminta langsung ke laboratorium untuk cek darah (Hb) sementara saya ‘nyangkut’ di pemeriksaan gigi dulu. Pemeriksaan gigi ini fungsinya untuk mengetahui apakah ada gigi yang berlubang, apalagi yang sampai perlu dicabut. Jika ada, sangat dianjurkan untuk melakukan perawatan gigi tersebut sebelum hamil. Jika Anda hamil dan ingin cabut gigi, kemungkinan dokter tidak mau melakukannya karena tindakan tersebut dapat membawa resiko bagi kehamilan. Anestesi lokal yang digunakan pada proses cabut gigi dapat menyebabkan kontraksi kandungan. Pada trimester pertama dan terakhir kehamilan, kontraksi kandungan dapat menyebabkan keguguran atau kelahiran prematur.

Kemudian setelah beres di pemeriksaan gigi (dan bu dokter gigi menemukan dua gigi saya yang terkena karies, huaaa), saya menyusul si Mas ke laboratorium. Di sana selain dicek Hb, saya juga dites kehamilan. Hb saya bagus, padahal waktu itu saya juga sedang menstruasi, hehe. Pemeriksaan Hb ini gunanya untuk mengetahui apakah calon pengantin wanita beresiko mengalami anemia ketika hamil nanti. Frekuensi ibu hamil dengan anemia di Indonesia relatif tinggi loh, angkanya mencapai 63.5%, dibandingkan dengan Amerika Serikat yang hanya 6%. Seperti yang kita ketahui bersama, Hb dalam darah kita akan berikatan dengan oksigen. Jadi jika Hb kita rendah, oksigen yang beredar dalam darah pun tidak sebanyak jika Hb kita normal. Bayi dalam kandungan yang belum bisa bernafas lewat hidung dan makan lewat mulut, akan memperoleh suplai oksigen dan nutrisi dari tubuh ibu. Sehingga jika oksigen yang beredar dalam tubuh ibu sendiri kurang adekuat, bayi akan terancam lahir prematur (atau keguguran), berat lahir rendah, dan cacat bawaan. Untuk ibu, anemia ketika hamil memperbesar resiko pendarahan waktu melahirkan yang bisa mengarah pada kematian. Bahkan menurut WHO, 40% kematian ibu hamil di negara berkembang berkaitan dengan anemia selama kehamilan.

Nah, untuk tes kehamilan, bukannya apa-apa sih. Berdasarkan pengalaman saya praktik di Puskesmas, memang banyak calon pengantin yang tes kehamilannya positif (hamil sebelum menikah). Tapi saya pikir tes ini bukan untuk menghakimi atau menilai (dimana kita pun tidak memiliki porsi untuk itu), tapi lebih kepada bimbingan/konseling yang lebih intensif untuk memberikan pengetahuan (atau motivasi) mengenai pentingnya gizi selama kehamilan dan menghentikan perilaku hidup yang tidak sehat. Oya, tes kehamilan saya negatif, dan saya tidak berencana untuk hamil dalam waktu yang sangat amat dekat, hihi. Berarti saya bisa makan mie instan dan minum soda gembira untuk waktu yang sedikit agak lebih lama. Horee!

Kemudian, saya menuju ruang KIA untuk divaksinasi tetanus dan mendapat wejangan singkat tentang kespro. Ditanya-tanya gitu, sudah pernah berhubungan intim dengan calon suami apa belum, hari pertama mens terakhir kapan, ada rencana menunda momongan apa tidak. Nah, untuk yang terakhir ini sih, ada banget. Maunya sih sekalian konsultasi tentang alat kontrasepsi yang tepat, tapi sepertinya bu bidan lagi buru-buru. Yasuwd.

Terakhir, kami menuju ruang konsultasi gizi. Sebenarnya masih ada sesi konsultasi dengan psikolog juga sih, tapi hari itu pas kebetulan psikolognya tidak ada di tempat jadi cukup hingga konsultasi gizi saja. Waktu di ruang konsultasi gizi ini...yah namanya juga petugas kesehatan. Ada yang pintar berkomunikasi, ada yang enggak. Ada yang update ilmunya, ada yang enggak. Kalau pas saya praktik di Puskesmas dulu itu (bukan Puskesmas tempat saya periksa kesehatan ini) saya bekerja dengan konselor gizi yang meskipun sudah agak sepuh, tapi ilmunya update sekali dan pintar juga berkomunikasi dengan pasien. Jadi sebelum masuk ke materi, beliau tanya dulu background pendidikan pasangan di depan beliau apa, pernah mendapat informasi apa yang hubungannya dengan materi yang akan disampaikan. Jika calon pengantin ternyata background pendidikannya tinggi dan punya pengetahuan dasar tentang materi tersebut, beliau akan memperlakukan mereka sebagai mitra. Demikian pula jika pasangan yang datang latar pendidikannya tidak begitu tinggi dan tidak tahu apa-apa, beliau tidak akan semata-mata memperlakukan mereka seperti ember yang dituangi air sampai penuh.

Saya belajar banyak dari beliau. Dan terus terang saya agak empet diperlakukan seperti orang culun di depan ibu konselor gizi waktu pemeriksaan kesehatan kemarin itu, hehehehe. Semua pasangan dipukul rata, dianggap semuanya bodoh dan kosong, tidak tahu apa-apa. Semua makanan selain yang tercantum di bagan gizi seimbang itu dianggap tidak baik sama sekali. Minum soda gembira satu gelas tadi malam saja sudah dianggap salah banget. Makan nasi goreng satu porsi saja sudah dianggap tidak peduli dan tidak mau berusaha mencari makanan sehat (sayur maksudnya). Terus semua pasangan dianggap tidak punya pengetahuan baik itu tentang gizi sampai tentang anatomi perut ibu yang lagi hamil (“Bayi itu selama di perut hidupnya di dalam air, namanya air ketuban, jadi dia seperti berenang-renang gitu”). Saya manggut-manggut aja, semata-mata berpikir bahwa, “Oke, berarti selama ini penkes yang saya berikan ke pasien sudah benar, sudah cocok, ilmunya masih sama”. Si Mas sudah nguap-nguap, bosan dia. Dia sih sudah tahu yang kayak beginian, orang kerjaannya ngikut saya setiap saya mau penkes. Jadi pengetahuan dia bukan seperti calon bapak yang mau punya anak pertama, tapi sudah seperti calon ibu yang mau punya anak ketiga.

Nah, ketika si ibu menerangkan tentang ASI Eksklusif, saya iseng-iseng tanya, “Jadi ASI Eksklusif itu diberikan ketika bayi memasuki bulan keenam atau bulan ketujuh Bu? Kalau memasuki bulan keenam berarti usianya kan baru 5 bulan. Kalau memasuki bulan ketujuh kan usianya sudah genap 180 hari, sudah genap 6 bulan sesuai aturan yang baru dari WHO.” Beliau tampak agak bingung tapi cepat menutupi kebingungannya tersebut dengan berkata, “Awal bulan keenam bisa, awal bulan ketujuh bisa. Tidak usah terlalu ketat sampai 180 hari lah. Sekarang 5 bulan sudah bisa diberi MPASI...” lah, malah bikin aturan sendiri. Saya tersenyum kecut, mungkin muka saya sudah kelihatan urat-uratnya, karena si Mas sudah mulai nendang-nendang kaki saya di bawah meja, hahaha.

Akhirnya, selepas Dzuhur, masing-masing dari kami mengantongi selembar kertas bertuliskan “sehat dan dapat melanjutkan ke pernikahan” setelah ngendon di Puskesmas selama 3 jam, dan membayar dua belas ribu untuk si Mas dan tujuh puluh ribu untuk saya. Apapun itu, alhamdulillah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun