Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Seorang bapak yang mengumpulkan kenangan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pelarian Kepulan Asap Ibu Kota

16 Agustus 2023   13:45 Diperbarui: 30 Agustus 2023   16:31 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : (dok. X @AnggaPutraF/https://twitter.com/AnggaPutraF/status/1688728094260203520?t=ut4k94s2roAMB-93XwBRLQ&s=19/Farel Gerald) 

Rebah dengan begitu tenang di bawah sebuah pohon di antara pepohonan  tepi kali, di sebuah tempat yang tersembunyi di bawah jembatan yang jarang dilihat orang pada sebuah bendungan di Timur Jakarta itu, seperti biasa. Matanya mengintip sinar matahari yang lembut, berpendar-pendar menyilaukan di pagi cerah itu, seorang Pemuda kurus dengan rambut panjang terurai menikmati minggu yang begitu tenang, sementara di atas jalan bendungan sana, terdengar tawa atau riuh orang-orang ramai bersepeda, atau lari, sendiri atau berpasangan, atau berkelompok. 

Di sampingnya tak jauh dari kepalanya, tergeletak buku dengan kondisi terbuka berjudul Twenty Thousand Leagues Under the Sea karya Jules Verne, tergeletak di antara belukar. Buku itu hadiah yang dibelikan Maryam di sebuah toko buku beberapa minggu lalu. Ia telah membawa buku itu ke manapun ia pergi, dan tak bosan ia membolak-balik isinya sambil memaki. Begitu pula tepat saat ini juga, sambil memejamkan mata, juga sesekali menggaruk bagian kulit yang terkena belukar, ia telah memaki beberapa kali,

"Sial! Betapa beruntungnya Nemo, Andai saya dapat merasakan rokok lintingan sejenis rumput laut yang digunakannya sebagai pengganti tembakau di dunia atas, sial!"

Semilir angin datang membalas makian pemuda tolol itu, dan sekonyong-konyong lepas matanya tertutup, ia berada di sebuah tempat yang berbeda. Di sana hanya ada semak belukar, tapi nampaknya tempat itu bukanlah tempat di mana ia berada sebelumnya. Pono membiarkan angin semilir itu, menuntun dirinya bangkit, kemudian berjalan. Di balik belukar ia mendapati sebuah gerbang usang yang telah berkarat sepenuhnya, angin mengajaknya melintasi pintu gerbang berkarat yang tersembunyi itu, ketika ia berdiri lebih dekat, besi-besi berkarat itu berganti. 

Pono mendapati dirinya berdiri di depan sebuah gerbang yang terbuat dari pohon tua yang menjulang tinggi. Batang-batang pohon yang berbelit-belit membentuk lengkungan elegan di atasnya. Gerbang ini terasa seperti pintu masuk ke dunia lain, dengan aura misteri yang mengelilinginya.

Pada awalnya, gerbang ini terlihat seperti tidak lebih dari tumpukan cabang dan daun-daun yang terjalin. Namun, ketika Pono memandang lebih dekat, ia menyadari bahwa cabang-cabang itu saling menyatu dalam pola yang rumit dan harmonis. Cahaya matahari yang menerobos di antara celah-celah cabang membentuk pola bayangan yang menari-nari di tanah.

Saat Pono melangkah mendekati gerbang, ia merasakan semacam kehangatan dan ketenangan yang memancar dari dalam. Dan di ujung lorong yang terbentuk oleh lengkungan gerbang, ia melihat cahaya putih yang memancar terang. Cahaya itu memiliki kilauan yang begitu tulus dan memikat, mengundangnya untuk melangkah lebih jauh ke dalam.

Saat ia mendekati ujung gerbang, cahaya putih itu semakin terang dan menyilaukan, hampir seperti penerangan surga yang memancar dari alam semesta. Pono merasa hatinya penuh dengan rasa kagum dan harapan saat ia mendekati cahaya tersebut. Ia merasakan energi positif yang mengalir melaluinya, mengisi seluruh tubuhnya dengan kehangatan dan kebahagiaan.

Semilir Angin nampak mendorong tubuhnya, mengantarnya ke sebuah tempat di mana  jalinan bunga-bunga yang begitu mempesona berada di baliknya. 

Di taman itu, bunga-bunga terbuka dengan indah, menyajikan warna-warna yang begitu beragam. Kelopak-kelopak yang lembut terbawa oleh angin perlahan, menciptakan tarian alami yang menenangkan. Pohon-pohon ketapang kencana berdaun hijau melambai-lambai di sekitar, memberikan naungan yang sejuk di bawah sinar matahari. Dan di tengah-tengah taman, mengalir sebuah sungai kecil yang airnya bergemerlapan serupa kristal.

Pono merasakan aroma harum bunga-bunga menguar, memenuhi udara, mencampurkan keharuman mawar, jasmin dan lavender, dan beberapa bunga-bunga liar lainnya. Rasa geli ketika merasakan pijakan kaki telanjangnya di atas rumput yang lembut, menghantarkan sensasi alami yang begitu nyaman. Ketika ia berjalan lebih jauh ke dalam taman, Pono menemukan kolam kecil yang penuh dengan bunga teratai yang elegan. Permukaan airnya begitu jernih sehingga ia dapat melihat bayangan bunga-bunga di bawahnya.

Saat Pono duduk di tepi kolam, ia merasa ada kehadiran yang lembut dan penuh kebaikan di sekitarnya. Ia melihat sekeliling dan menemukan sekelompok burung-burung berwarna cerah yang terbang rendah, melantunkan nyanyian riang yang merdu. Dalam keheningan yang sejenak, ia mendengar gemercik air sungai dan angin perlahan yang menyapu dedaunan. 

Seekor burung menghampiri dan berkicau, seakan mengajak pemuda kurus itu berbicara. Lantas Pono berucap, 

"Apa yang ada di bawah lautan? Apakah ikan-ikan itu sama seperti burung-burung kecil ini? Apakah ada taman di lautan sana yang juga menggantikan bunga-bunga di daratan ini?"

"Lautan terlalu gelap, dan aku terlalu pengecut untuk hidup di dalamnya, Nemo."

Dalam pikiran Pono mengepul sebuah kabut gelap, sebuah ibukota yang kini tenggelam dalam bayangan pekat. Polusi merajalela seperti setan yang tak terlihat, menyelimuti langit biru dengan lapisan tebal asap dan debu. Cahaya matahari yang dulu cerah tereduksi menjadi kilatan redup yang mustahil ditembus. Beberapa minggu ini, Sepanjang hari hanya abu-abu terlihat di langit kota. 

Bangunan tinggi dan pencakar langit yang seharusnya menjadi pemandangan menakjubkan untuk orang-orang, kini terlihat samar dalam jarak dekat, terhalang oleh kabut beracun yang terus mengapung di udara. Jalanan yang dulu ramai kini sepi, dengan kendaraan-kendaraan bermotor yang melaju dengan lambat, terjebak dalam kemacetan yang tak kunjung reda.

Orang-orang berjalan dengan wajah terlindas kelelahan dan masker wajah yang melindungi mereka dari udara yang beracun. Udara terasa kental dan berat di paru-paru, mengingatkan mereka betapa jauhnya mereka dari udara segar dan bersih yang dulu pernah mereka hirup. Tanaman-tanaman kota layu dan mati, tak mampu bertahan dalam lingkungan yang penuh dengan zat-zat beracun.

Suara-suara alam seperti burung berkicau dan angin berdesir telah lama digantikan oleh deru mesin dan bising lalu lintas. Cahaya bintang-bintang di langit malam tertutupi oleh cahaya buatan yang terang benderang, hampir tak ada lagi kesempatan untuk memandang keindahan kosmos di atas.

Namun, di tengah semua kegelapan ini, ada secercah harapan yang masih berkilau di mata orang-orang. Mereka berkumpul untuk berbicara tentang perlunya perubahan, untuk memulihkan ibukota mereka dari belenggu polusi yang mematikan. Gerakan-gerakan lingkungan bersemi, di sosial-sosial media, tumbuh subur, menyatukan hati dan usaha mereka dalam usaha membebaskan ibukota dari bayangan polusi yang menghantui.

"Adakah harapan untuk merestorasi keindahan dan kebersihan yang pernah ada, di sana, dan mewariskannya kepada generasi mendatang?"

Tiba-tiba burung kecil di depannya berbicara pada pemuda tolol itu, 

"Orang-orang membicarakannya, sebagian  bergerak dan mencoba berbagai cara. Harapan takkan datang dibalik kepengecutanmu yang memutuskan berdiam dan menanti, cepat pergi dari sini! "

Suara burung kecil itu memaksa Pono membuka mata, Pono kembali ke sudut kali di bawah bendungan, ia bergegas merapikan diri, beranjak, seraya tangannya meraih bukunya turut serta. 

Pondok Ranggon, Agustus 2023 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun