Pono merasakan aroma harum bunga-bunga menguar, memenuhi udara, mencampurkan keharuman mawar, jasmin dan lavender, dan beberapa bunga-bunga liar lainnya. Rasa geli ketika merasakan pijakan kaki telanjangnya di atas rumput yang lembut, menghantarkan sensasi alami yang begitu nyaman. Ketika ia berjalan lebih jauh ke dalam taman, Pono menemukan kolam kecil yang penuh dengan bunga teratai yang elegan. Permukaan airnya begitu jernih sehingga ia dapat melihat bayangan bunga-bunga di bawahnya.
Saat Pono duduk di tepi kolam, ia merasa ada kehadiran yang lembut dan penuh kebaikan di sekitarnya. Ia melihat sekeliling dan menemukan sekelompok burung-burung berwarna cerah yang terbang rendah, melantunkan nyanyian riang yang merdu. Dalam keheningan yang sejenak, ia mendengar gemercik air sungai dan angin perlahan yang menyapu dedaunan.Â
Seekor burung menghampiri dan berkicau, seakan mengajak pemuda kurus itu berbicara. Lantas Pono berucap,Â
"Apa yang ada di bawah lautan? Apakah ikan-ikan itu sama seperti burung-burung kecil ini? Apakah ada taman di lautan sana yang juga menggantikan bunga-bunga di daratan ini?"
"Lautan terlalu gelap, dan aku terlalu pengecut untuk hidup di dalamnya, Nemo."
Dalam pikiran Pono mengepul sebuah kabut gelap, sebuah ibukota yang kini tenggelam dalam bayangan pekat. Polusi merajalela seperti setan yang tak terlihat, menyelimuti langit biru dengan lapisan tebal asap dan debu. Cahaya matahari yang dulu cerah tereduksi menjadi kilatan redup yang mustahil ditembus. Beberapa minggu ini, Sepanjang hari hanya abu-abu terlihat di langit kota.Â
Bangunan tinggi dan pencakar langit yang seharusnya menjadi pemandangan menakjubkan untuk orang-orang, kini terlihat samar dalam jarak dekat, terhalang oleh kabut beracun yang terus mengapung di udara. Jalanan yang dulu ramai kini sepi, dengan kendaraan-kendaraan bermotor yang melaju dengan lambat, terjebak dalam kemacetan yang tak kunjung reda.
Orang-orang berjalan dengan wajah terlindas kelelahan dan masker wajah yang melindungi mereka dari udara yang beracun. Udara terasa kental dan berat di paru-paru, mengingatkan mereka betapa jauhnya mereka dari udara segar dan bersih yang dulu pernah mereka hirup. Tanaman-tanaman kota layu dan mati, tak mampu bertahan dalam lingkungan yang penuh dengan zat-zat beracun.
Suara-suara alam seperti burung berkicau dan angin berdesir telah lama digantikan oleh deru mesin dan bising lalu lintas. Cahaya bintang-bintang di langit malam tertutupi oleh cahaya buatan yang terang benderang, hampir tak ada lagi kesempatan untuk memandang keindahan kosmos di atas.
Namun, di tengah semua kegelapan ini, ada secercah harapan yang masih berkilau di mata orang-orang. Mereka berkumpul untuk berbicara tentang perlunya perubahan, untuk memulihkan ibukota mereka dari belenggu polusi yang mematikan. Gerakan-gerakan lingkungan bersemi, di sosial-sosial media, tumbuh subur, menyatukan hati dan usaha mereka dalam usaha membebaskan ibukota dari bayangan polusi yang menghantui.
"Adakah harapan untuk merestorasi keindahan dan kebersihan yang pernah ada, di sana, dan mewariskannya kepada generasi mendatang?"