Mas, pulang jam berapa?
Begitu kira-kira isi pesan WhatsApp Bu Maryam pada Pak Supono, suaminya. Maka kemudian, lekas Pak Supono segera menjawab.
Seperti biasa, jam 5, ada apa?
Tidak lama pesan Pak Supono dibalas sebuah foto selfie dari istrinya, yang tengah lemah tak berdaya, kelihatannya sih lokasinya di ruang UKS sekolah. Bu Maryam kemudian mengaku tidak enak badan, lalu meminta tolong pada Pak Supono supaya bisa pulang cepat dan menjemputnya. Maka segeralah ia menelepon istrinya itu.
"Halo, sudah makan belum? Hah! Kenapa belum sih? Memang kalo kamu belum makan dari pagi tunjangan kamu lebih banyak dari Kepsek? Apa? Kan bisa minta tolong sama orang! Gausah lah pake bawa-bawa selera makan, perut kamu itu dikasih makan gorengan juga kenyang! Kalau nggak kuat kenapa nggak ijin aja, sih? Apa? Kan kamu juga lagi PPG, masak pada nggak bisa ngerti sih? KELIWATAN!"
Telepon ditutup. Pak Supono jadi ingat kejadian semalam. Ia baru saja ngerokin istrinya itu. Badannya sakit semua, keluhnya. Beberapa malam sudah semenjak istrinya jadi peserta PPG itu, Bu Maryam seringkali begadang. Lalu marah-marah bila Pak Supono pulang malam karena pekerjaan. Harusnya Pak Supono segera pulang cepat, supaya bisa mengurus anaknya yang baru berusia setahun itu. Tapi memang pekerjaan Pak Supono sendiri akhir-akhir ini semakin banyak dan semakin terasa kurang waktu untuk keluarga. Karena itulah Pak Supono hanya dapat membantu sedikit-sedikit urusan rumah tangga. Akhirnya istri Pak Supono pun hanya memiliki waktu untuk mengerjakan tugas setelah Si Kecil tidur. Si Kecil pun sudah seminggu ini begitu rewel. Baru tumbuh gigi. Sempat beberapa hari panas dan tidur larut.
Jadi guru memang pilihan Bu Maryam. Banyak waktu dan tenaga yang dikorbankan. Katanya, "Demi generasi masa depan bangsa." Tapi Pak Supono seringkali bertanya, untuk apa semua itu sebenarnya dikorbankan? Profesi guru itu sendiri seringkali diremehkan. Dari mulai banyak yang bilang nggak ada duitnya, permasalahan murid yang begini-begitu, persoalan sekolah yang begini-begitu, persoalan kurikulum yang begini-begitu, persoalan menteri yang begini-begitu, semua itu terlampiaskan dalam banyak sekali curhat guru, baik yang Pak Supono dengar sendiri dari teman-temannya yang berprofesi sebagai guru, atau baca di setatus teman efbe, atau di artikel-artikel.Â
Dengan segala permasalahan dan tanggung jawab yang begitu besar sebagai pengganti orang tua di rumah, yang bertanggung jawab pula pada budi pekerti anak-anak murid, seringkali alias tidak jarang guru-guru jadi salah-salahan orang tua murid. Banyak yang salah paham; orang tua murid maunya begini, guru maunya begitu. Sudah begitu repotnya, seakan tidak ada yang memperjuangkan nasibnya. Walhasil, banyak guru-guru yang kemudian kini asal absen saja, masa bodoh dengan tanggung jawab moral, etika anak didiknya. Profesinya saja namanya guru. Kelakuan tidak layak digugu dan tidak layak ditiru. Asal dapat gaji, sudah. Persetan soal anak orang.
Lebih-lebih ketika wacana tunjangan guru akan dihapus, sedangkan tunjangan keprofesian harus didapat dengan sertifikat keprofesian. Untuk mendapatkannya saja perjuangannya benar-benar nyaris mati. Pak Supono mendengar juga dari curhatan Bu Maryam, beberapa peserta angkatan tahun ini, telah mengundurkan diri. Lebih mirisnya, tiga orang sudah resmi innalillahi. Siang itu, Pak Supono melihat status istrinya yang menampilkan foto salah seorang teman seperjuangan PPG, dengan ucapan "Turut Berduka Cita." Dag-dig-dug seketika dirasakan olehnya.Â
Entah bagaimana, semakin lama dilihat, tiba-tiba wajah dalam foto itu berubah jadi foto Bu Maryam, istrinya. Lalu dalam bayangannya mulai terlihat adegan malam sepulang ia bekerja, ketika sudah sampai pada muka gang tempat rumahnya berada, Pak Supono menemukan bendera kuning, lalu motor-motor berjejal, ia memarkirkan motor, berjalan ke dalam, lalu menemukan dari kejauhan, bangku-bangku plastik sudah berada di depan rumahnya, karangan-karangan bunga berdiri di kiri-kanan, bapak-bapak tetangga duduk-duduk ngobrol sambil merokok. Ia berlari, masuk ke dalam rumah, menemukan orang-orang di dalam; ibu-ibu tetangga, mertuanya, adik iparnya menggendong si kecil, duduk melingkari sosok terbungkus kain jarik di tengah.
"Amit-amit," gumam Pak Pono.
Dengan belingsatan, kemudian bergegaslah Pak Supono meminta ijin pada atasannya untuk pulang cepat dengan menceritakan kondisi istrinya. Pakai pasang tampang melas segala. Untunglah atasan Pak Supono amat peduli pada persoalan pribadi macam begini. Lagipula, Pak Supono memang terkenal loyal dan selalu memprioritaskan urusan pekerjaan, meskipun di luar jam kerjanya. Walhasil, atasannya itu pun langsung berkata, "Segera jemput bini Lu, nanti keburu kenapa-kenapa."
Dalam perjalanan pulang, di atas sepeda motornya, dibayangkannyalah wajah Bu Maryam. Dikenangkannya kembali ketika beberapa hari ini wajahnya makin pucat karena begadang di depan laptop dengan seabrek tugas. Mesti juga menenangkan Si Kecil dengan membuka daster dan menyorongkan nenen pada mulut bayinya itu, belum lagi kalau Pak Supono juga ikutan pengen. Bu Maryam mesti juga mencuci baju setiap weekend, meskipun Pak Supono ikut berbagi jatah ngejemur dan cuci piring. Juga dibayangkannya wajah Bu Maryam tiap menyiapkan segala sesuatu yang hendak dibawanya mengajar, setrika baju pagi buta, juga kecupan pada kening Si Kecil ketika berangkat ke sekolah.
Beberapa kali diklakson kendaraan lain, sejenak Pak Supono memutuskan menepi di kiri jalan. Diambilnya ponsel kemudian menelepon istrinya,Â
"Jangan mati dulu, anak kita masih terlalu kecil. Saya tidak ingin cari ibu baru buat Si Tole, tunggulah, kira-kira saya sampai satu jam lagi!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H