Trondol, ikut demonstrasi, bukan karena dia emang sok gaya pengen jadi aktipis macam teman-temannya. Tapi, jelas kebijakan pemerintah berdampak pada nasib percintaannya. Asal tahu saja, kalau beberapa bulan lalu, calon mertuanya pasang mahar 35juta, selepas harga segala macam barang ikutan naik, pastilah mahar untuk halalin kekasihnya itu ikutan naik.Â
Tapi soal tulisan "BBM naik = Mahar nikah Naik" pada poster yang dibentangkannya, memanglah murni dari lubuk hati yang paling dalam. Sah-sah saja kan kalau Trondol mau ikutan demo, wong katanya: aspirasi setiap warga negara dijamin konstitusi. Biarpun kalimat itu hanya didengarnya dari nguping tanpa tahu jelas di mana tercantum butir pernyataan tersebutnya di mana, biar dia juga tidak paham apa itu konstitusi sekalipun. Biar kawan-kawannya yang pinter di depan digerakkan oleh siapa, dapat amplop dari mana, punya tujuan apa, tak jadi soal.Â
Yang jelas ia hanya tahu, bahwa Tini harus dinikahinya, dan itu butuh mahar, seserahan, cetak undangan, sewa tukang dokumentasi, ketering, dan segala tetek bengek itu tidak pernah disubsidi oleh negara. Memang, nasib percintaan rakyat tidak ditanggung negara. Tidak ada juga lembaga negara yang mengurusi hal itu.
Sambil menggigit gorengan yang dibelinya dari tukang yang mangkal di trotoar di antara kerumunan demonstran itu, ia kemudian menduga-duga, apakah jangan-jangan apa yang terjadi pada kawan-kawan mahasiswanya, terkait soal cinta-cintaan ini juga secara tidak langsung seakan-akan memang dipelihara negara atau negara memang tidak punya kepedulian akan hal ini? Itu, soal fenomena kawan-kawan yang doyan "jajan". Kalo ditanya oleh Trondol, mengapa sih kalian doyan "jajan"? Alasannya pasti karena mau nikah dan menghalalkan seseorang perempuan butuh duit banyak. Katanya, jajan, ini adalah sebuah penyakit masyarakat. Bukankah ini juga tugas kementrian sosial? Kalo dari segi agama juga, zina itu dosa besar. Bukankah kementrian agama juga bantu-bantu ngurus mestinya, padahal di jaman yang serba digital ini, penyakit/ kemaksiatan dengan Jajan juga sudah difalisitasi secara masif.Â
Nggak ada lagi lokalisasi. Trondol tahu persis, kawan-kawan lelakinya mudah sekali mencari perempuan penjaja seks di sebuah aplikasi, juga promo-promo hotel murahan bisa gampang didapat. Mulai dari tiga ratus ribuan, kawan-kawannya itu bisa melampiaskan birahi dengan mudahnya. Karena mudah akses, dan tidak terpantau, perempuan-perempuan penjaja seks itu tidak jelas lagi apakah terpantau kesehatan organ intimnya? Entah siapa kawan mahasiswanya yang punya penyakit menular seksual atau penyakit HIV, tidak lagi terdeteksi, bukankah ini mestinya tugas kementrian kesehatan juga? Pikirnya.Â
Untunglah, Trondol masih punya iman. Biarpun imin kadang nggak kuat. Untung juga dia niat menikahi Tini tidak cuma karena kebelet. Tidak seperti salah satu kawannya, Parmin dan komplotannya, yang menulis poster yang dibawa pada saat demonstrasi dengan tulisan " Tarif BBM naik = tarif BO ikut naik.
Tiba-tiba, Trondol tersedak saat minum kukubima yang dijual tukang kopi keliling yang memanfaatkan momentum demonstrasi ini. Ia tersedak saat mengingat sesuatu. Trondol jadi bertanya-tanya, bagaimana dengan beberapa kawan mahasiswi Trondol, yang ia tahu sendiri suka menjajakan petualangan seks dengan mudah via aplikasi? Atau jadi simpanan om-om senang? Â Wah. Kalau waktu BBM belum naik saja sudah banyak yang cari cara instan hidup enak dengan segala kebutuhan tercukupi tanpa capek-capek dan anu, sama-sama enak. Â Jangan-jangan kedepannya, makin banyak yang tergiur mengikuti jejak mereka?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H