Lalu pada malam tanggal tujuh belas, akan makan tumpeng bersama warga kampung dan bermacam acara digelar. Begitu membahagiakan.Â
 Tapi kok seiring beranjak dewasa, hingga  kini, Pak Supono  telah merasa begitu muak dengan ritual-ritual itu. Ia jadi apatis. Ia bahkan tidak membaca grup whatsapp Rukun Tetangga yang isinya kiriman dokumentasi acara perlombaan dan acara puncak perayaan ulang tahun Republik Indonesia di kampungnya tinggal.Â
Pak Supono merenungi, apakah tepat bila kata kemerdekaan itu dikelompokkan pada kata benda abstrak, yang tak begitu dapat dirasakan?Â
Sedang usaha kongkret untuk mendapatkannya barangkali jarang disinggung, untuk coba dipertanyakan, atau memang karena telah ada hari dan tanggal, semua beres, diingat seharian lalu menguap.
Pak Supono kemudian bertanya, bukankah para pahlawan yang kemudian pengorbanan mereka seenaknya dirangkum menjadi teks proklamasi kemerdekaan, menyatakan bahwa para pahlawan itu, telah mengantarkan rakyat Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan.
Lalu bukankah kemudian yang masuk gerbang kemerdekaan itu kini, Pak Supono  sendiri, juga kemudian anaknya, cucunya, generasi sesudahnya?
Dalam alam kemerdekaan ini, Pak Supono bertanya-tanya, apa sebenarnya kemerdekaan itu?
Dilanjutkannya bermacam pertanyaan dalam benaknya, dibawanya sampai pada tempat tidur ketika malam hari.Â
Sambil termenung, Pak Supono berpikir, dirinya sebagai salah seorang rakyat, Pak Supono sudah tentu memiliki  kewajiban, lalu kewajibannya dirasa makin lama mengungkungnya.Â
Misal, dia harus bayar pajak. Pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak kendaraan. Kini semakin lama semakin dirasa mencekik.
Lalu sebagai seorang suami, sudah semestinya Pak Supono memiliki kewajiban. Lalu kewajiban itu dirasa makin lama mengungkungnya. Juga, sebagai seorang bapak, sudah semestinya juga dirinya memiliki kewajiban.Â