Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Seorang bapak yang mengumpulkan kenangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mbah Bajul Numpang Curhat

8 Januari 2020   11:06 Diperbarui: 9 Januari 2020   20:47 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemaren itu, ketika ramai-ramai Gemblongrejo kebanjiran,  santer terdengar Mbah Bajul mendadak jadi terkenal. Di mana-mana beliau dan beberapa buaya lain jadi sorotan. Padahal saya akhirnya tahu ngenes betul apa yang dialami Mbah Bajul.

Baru tadi sore, beliau main ke rumah saya di Kampung Sengon. Saya baru saja pulang dari bengkel memperbaiki sepeda motor yang nekat menerjang banjir ketika malam tahun baru itu, terkejut melihat sosoknya sudah asik ngelepus di depan teras rumah saya sambil ngopi.

"Ndeh, Mbah, sampeyan datang lha kok ndak ngabar-ngabari dulu?" Ucap saya, masih tidak percaya sosok buaya sepuh besar itu ada di teras rumah saya.

"Aku kepengin curhat Le."


"Monggo melebet Mbah." Ucap saya mempersilakan masuk ke dalam rumah.

Lalu masuklah kami berdua, selepas memarkir sepeda motor di luar, beliau nampak benar-benar kelelahan.  Matanya merah katanya belum tidur nyenyak sejak banjir melanda.

Saya bukakan pintu, tubuh besarnya itu dengan kulit yang keras bersisik itu merayap dengan lemah masuk ke dalam rumah. Benar-benar tidak habis pikir saya dibuatnya. Pastilah beliau sangat lelah berjalan sejauh itu membawa beban tubuhnya yang berat dan panjang itu dari Kalirejo.

Saya tentu bukannya tidak sopan karena belum menyuguhinya apapun. Lha beliau sudah membawa sendiri mbako lengkap dengan kertas papirnya. Beberapa sudah dilinting, dibawanya dengan setoples kecil yang tadi dikeluarkannya dari kantung kresek bersamaan dengan termos kecil berisi air kopinya.

Saya hanya meletakkan asbak dan duduk lesehan di depannya. Terlihat kepulan asap memenuhi udara kosong di antara kami, makin menebal.

Mbah Bajul menghisap kretek handmade-nya  seraya menuangkan isi termos dalam tutupnya yang bisa jadi cangkir juga, menyesapnya beberapa kali, menghisap lagi kreteknya, menyesap kopinya, begitu saja terus.

Matanya menerawang ke udara kosong. Sorotnya lemah. Rasanya begitu berat beban yang beliau rasakan sampai harus jauh-jauh datang ke rumah saya untuk bercerita. Namun yang terlihat hanya raganya saja yang ada di depan mata saya, sementara jiwa penghuni raga itu entah sedang berkelana ke mana.

Maka berjam-jam kami habiskan dalam diam. Namun kami serasa beku. Larut dalam lamunan pada benak masing-masing.  Saya juga tak berani membuka obrolan, karena entah saya merasa hanya ingin menjadi pendengar seperti biasa, menunggu dan menunggu beliau membuka suara.

Mbah Bajul tak kunjung membuka suara. Matanya lamat-lamat menitikkan air mata. Saya jadi tak tega. Maka saya berinisiatif menghidupkan radio, mencari saluran dangdut kesukaannya, memutar volumenya agak keras supaya beliau terhentak oleh suara gendang dan bisa mencairkan suasana.

Tak lama benar saja beliau  mengikuti alunan musik dan ikut menyanyikan lagu yang sedang diputar radio.

Langit s'bagai atap rumahku...
Dan bumi sebagai lantainya...
Hidupku menyusuri jalan...
Sisa orang yang aku makan...

Lepas lagu habis beliau pun bercerita.

Malam tahun baru lalu, ceritanya sedari siang hari di tepi Kalirejo, Mbah Bajul benar-benar dalam mood yang baik. ia sedang asyik berenang dengan buaya lain. Beberapa sibuk mempersiapkan ranting-ranting kecil untuk bakar-bakar ikan ketika malam hari.

Loh, boleh dong, sesekali mereka-mereka menghibur diri setelah lelah dengan rutinitas sepanjang tahun yang memuakkan.

Mbah Bajul sudah merencanakan mengundang Kyai segala untuk memberi tausiyah singkat, supaya bukan sekedar kumpul-kumpul pesta makan-makan ikan bakar dan penuh keceriaan semata, namun juga Mbah Bajul berharap acara tersebut juga bermakna dan menjadi refleksi untuk kehidupan para buaya tahun yang akan datang. 

Selama ini bagi masyarakat, makhluk seperti mereka dicap negatif, padahal kan sama seperti makhluk-makhluk lain, buaya juga makhluk Tuhan. Mbah Bajul berharap acara malam tahun baru mereka bermakna, semoga selepas ini dapat menjadi buaya-buaya yang berguna, lebih baik lagi dan dapat bermanfaat bagi sekitar Kalirejo.

Namun ketika sore hari datang, awan gelap merayap perlahan di langit. Hujan yang tadinya rintik lama-lama menderas. Ditunggu-tunggu tak kunjung reda. Kalirejo sudah meninggi debit airnya. Semakin deras pula lama-kelamaan arusnya. Buaya-buaya pun kocar-kacir dibuatnya.

Semua ranting yang mereka kumpulkan hanyut, begitupula nasib ikan-ikan yang mereka tangkap. Semalaman itu air sudah tak tertampung Kalirejo.  Banjir besar pun melanda Gemblongrejo. Terdengar pula banyak korban tewas dalam musibah banjir kali ini.

Lantas, entah mendapat ilham dari mana, Mbah Bajul berpikir pasti banjir-banjir begini banyak manusia-manusia di Gemblongrejo yang membutuhkan bantuan. Maka ia berusaha mengumpulkan beberapa buaya untuk ikut serta menjadi relawan.

"Inilah saatnya sedulur-sedulurku. Kita harus membantu manusia-manusia yang terkena musibah di Gemblongrejo." Ucap Mbah Bajul meyakinkan buaya-buaya lain.

"Untuk apa Mbah?" Jawab beberapa buaya muda yang kontra terhadap rencana Mbah Bajul.

"Ndeh, kalian ini bagaimana? Kita harus peduli terhadap kesusahan makhluk lain!."

"Apa mereka peduli terhadap kita selama ini?"

"Ya benar Mbah! Kalirejo mereka racuni dengan segala macam benda-benda buatan mereka. Lihat sudah sampai hitam butek begitu, banyak bangsa kita mati karena kali yang diracuni oleh mereka membuat ikan-ikan juga beracun, kita makan ikan penuh sampah, penuh racun! Kulit kita juga jadi busuk karena Kalirejo benar-benar tercemar. Biarlah mereka  makan buah akibat perbuatan mereka sendiri!"

Mbah Bajul tertegun. Benar juga kata buaya-buaya muda itu.  Beliau merasakan betul puluhan tahun lalu. Sebelum kali-kali itu berubah jadi sedemikian rupa. Ketika banyak buaya berjajar nyaman di pinggir-pinggir kali. Bercengkerama sambil ngopi dan menghisap kretek bersama.

Beliau ingat betul. Betapa bahagianya dulu kala itu. Membolos sekolah bersama di bawah rindang pepohonan yang  masih rimbun di pinggirnya, belum dibangun beberapa tembok-tembok pembatas seperti saat ini.

Mbah Bajul jadi kangen saat-saat itu. Kini Tak lagi indah, tak lagi manis. Belum lagi bila melihat di sebelah barat Kalirejo sana, pemukiman-pemukiman jorok manusia yang dengan gampangnya membuang apapun ke Kali membuatnya mual, kadang-kadang kesal juga memikirkannya.

Namun entah mengapa ia tidak bisa menyimpan dendam pada tingkah manusia-manusia bodoh itu. Beliau ingat ajaran-ajaran Kyai ketika dulu masih mengaji sewaktu muda, betapa mulia di mata Tuhan bila membalas keburukan dengan kebaikan.

Mbah Bajul mendesah, jadi agak merasa nelangsa pada buaya-buaya muda itu. Mungkin karena buaya-buaya muda sekarang sudah jarang ngaji, sudah jarang mendapat siraman rohani dan sibuk dengan jeprat-jepret pamer gaya di sosial media, menyumpah serapah, menggunjing, ikut-ikutan menyalah-nyalahkan satu sama lain dan menyimpan dendam. Namun, Mbah Bajul merasa beliau tidak boleh ikut-ikutan menyalah-nyalahkan siapapun.

Maka beliau kemudian tetap melanjutkan niatnya, dengan beberapa buaya yang pro terhadapnya, berenang, mengarungi air banjir, menyebar  ke  beberapa pemukiman Gemblongrejo.

Berharap dapat membantu apa saja yang manusia butuhkan. Tapi naas seperti yang diliput oleh banyak media, beliau dan banyak buaya lain itu malah ditangkap, dan jadi bahan tontonan khalayak ramai.

"Untunglah Le, aku berhasil kabur, beberapa buaya muda yang mengikutiku beberapa masih dalam tangkapan manusia-manusia itu." Mbah Bajul mengakhiri cerita singkatnya  diikuti sesunggukan. Masih sempat-sempatnya menghisap kopi di cangkir tutup  tremosnya. Matanya berkaca-kaca. Saya jadi ikut-ikutan sedih.

"Oalah Mbah, Sing Sabar Nggih."  saya mencoba  menenangkan beliau.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu. Saya bergegas bangkit membukanya , terlihat  wajah  Daeng Andi, Ketua RT 13 di  Kampung Sengon ini, di depan mata saya. Di belakangnya Kang  Simin dan Tarjo, Hansip nyentrik itu berdiri siap. Ternyata juga sudah banyak berkumpul warga di depan teras rumah saya.

"Dik, apa lihat seekor buaya lepas dekat-dekat sini?" Tanya sang Ketua RT. Belum sempat saya jawab, di belakangnya Kang Tarjo berteriak.

"Itu Pak! Itu buayanya!"

Sekejap riuh terdengar Ramai-ramai mereka berusaha menangkap Mbah Bajul, sementara saya masih terduduk lemas tak berdaya. Ckckck. Naas benar nasibnya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun