Saat ini, penelitian tentang perjalanan penyakit COVID-19 masih gencar dilakukan dari hari ke hari. Informasi baru mengalir tak habis-habisnya. Gejala-gejala pun kini tidak hanya terbatas masalah saluran pernapasan. Kenyataannya di sisi lain, sampai hari ini, formula pengobatan untuk penyakit COVID-19 belum ditemukan dan dirumuskan secara pasti.Â
Panduan perawatan pasien bisa saja berbeda di setiap negara. Sejauh ini, pengobatan yang diberikan lebih banyak berdasar dari pertimbangan studi-studi terdahulu dan pengalaman menangani kasus oleh dokter-dokter di seluruh dunia. Ilmuwan serta tenaga medis berlomba-lomba dengan waktu untuk terus mencari jawaban sambil tetap menyelamatkan pasien sebaik-baiknya. Alasannya, pengobatan yang saat ini dipercaya dan banyak diterapkan juga belum tentu tidak menimbulkan efek samping merugikan.
Dalam minggu-minggu pertama kasus COVID-19 mulai merebak, pemerintah Indonesia merespon dengan membuat keputusan impor obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit ini. Di sini lah beberapa masyarakat mulai salah kaprah. Obat-obatan yang dimaksud, meliputi Avigan yang merupakan suatu anti-virus non spesifik golongan Fapiravir yang sebelumnya sudah terbukti efektif terhadap banyak jenis virus influenza dan Klorokuin yang merupakan obat anti-malaria ternyata saat diberikan menunjukkan relatif perbaikan pada pasien COVID-19.Â
Kenyataannya, obat ini bukanlah obat untuk COVID-19 -- melainkan, obat yang sebelumnya sudah di-ujicoba-kan di beberapa negara (contoh: Jepang dan Cina) dan menunjukkan hasil cukup memuaskan. Namun, seiring perjalanan penyakit yang kini telah berstatus pandemi, data-data baru dengan hasil beragam berdatangan dari pasien-pasien dengan karakteristik berbeda di seluruh dunia. Efektivitas pemberian obat-obat ini pun mulai dipertanyakan dan dipelajari kembali.
Dalam waktu beberapa hari pasca berita tersebut dirilis, masyarakat Indonesia banyak berbondong-bondong mencari dan membeli obat klorokuin untuk keamanan diri sendiri. Selain klorokuin, stok pil kina turut langka di pasaran sebab muncul desas-desus bahwa pil kina yang sama-sama obat anti malaria -- juga dapat digunakan mengobati COVID-19.Â
Hal ini tidak benar adanya. Obat ini bahkan masih dalam tahap uji coba dan diteliti cara kerja serta efek sampingnya dalam pengobatan pasien COVID-19. Mempertimbangkan untuk swamedikasi dan konsumsi obat dengan tujuan mencegah tertularnya COVID-19 tentunya lebih berpotensi mendatangkan bahaya dibandingkan manfaat.
Selain klorokuin, obat lain yang banyak diberitakan adalah antibiotik golongan Azithromycin. Artikel-artikel medis banyak dikutip dan direproduksi untuk kepentingan pihak-pihak tidak bertanggungjawab, menyoroti keuntungan kombinasi klorokuin dan azithromycin dalam menyembuhkan COVID-19.Â
Akibatnya, harga azithromycin juga sempat melambung padahal obat ini sangat dibutuhkan untuk mengobati penyakit-penyakit lain. Kembali lagi, sampai hari ini belum ada obat-obatan yang disetujui secara universal penggunaannya dalam menangani pasien COVID-19. Klorokuin dan azithromycin, meskipun akses pembeliannya cukup mudah, ternyata bila dikonsumsi tanpa petunjuk dokter dapat menimbulkan efek samping gangguan irama jantung.Â
Meskipun efek samping ini tidak sama besar risikonya pada semua pasien, tapi jika dilihat dari sifatnya yang fatal maka kombinasi obat ini sangat dipertimbangkan penggunaannya baik dalam setting rumah sakit apalagi untuk swamedikasi. Sudah seharusnya obat-obatan ini tidak diperjualbelikan secara bebas dan digunakan secara coba-coba di rumah.
Sama halnya dengan klorokuin/hidroksiklorokuin yang berpotensi memiliki efek samping gangguan penglihatan, di mana kebutaan ini dapat bersifat menetap bahkan saat setelah konsumsinya dihentikan.Â
Meskipun efek samping ini lebih besar risikonya pada pasien-pasien yang mendapatkan terapi obat dalam jangka panjang, misalnya pada pasien dengan arthritis rheumatoid atau penyakit lupus -- kita juga tidak seharusnya abai terhadap berita-berita lain yang simpangsiur di tengah wabah ini dan berpotensi mendorong kepanikan masyarakat untuk berobat secara gegabah.Â
Melalui sebuah pesan berantai di media sosial pada bulan Maret kemarin, tersebar informasi bahwa pengobatan dengan klorokuin dosis tinggi selama 1-2 minggu dapat mencegah diri kita tertular COVID-19. Pengobatan harian dengan dosis melebihi batas ambang, ditambah kondisi-kondisi kesehatan mata degeneratif lainnya terutama pada populasi lansia, menambah kemungkinan terganggunya fungsi penglihatan yang relatif berat.Â
Mengingat bahwa tidak semua orang memiliki akses yang sama untuk dapat bersikap kritis dalam menerima informasi, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk melawan efek samping berita HOAX tersebut dengan menyebarluaskan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kesimpulannya, swamedikasi obat-obatan untuk COVID-19 sangat tidak dianjurkan para ahli. Sampai saat ini belum ada obat-obatan yang disetujui untuk menyembuhkan COVID-19, apalagi untuk mencegah penularan. Anjuran obat-obatan dalam aspek pencegahan secara umum adalah dengan konsumsi vitamin untuk meningkatkan imunitas tubuh sehingga kita tidak mudah terserang berbagai penyakit. Konsumsi vitamin juga perlu memperhatikan dosis maksimal dan angka kecukupan gizi, serta tidak lupa dibarengi asupan air minimal 2 liter sehari untuk menetralisir makanan dan obat-obatan yang kita cerna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H