Buta warna lebih banyak menyerang laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 20:1. Perempuan cenderung hanya berfungsi sebagai "pembawa sifat genetik" kelainan buta warna yang tidak memunculkan gejala pada saat tes. Artinya, sangat mungkin perempuan dengan buta warna hanya bisa diketahui lewat pemeriksaan genetika yang rumit, sedangkan pada tes buta warna hasilnya normal.Â
Barulah saat wanita ini menikah dan memiliki anak laki-laki, anak laki-lakinya lah yang bisa memiliki kemungkinan lebih tinggi mengidap kondisi buta warna dan gagal dalam mengerjakan tes.
Bagi yang sudah pernah mengerjakan tes buta warna dan dinyatakan lulus, tentu menurut kita melihat angka dan pola pada lembar-lembar buku tes tersebut sangatlah mudah. Namun pada orang dengan defisiensi, perlu waktu lama untuk memperhatikan dengan seksama dan masih juga sering terkecoh (padahal sudah berusaha mengelabui dan menghapal isi buku itu sebelumnya). Betul, yang dimaksud adalah tes buta warna menggunakan metode buku Ishihara. Metode ini hanyalah satu dari banyak metode pemeriksaan untuk diagnosis gangguan penglihatan warna.Â
Sayangnya hingga saat ini, perkembangan pemeriksaan buta warna bahkan sudah satu abad berjalan, namun belum ada satu standar pemeriksaan terbaik yang sepakat direkomendasikan oleh para ahli seluruh dunia untuk mendiagnosis buta warna berikut derajat keparahannya.Â
Tes Ishihara merupakan yang tersering dilakukan untuk tujuan skrining karena cenderung cepat, sederhana, dan mudah diinterpretasi. Kelemahannya, tes buta warna metode ini hanya dapat mendeteksi tipe buta warna tertentu dan tidak dapat memberikan informasi mengenai derajat keparahan kondisi tersebut yang sebetulnya pasti berguna dalam menyusun kriteria eksklusi pelamar pekerjaan secara lebih adil.
Sebuah studi di India juga sebelumnya pernah menyoroti mengenai tingginya angka masyarakat yang tidak sadar akan kondisi buta warna yang dialaminya. Pada waktu itu, studi ini dilakukan dengan sampel siswa sekolah tinggi yang beberapa tahun lagi akan mendaftar perkuliahan. Sebuah setting yang hampir mirip dengan Indonesia, bukan? Perbedaannya, dari angka-angka tersebut, akhirnya India mulai gencar memperkenalkan program skrining buta warna terintegrasikan kurikulum dengan sasaran anak sekolah dasar. Hal ini tentu saja bertujuan untuk membantu memberikan gambaran mengenai bidang karir sesuai minat dengan mencoba mempertimbangkan juga hasil tes tersebut.Â
Bayangkan beban psikologis yang setidaknya bisa diminimalisir bila anda dan keluarga sudah lebih siap sejak awal dengan beberapa alternatif pilihan karir, dibandingkan dengan harus menerima kenyataan pahit pada menit-menit terakhir.
Skrining buta warna di Indonesia mungkin belum bisa terlaksana dalam skala besar, meskipun ada beberapa sekolah di kota-kota besar yang menyediakan program ini sebagai bagian konseling. Namun saat ini kita pun tidak kalah maju dalam teknologi. Saat saya mencari material demi penulisan ini, saya menemukan suatu rancangan anak negeri yang membawa tes buta warna metode Ishihara tersebut langsung dalam jangkauan smartphone kita.Â
Aplikasi ini tersedia di sistem Android. Saat dilakukan percobaan oleh ahlinya pun, tes ini ternyata tidak jauh berbeda secara mekanisme dan akurasi bila dibandingkan dengan tes buta warna Ishihara yang dilakukan secara manual. Setidaknya, anda punya pilihan untuk secara aktif melakukan skrining mandiri sejak dini. Sebelum ada kepastian terkait peraturan perlindungan dan penghapusan diskriminasi pengidap buta warna pada lingkungan kerja dan pendidikan, maka hal inilah yang terbaik bisa anda lakukan untuk mempersiapkan diri dan jalan sukses anda sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H