Ayu Wulandari (1405620034)
Pendidikan Sosiologi B 2020
Pada awal tahun 2020, hampir seluruh negara di dunia ini dilanda wabah covid-19, termasuk Indonesia. Wabah ini sangat berpengaruh terhadap segala sektor dalam kehidupan masyarakat, baik di bidang ekonomi, politik, maupun pendidikan. Segala aktivitas masyarakat pada saat itu dibatasi untuk mengurangi kontak fisik secara langsung agar penyebaran virus ini tidak semakin meluas.Â
Dalam dunia pendidikan sendiri, pemerintah berusaha agar kegiatan belajar mengajar tetap bisa berjalan dengan semestinya meskipun melalui tatap maya. Hal ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang bertujuan untuk memutus mata ranrai penyebaran virus covid-19. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran tersebut memanfaatkan teknologi virtual conference yang sudah berkembang melalui berbagai aplikasi dan platform seperti Google Meeting, Zoom, WhatsApp, Google Clasroom, dan lain sebagainya. Maka dari itu pemerintah memaksa seluruh masyarakat agar melek teknologi sehingga tidak kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh ini.
Pada dasarnya, pendidikan jarak jauh diterapkan secara tiba-tiba sehingga mengakibatkan munculnya berbagai problematika akibat kurangnya kesiapan guru, peserta didik dan juga orang tua. Pembelajaran jarak jauh ini dinilai kurang efektif karena dilakukan hanya satu arah yaitu peserta didik mendengarkan ceramah dari guru sehingga menjadikan siswa sebagai objek yang pasif.Â
Pada pembelajaran jarak jauh melalui Zoom Meeting atau Google Meeting, guru hanya menjelaskan materi tanpa memberikan ruang bicara pada peserta didik lalu memberikan tugas yang berlebihan. Bahkan terkadang ada juga guru yang hanya memberikan tugas dan materi melalui platform WhatApp Group atau Google Classroom tanpa dijelaskan terlebih dahulu sehingga menuntut peserta didik untuk memahami sendiri materi yang diberikan agar bisa mengerjakan tugasnya sesuai dengan keinginan guru. Dengan demikian, cara guru mengajar tersebut membuat peserta didik tidak bisa menyampaikan pendapatnya ketika mengalami kesulitan dalam memahami materinya karena kurangnya komunikasi antara guru dan peserta didik.
Hal ini sesuai dengan model pendidikan gaya bank yang dikemukakan oleh Pauolo Freire. Pendidikan hanya dijadikan sebagai kegiatan menabung, dimana guru sebagai subjek yang diibaratkan sebagai penabungnya yang memasukkan materi ke dalam diri peserta didik sebagai celengan. Peserta didik yang dijadikan objek sebagai celengan hanya menerima, mencatat, dan menghafal pengetahuan dari guru (Hidayat, 2013). Sumber pengetahuan seolah-olah hanya berasal dari guru sehingga ketika guru menjelaskan maka peserta didik mendengarkan, ketika guru mendikte maka peserta didik mencatat dan ketika guru bertanya maka peserta didik menjawab. Model gaya bank tersebut disebut sebagai model pembelajaran yang menindas peserta didik karena mematikan kreativitas peserta didik dan menumbuhkan sikap pasif serta mudah percaya.
Paulo Freire menyatakan bahwa seharusnya pendidikan bertujuan untuk membebaskan manusia dari rasa tertekan dan takut akibat penindasan. Maka dari itu Paulo Freire menawarkan konsep pendidikan hadap masalah sebagai wujud perlawanan terhadap pendidikan gaya bank. Pembelajaran hadap masalah merupakan model pembelajaran yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan kreativitas dan potensi yang dimiliki peserta didik. Dalam pendidikan hadap masalah, guru dan peserta didik sama-sama belajar, jadi guru bukan sebagai orang yang paling berpengetahuan. Guru menjadi kawan peserta didik yang melibatkan diri untuk menciptakan daya kritis para peserta didik. Pendidikan hadap masalah yang ditawarkan Paulo Freire dapat meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam berdiskusi pada kelompok sehingga tercipta imajinasi dan pola pikir peserta didik yang teratur.
Penerapan pendidikan hadap masalah ini mengutamakan dialog sehingga diharapkan dapat memfasilitasi guru dan peserta didik dalam pembentukan karakter yang memiliki kemampuan berpikir kritis. Seorang guru harus menggunakan dialog dalam pembelajaran yang memiliki makna yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (Hidayat, 2013). Dalam pendidikan hadap masalah, guru dan peserta didik ditantang untuk melihat suatu masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kemudian melakukan komunikasi dua arah melalui diskusi untuk menemukan solusi dalam memecahkan masalah tersebut. Maka dari itu, pendidikan hendaknya melibatkan tiga unsur yaitu guru, peserta didik dan realitas dunia untuk melacak hubungan dialektis yang mapan. Guru dan peserta didik dijadikan sebagai subjek pembelajaran yang memiliki kesadaran dan kemampuan memaknai sedangkan realitas dunia sebagai objek pembelajaran (Triputra, 2022).
Salah satu bentuk konsep pendidikan hadap masalah yang bisa diterapkan dalam masa pandemi yaitu melalui pendekatan pembelajaran kolaboratif berbasis masalah. Pembelajaran kolaboratif adalah suatu model pembelajaran yang di dalamnya terdapat kelompok untuk melakukan proses diskusi dalam memecahkan suatu masalah, mengerjakan suatu tugas atau membuat suatu produk. Pembelajaran kolaboratif mampu mengembangkan sikap positif terhadap pendidik dan melibatkan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran. Manfaat penerapan model pembelajaran kolaboratif secara daring yaitu pembelajarannya lebih menyenangkan dan tidak membuat peserta didik merasa tertekan, menjadi lebih termotivasi, saling terbuka dan mampu menciptakan gagasan peserta didik yang cemerlang.
Dalam pembelajaran kolaborasi, guru tidak lagi menyampaikan ceramah di depan kelas tetapi guru menjadi fasilitator dengan menyediakan segala keperluan yang dibutuhkan, mengatur situasi yang kondusif dan menyampaikan beberapa informasi untuk memperlancar jalanya pengerjaan tugas (Sunu, 2021). Guru bisa menjadi penuntun dengan memberikan petunjuk, umpan balik, dan pengarahan terhadap peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. Strategi pembelajaran kolaboratif berbasis masalah sangat perlu diterapkan untuk meningkatkan kemampuan kritis peserta didik.