Mohon tunggu...
Cynthia Ayu W
Cynthia Ayu W Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti

Penulis 12 novel. Kontributor karya fiksi thriller dan mystery pada ThrillingMysteryClub. Pecinta buku, musik, film, kopi, dan mendaki gunung. Bekerja sebagai IT Officer. Blog dan tulisan lainnya ada di: http://www.ayuwelirang.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fantasmagoria dari Naga Terbang yang Berbicara

29 Mei 2017   20:28 Diperbarui: 30 Mei 2017   10:37 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menulis ulang ulasan ini dari blog pribadi saya. Saat mengulasnya di blog pribadi, saya menulis di media blackberry dan baru disunting keesokan harinya ketika di kantor. Hasrat untuk bercerita tentang buku yang mengubah hidup sangatlah kuat, sehingga harus segera dituliskan sebelum hal itu menghilang dari benak.

Buku pertama yang jadi segalanya adalah salah satu buku yang ditemukan secara tak sengaja di kedai kopi yang merangkap rumah buku mini. Buku ini mungkin sudah terabaikan begitu lama. Tak tersentuh. Niat saya waktu itu memang mencari buku Ayu Utami, namun saya terhipnotis ketika membaca sisi buku yang bertuliskan "Cala Ibi". Cala Ibi bersampul abstrak dan seperti memanggil saya untuk membacanya.

Cala Ibi adalah kisah tentang perjalanan hidup dan spiritual. Saya membaca dan mencoba berselancar dalam buku yang kisahnya "di luar nalar" berhias diksi indah. Tokoh utama bernama Maya Amanit dan ia kerap berjalan di alam bawah sadar, mengunjungi rumahnya nun jauh di sana, di Halmahera. Dalam perjalannya, Maya menunggangi seekor naga yang berbicara, yang bercerita tentang sejarah tempat lahirnya. Untuk menelan halaman demi halaman, memang dibutuhkan waktu yang sangat panjang, bahkan harus berulang kali kembali ke halaman sebelumnya agar lebih paham. Tapi, buku ini benar-benar menghipnotis.

Dalam perjalanan Maya, saya ikut masuk ke dalam dunia mimpinya yang cukup ambigu antara fana atau nyata. Tapi, sesungguhnya pada saat itu yang saya lakukan bukanlah berjalan membaca, melainkan beberapa kali diam untuk memaknai isi pesan-pesan tersirat dari tiap diksi Nukila Amal--sang penulis. Saya berusaha memahami apa yang hendak disampaikan, meski pada akhirnya saya pun kadang gagal memaknainya.

Nukila Amal sukses membuat saya menari dalam kepala Maya Amanita, atau malah tokoh fiktif itu yang menari di dalam kepala saya? Saya sungguh tak habis pikir, benarkah ada kehidupan "yang mati dan yang fana" di dalam diri tiap manusia? Benarkah bisa sebegitu hebatnya fantasi sebuah mimpi? Saya pun jadi de javu, sebab saya pernah menemukan sejarah hidup yang lahir bukan dari fakta, melainkan dari dalam sebuah mimpi yang benar-benar tak jelas batas antara keaslian atau kefanaannya. Tapi, berkat Nukila Amal, saya jadi mengamini, bahwa tak ada yang benar-benar bisa membagi antara batas maya atau nyata. Di sini, Cala Ibi--nama sang naga--membawa kita pada eksistensi diri kita sendiri, melalui mimpi. Bahkan, kesendirian yang saya rasakan di ibukota, seperti dijelma dari kesendirian Maya Amanita. Mereka yang sendiri, mereka yang kerap mimpi.

Perjalanan saya dengan Cala, sang naga yang berbicara rupanya tak sampai di situ. Di tengah-tengah perjalanan, saya menemukan pilihan. Ke mana saya harus melanjutkan perjalanan? Apakah pulang dan menerima eksistensi saya sebagai seorang anak dari seorang ibu dan ayah ataukah melanjutkan hidup di belantara kota? Di sini Cala membingungkan saya, sama seperti Maya atau Maia atau siapalah itu namanya. Dan ketika pilihan sudah saya temukan, saya malah tak benar-benar menemukan pilihan, karena sekali lagi, semuanya tercerai-berai.

Ketika saya mengerucutkan pilihan, rupanya sang naga yang menjadi tuhan dalam cerita, membawa saya ke kenyataan yang lain. Dia malah dengan berani menasehati saya, "Cerita selalu bisa berubah", katanya berkali-kali. Dan dia malah menasehati saya dengan teori-teorinya yang jelas tak saya mengerti. Dia malah berkata, "Kau tak usah berkutat menceritakan kenyataan, karena... realisme menyesaki yang nyata, penuh dengan kata-kata nyata, dengan bahasa yang menuding-nuding hidung realita. Yang nyata berubah dalam penceritaan." (hal. 73)

Maka bukan saya yang menuding realita dan labirin hidup, melainkan Cala yang menuding hidung saya. Tak perlu berkelindan dalam labirin karena katanya frustasi lebih mudah muncul jika kita memaknai buku ini secara rasional, mencari yang ada, atau bahkan mencari yang tak ada. Selebihnya biarkan Cala membawa saya, atau mungkin kita, untuk ikut berjalan-jalan. Sejenak duduk di atas punggungnya tak masalah, anggap saja seperti naik kuda. Dan sampai akhir cerita, saya bahkan ingin mengulang perjalanan, kalau bisa. Saya ingin berada di atas punggung Cala lagi, berkeliling Indonesia dalam mimpi yang membawa saya ke sebuah masa lalu. Masa lalu yang mungkin benar, atau bahkan tidak benar. Atau bahkan... saya yang akan mempertanyakan eksistensi saya sendiri. Apakah saya yang membaca Cala Ibi adalah MAYA? Ataukah saya adalah jelmaan Maia yang bias antara kenyataan dan kefanaan?

Terlepas dari kisahnya yang membuat kita banyak bertanya, Cala Ibi sukses membuat saya membolak-balik halaman. Bahkan, pada saat saya menulis ulang ulasan ini, saya sudah berkali-kali membaca Cala Ibi, hingga menemukan berbagai pemaknaan yang berbeda-beda. Maka, bagi yang tertarik, silakan mencoba untuk berjelajah bersama naga yang bisa berbicara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun