Idealisme ternyata masih ada dalam permusikan. Di antara ribuan grup musik yang mengikuti trend pasar musik dengan menyajikan musik melankolis yang kelewat menyedihkan, masih ada musisi yang lebih mengutamakan kepentingan telinga yang mendengarkan. Musisi yang seperti ini masuk dalam kategori musisi idealis. Begitu banyak grup musik yang memulai hidup bermusiknya dalam pasaran indie atau independen. Mereka lebih suka berlomba dalam festival dan gigs kecil daripada masuk televisi dan mengesampingkan selera telinga para pendengar. Yang penting bisa nyanyi, main gitar, main organ tunggal dan dengan drum midi, bagi mereka itu sudah cukup. Padahal di luar dunia mereka itu, masih banyak orang yang ingin mendengar musik yang lain.
Di antara ribuan acara musik besar yang tayang di televisi, masih ada saja acara kecil yang dihadiri oleh ribuan pendengar musik idealis. Sebut saja Efek Rumah Kaca dan Navicula, yang beberapa bulan terakhir kerap kali tampil di panggung musik idealis Jakarta, di bawah bendera "Blues 4 Freedom".
[caption id="" align="aligncenter" width="283" caption="Blues 4 Freedom"][/caption]
Kedua grup musik itu adalah dua contoh grup musik idealis yang saya sukai. Mungkin ada yang pernah dengar? Dari beberapa albumnya, grup musik tersebut kerap kali mengusung tema yang berbau sosial dan sangat cocok dengan realita negeri kita. Perihal televisi yang siarannya kurang bermutu, mulai dari kasus Munir yang dijadikan lagu, kasus bom bunuh diri teroris, dan berbagai isu-isu lainnya yang kerap kali beredar di negeri kita.
Lagu-lagu dari grup musik itu hanya bisa saya dengarkan lewat komputer saja, sampai akhirnya ada suatu acara bertajuk "Blues 4 Freedom" dalam rangkaian festival Jakarta Biennale, yang menampilkan kedua grup musik itu di satu panggung. Pertama kali saya menonton keduanya dalam satu panggung itu kisaran akhir bulan Juli tahun lalu. Kedua grup musik itu tampil membawakan beberapa lagu favorit saya dengan sangat total. Selain keduanya, ada pula The Flowers dan Gugun Blues Shelter.
[caption id="" align="aligncenter" width="374" caption="Massa di Blues 4 Freedom"][/caption]
Untuk Efek Rumah Kaca sendiri, itu adalah penampilan live ke sekian kalinya yang sempat saya tonton. Sedangkan, untuk Navicula adalah penampilan live pertamanya yang sempat saya tonton.
Ketika saya datang ke acara Blues 4 Freedom di TIM bulan Juli tahun lalu, tempat acara sudah sangat ramai. Berbagai jenis manusia ada di sana. Di antara orang-orang yang berambut gondrong, mungkin wanita berjilbab dapat dihitung dengan jari. Saya adalah salah satu dari beberapa wanita berjilbab yang menonton acara musik seperti itu. Yang saya tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Navicula mulai tampil dengan membawakan lagu "Menghitung Mundur" sebagai pembuka. Lagu tersebut sangat membakar massa yang ada. Riuh penonton yang semangat, mulai membara. Dan malam itu pun akhirnya dilewati dengan bahagia. Selain bisa menyuarakan idealisme, orang-orang pun puas dengan kualitas musik yang sangat berbeda dari biasanya.
Gaya eksentrik gitaris Navicula yang bernama Dankie, bisa menghipnotis penonton dengan permainan gitar tingkat profesional. Meskipun Navicula mengatasnamakan 'Grunge' di sana, unsur blues tetap tidak terhindarkan. Pasalnya, sang gitaris pun memang kerap kali bermain musik blues. Toh, perbedaan genre itu tak menjadi masalah buat para penonton. Yang penonton tahu hanyalah musik berkualitas, itu saja.
Terakhir, aksi panggung pun ditutup dengan atraksi salah satu personil Navicula, yaitu Indramade, yang melompat dari panggung dan menelusup di kerumunan orang-orang yang sedang moshing. Ada sedikit insiden ketika kepala Made terantuk alas semen. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat Navicula untuk main dan main lagi di Jakarta.
Hal itu terbukti saat acara live radio show di TVOne. Navicula tampil di radio show dan membakar semangat para penonton seperti biasanya. Apalagi, rakyat 'grunge' sudah bersiap sejak acara belum dimulai. Riuh masyarakat grunge pun membakar semangat Navicula sehingga dapat bermain dengan total dan profesional. Meskipun tempat acaranya terbatas karena ada di dalam kafe, orang-orang tetap bersemangat untuk moshing. Ada yang diangkat oleh temannya, ada yang berdiri dan ada pula yang melompat-lompat. Kamis malam tanggal 1 Maret 2012, menjadi saksi dimana rakyat 'grunge' masih ada dan bisa berkumpul sebanyak itu. Setelah acara selesai pun, para rakyat grunge masih semangat dan menyempatkan diri untuk berfoto bersama personil Navicula Bali.
Konser lain yang saya tonton ialah konser Efek Rumah Kaca pada tanggal 24 Februari 2012. Grup musik idealis yang satu ini juga tak mengurangi kesenangan saya dengan musik idealis. Ada nafas baru, jenis musik baru, dan pesan baru yang ingin disampaikan oleh Cholil, vokalis Efek Rumah Kaca. Efek Rumah Kaca kali ini tampil di bawah bendera "Blues 4 Freedom" dalam acara pembukaan pameran foto dan grafis yang diadakan di Galeri Antara, Pasar Baru.
Saya datang sekitar pukul sembilan lewat dan acara pembukaan sudah mulai sejak Isya. Saya kira, saya akan ketinggalan waktu menonton Efek Rumah Kaca. Ternyata, saat saya masuk ruangan utama, yang mengisi acara saat itu adalah Sanggar Akar. Ada dua kemungkinan, Efek Rumah Kaca sudah main atau belum. Setelah menunggu setengah jam, akhirnya band yang ditunggu-tunggu pun mulai. Efek Rumah Kaca.
Tak ada sepatah kata pun yang bisa terucap saat itu, selain mengikuti Cholil bernyanyi. Efek microphone yang mendukung, menambah melankolia suasana malam itu. Sampai Efek Rumah Kaca selesai tampil pun, orang-orang masih saja berdendang riang. Setelah itu, alat dibereskan dan semua kembali berkeliling untuk melihat pameran.
Seperti itulah pengalaman saya setiap kali menonton konser. Saya menganggap ini konser sederhana, namun berkesan. Tak perlu mewah dan megah, yang penting konsernya meninggalkan kesan mendalam di hati yang menonton.
*foto-foto diambil dari facebook pribadi, kaskus ini dan blog ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H