Menurut data dari APJJI bahwa sebanyak 171,17 Juta Jiwa penduduk Indonesia menjadi pengguna internet (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, 2018). Maka, dapat dilihat seberapa pengaruhnya peran teknologi dalam menguasai suatu negara.
Mungkin sebagian besar pengguna internet sudah menggunakannya dengan sehat dan aman, akan tetapi masih banyak pengguna internet yang salah menggunakan kecanggihan teknologi pada saat ini.
Misalnya, dalam hal penyampaian aspirasi atau kritik dan saran untuk kinerja pemerintah yang dapat diakses dari banyak social media ataupun aplikasi-aplikasi yang sudah diterbitkan, masih ada orang-orang yang malah menggunakan akses tersebut sebagai tombak untuk mengahancurkan kinerja pemerintah.
Adaptasi perubahan dalam sistem pemerintah sebenarnya merupakan cara pemerintah untuk memperbaiki dan mengembangkan sistem pemerintahannya agar mampu mewujudkan demokrasi yang baik dan sesuai dengan yang diharapkan masyarakat.
Dalam konteks demokrasi digital, penggunaan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) menjadi dasar untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses mengambil suatu kebijakan. Peluang dalam demokrasi digital itu sendiri sebenarnya mampu meningkatkan bentuk efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan demokrasi.
Jika dikaitkan dengan teori Henry di katakan bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang dimana masyarakat memiliki kekuasaan dalam menentukan suatu kebijakan. Pelaksanaan e-Goverment adalah terobosan baru bagi pemerintah sendiri yang mana e-goverment tersebut mampu menciptakan pelayanan publik yang efisien dan efektif. Bentuk interaksi dari e-goverment tersebut salah satunya ialah govermental to citizens service atau kesempatan besar dalam memperbaiki pelayanan publik yang juga menjadi dasar keinginan masyarakat.
Sehingga, perlu adanya perbaikan dalam pelayanan publik yang didasari atas keinginan masyarakat yang harus dilakukan oleh pemerintah agar terciptanya demokrasi. Maka, hubungan TIK terhadap demokrasi sangat berkaitan satu sama lain, karena perubahan tuntutan hidup masyarakat yang tak luput menggunakan teknologi untuk keberlangsungan hidupnya menjadikan arti dari demokrasi tersebut harus di ubah. Keadaan demokrasi harus terus mengikuti keadaan teknologi yang akan dihadapi, dengan begitulah demokrasi yang sesungguhnya akan tercapai dengan baik dan benar.
Nilai-nilai demokrasi pun menjadi instrumen utama dalam menyelenggarakan pelayanan publik agar masyarakat menaruh kepercayaan pada organisasi publik serta memperoleh partisipasi sebagai pemangku kepentingan dalam hal kebijakan dan proyek (Molina & McKeown, 2009). Nilai-nilai tersebut antara lain inklusivitas, integritas, transparansi, dan akuntabilitas.
Di Indonesia, pelayanan publik terpadu telah melewati dua generasi, yakni Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA) dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)(Humas MenPANRB, 2019). Generasi ketiga saat ini yakni mal pelayanan publik yang mulai banyak berdiri di berbagai wilayah di Indonesia.
Integrasi layanan dalam mal pelayanan publik DKI Jakarta menghasilkan penyelenggaraan yang lebih sederhana dan mudah diakses masyarakat. Contohnya, perpanjangan SIM yang sebelumnya dilakukan di Samsat menghabiskan waktu dan tenaga akibat penuhnya antrean, sedangkan layanan yang sama dapat diselesaikan di MPP kurang dari satu jam (Lavinda, 2017).
Sebagai data peningkatan kualitas pelayanan publik dalam hal kepatuhan pelayanan publik, berikut penilaian pemenuhan komponen standar pelayanan yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia pada 2016. Standar Pelayanan tersebut tercantum pada UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Predikat yang diperoleh masing-masing zona yakni hijau untuk kepatuhan tinggi, kuning untuk kepatuhan sedang, dan merah untuk kepatuhan rendah (Ombudsman Republik Indonesia,2016).