Bullying, atau perundungan, merupakan masalah sosial yang telah menjadi perhatian global dalam beberapa dekade terakhir. Fenomena ini tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di tempat kerja, media sosial, dan bahkan dalam keluarga. Di Indonesia, isu bullying semakin mendapatkan sorotan, terutama setelah banyak kasus yang terungkap melibatkan anak-anak dan remaja. Salah satu upaya untuk mengurangi kasus bullying adalah melalui pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan di berbagai jenjang. Namun, seberapa efektifkah pendidikan karakter dalam menangani masalah bullying?Â
Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara berulang-ulang oleh individu atau kelompok dengan tujuan menyakiti atau merendahkan orang lain. Bullying dapat berbentuk fisik (seperti pemukulan atau penganiayaan), verbal (seperti ejekan atau hinaan), atau sosial (seperti pengucilan atau penyebaran gosip). Dampaknya sangat besar, tidak hanya pada korban, tetapi juga pada pelaku dan masyarakat secara keseluruhan. Korban bullying seringkali mengalami gangguan psikologis, seperti depresi, kecemasan, atau rasa rendah diri. Bahkan dalam kasus ekstrem, bullying dapat memicu tindakan bunuh diri pada korban.
Selain itu, bullying juga berdampak pada lingkungan sosial di mana perilaku ini terjadi. Kepercayaan diri dan rasa aman di lingkungan sekolah atau tempat kerja dapat terancam, yang pada gilirannya menghambat proses belajar, produktivitas, dan hubungan antarindividu.
Pendidikan karakter adalah pendekatan yang bertujuan untuk membentuk dan memperkuat nilai-nilai moral, etika, dan sosial yang baik pada peserta didik. Dalam konteks bullying, pendidikan karakter dirancang untuk menanamkan empati, saling menghargai, toleransi, dan rasa tanggung jawab. Dengan menanamkan nilai-nilai ini, diharapkan para siswa dapat lebih memahami pentingnya perilaku positif dan menghormati perbedaan, serta lebih peduli terhadap kesejahteraan orang lain, yang dilakukan dengan menerapkan berbagai metode pembelajaran.Â
Di Indonesia, Pada kurikulum terbaru (Kurikulum Merdeka), yang diterapkan pada tahun ajaran 2022/2023, pendidikan karakter mendapat perhatian lebih besar dengan penekanan pada profil pelajar pancasila. Profil ini mencakup enam dimensi karakter yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik, yaitu:
- Beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia
- Bergotong royong
- Mandiri
- Bernalar kritis
- Kreatif
- Kebhinekaan global
Kurikulum Merdeka memberi kebebasan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran berbasis proyek dan ekstrakurikuler yang lebih fleksibel, dengan tujuan agar siswa lebih aktif berpartisipasi dalam kegiatan yang mengembangkan karakter. Dalam konteks bullying, dimensi bergotong royong dan beriman dan bertakwa diharapkan dapat mendorong siswa untuk lebih menghargai perbedaan, bekerja sama, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Namun, penerapan pendidikan karakter ini tidak selalu berjalan mulus. Beberapa tantangan yang dihadapi antara lain keterbatasan sumber daya, baik dari segi tenaga pengajar yang belum sepenuhnya terlatih dalam mengajarkan nilai karakter, maupun kurangnya dukungan dari orang tua dan masyarakat. Selain itu, meskipun pendidikan karakter diajarkan, implementasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari siswa masih perlu diperkuat. Pendidikan karakter yang hanya terbatas pada teori tanpa praktik yang nyata akan sulit untuk memberikan dampak signifikan.
Efektivitas Pendidikan Karakter dalam Mengatasi Bullying
Penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli menunjukkan bahwa pendidikan karakter dapat mengurangi perilaku bullying, namun dampaknya tidak selalu langsung terasa. Â Efektivitas pendidikan karakter tidak hanya bergantung pada kurikulum yang diajarkan di sekolah. Faktor lain yang sangat berpengaruh adalah keterlibatan orang tua, masyarakat, dan lingkungan sekitar dalam mendukung nilai-nilai karakter tersebut. Sebagai contoh, jika nilai-nilai yang diajarkan di sekolah tidak sejalan dengan perilaku yang ditunjukkan di rumah atau lingkungan sosial, maka akan sulit bagi siswa untuk memahami dan menginternalisasi konsep tersebut.
Orang tua memegang peranan penting dalam pembentukan karakter anak. Sejak dini, orang tua harus menanamkan nilai-nilai seperti empati, saling menghargai, dan kejujuran. Mereka juga perlu menjadi teladan yang baik dalam menunjukkan perilaku positif kepada anak. Di samping itu, masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi perkembangan anak, termasuk mencegah terjadinya bullying.
Pendidikan karakter memiliki potensi untuk mengurangi perilaku bullying, tetapi efektivitasnya bergantung pada konsistensi penerapannya di berbagai lingkungan, baik di sekolah, rumah, maupun masyarakat. Untuk itu, perlu ada kolaborasi antara pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat dalam mendukung penerapan pendidikan karakter yang berbasis pada nilai-nilai moral dan etika yang positif. Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan tentang apa yang benar dan salah, tetapi juga membentuk individu yang peduli terhadap orang lain, yang pada gilirannya akan mengurangi perundungan dan menciptakan lingkungan yang lebih harmonis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H