Alhamdulillah pertunjukkannya sudah hampir selesai. Silahkan menarik nafas panjang. Hembuskan...
Bukannya mau memulai narasi ini dengan nuansa negatif, namun ini opini jujur saya. Ini adalah salah satu pertunjukan politik yang lumayan memuakkan, dengan manuver yang tidak cantik, dari dua pihak, yang memberi tamparan bagi kesadaran saya.
Bahwa sebenarnya bangsa ini belum dewasa.
Bahwa segala hal di negara ini masih terpusat di Jakarta dan segala hiruk pikuknya, bahwa isu SARA masih sangat mudah menggoyang logika dan kepekaan hati.
Hanya orang naif yang menyangkal rona agama dan etnis yang menyembul ini tak berhubungan.
Bahwa isu penodaan agama semata-mata terkait dengan posisi Ahok yang sangat kuat sebelumnya di posisi petahana.
Hanya dengan isu inilah ia mampu dicabut. Sehingga memunculkan persepsi, siapapun gubernurnya tak masalah asal satu agama dan satu etnis.
Ijinkan saya bercerita bagaimana saya dibesarkan, mungkin sedikit berhubungan mungkin juga tidak. Saya bukan dari kalangan beragama ketat, tapi orang tua saya meminta saya mengaji dari SD agar saya mendapatkan pendidikan agama yang tidak mampu diberikan di rumah. Saya mengaji pun tidak ketat, dengar dari beberapa jenis ustad dengan aliran yang gonta-ganti.Â
Kalau diingat-ingat ceramah mereka sering menyinggung tentang agama lain, jangan naif anda pasti mengalaminya. Tapi saat itu saya merasa tak masalah, karena saya tak kepikiran. Tapi ternyata kalau posisinya dibalik, kok reaksinya sampai jumpalitan begitu ya orang-orang. Apakah kita telah menjadi hipokrit?
Saya jadi ingat perkataan teman saya yang beda agama dalam sebuah diskusi santai, "Kamu sih nggak tahu gimana rasanya jadi minoritas." Rupanya ia sejak kecil mengalami diskriminasi, sengaja tak sengaja meski tak terlalu kentara tapi terasa dan masih terbawa di ingatan.
Pernyataannya menohok saya di dalam hati. Ketika itu saya kurang melihat dari sudut pandang orang lain, orang dengan posisi berbeda dari keadaan saya. Saat itu pula saya berjanji akan membuat pikiran saya lebih terbuka. Ibarat pepatah, pikiran itu seperti parasut. Kalau tak terbuka tidak akan berfungsi.
Kembali ke persoalan politik.Â
Padahal gara-gara pagelaran pemilihan presiden tahun 2014 lalu, saya sempat antusias lihat pergerakan politik tanah air. Karena orang-orang dengan kinerja baik dihargai dan isu-isu murahan dapat diurai dengan diskusi.
Beda sekali nuansanya dengan pagelaran pilgub Jakarta yang menjadi pusat pemberitaan media seluruh negeri. Dimana ketika saya mencoba berdiskusi dengan orang diluar zona nyaman saya, selalu yang muncul adalah isu agama. Saya maunya berdiskusi tentang kinerja dan siapa saja orang dibelakang meja.
Sekarang jadi pesimis lagi. Yah... Selanjutnya semoga saja  tidak berubah apatis.
Basuki Tjahaya Purnama dikenal dengan gebrakan keterbukaannya, baik masalah administrasi maupun gaya bicara yang diluar kebiasaan adat politik ketimuran. Tegas dengan banyak solusi yang efektif. Banyak anak muda yang tertarik dengan tingkahnya, terutama orang-orang yang sudah bosan dengan "cara santun tapi menikam". Kalau kejujuran itu adalah obat yang pahit, maka telan saja. InsyaAllah sembuh.
Sedangkan Anies Baswedan juga menarik dari sisi riwayatnya. Mulai dari menjadi rektor universitas terkemuka, penggagas gerakan Indonesia Mengajar, tim sukses pemilu presiden 2014, hingga menjadi menteri. Jadi mari sama-sama kita saksikan kinerjanya di Jakarta, Ibukota kita yang tercinta.Â
Harapannya duet Anies-Sandiaga harusnya seefektif gubernur sebelumnya. Kalau tidak ya pasti sangat mengecewakan dan miris, karena melihat keributan yang disebabkan akibat persaingan kedua kandidat yang sampai seperti mau membelah persatuan majemuk negara ini. Mau tak mau harus "worth it".
Hal-hal yang baik seperti keterbukaan administrasi, pemangkasan birokrasi berbelit, sistem KJP-KJS, normalisasi sungai dan hotline cepat pengaduan di Balai Kota harapannya masih terus dipertahankan, atau harus jadi lebih baik. Gubernur baru tidak boleh condong pada satu pihak/organisasi dan kalah karena konflik kepentingan cuma gara-gara hutang budi. Apapun yang terjadi harus menjaga nalar dan nurani.
Semoga pagelaran ini diakhiri dengan sikap saling mendukung. Bukan hanya dari para kandidat, tapi juga dari para warganya dan penduduk sentero bumi Indonesia yang terkena dampak gaung Pilgub DKI 2017. Mari kita berlanjut ke masalah lain. Kalau anda semua masih ingat, di beberapa tempat di Indonesia sedang terjadi bencana banjir dan tanah longsor. Mari bahu membahu tolong menolong dalam kebaikan.
Singkat saja akhir kata untuk Pak Basuki, terimakasih atas pelayananmu selama lima tahun di Jakarta, baik sebagai wakil gubernur hingga menjadi gubernur. Saya yakin gebrakan dan prestasimu dirindukan. Saya merasa anda adalah orang dengan niat yang baik.
Untuk Pak Anies sebagai pemimpin baru selamat datang di kursi ibukota, mengabdilah dengan Amanah.
Oh ya satu lagi... saya tidak ber-KTP Jakarta. Salam :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H