Desember selalu datang dengan suara hujan. Bulir-bulir air jatuh tanpa aba-aba, mengetuk genting rumah, mengguyur halaman, dan angin dingin membelai baju-baju yang bergelayut lemah di jemuran yang telah diamankan. Rina menatap jemuran itu dari balik pintu dapur. Wajahnya muram, sedalam mendung yang menggantung sejak pagi.
"Bu, hujannya deras banget!" teriak Dika, anak bungsunya yang berusia tujuh tahun.
"Iya, Nak. Deras sekali," jawab Rina pelan. Ia menarik napas panjang, seolah berusaha mengusir kegundahan yang terus bertamu di hatinya.
Dompetnya tergeletak di meja, terbuka dan kosong. Sisa uang terakhir sudah melayang entah kemana. Sebagian untuk membeli beras, sebagian lagi untuk membayar listrik yang nyaris diputus. Di kalender lusuh di dinding, lingkaran merah sudah membingkai tanggal 22: Hari Ibu. Dika dan kakaknya, Rani, sudah berjanji akan membuatkan sesuatu. Tapi Rina tahu, di balik keceriaan anak-anaknya, ada harapan kecil yang tak bisa ia penuhi.
"Bu, nanti kita liburan ke mana?" tanya Rani penuh semangat kemarin sore.
Rina hanya tersenyum. Bagaimana ia menjelaskan bahwa liburan hanyalah angan-angan mahal? Bagaimana ia katakan bahwa libur panjang Desember ini hanya akan dihabiskan di rumah, dengan hujan sebagai hiburan utama?
Hujan masih belum berhenti. Rina menggenggam pegangan pintu, menunggu langit berbaik hati membuka sedikit celah bagi mentari. Di benaknya, berbagai pikiran berkecamuk. Besok, supermarket akan penuh dengan keluarga yang berbelanja untuk perayaan Natal dan tahun baru. Malam nanti, toko-toko akan berkilau dengan diskon akhir tahun. Tapi di sini, di rumah kecil ini, yang berkilau hanyalah air hujan di ujung jemuran.
"Bu, aku mau kasih kado buat Ibu!" Dika muncul sambil memegang sebuah gambar. Coretan crayon penuh warna menggambarkan dirinya dan Rina, berdiri di bawah payung besar. Ada hati kecil di tengah payung itu.
"Wah, gambar apa ini?" Rina tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa pedih yang mengiris di dalam.
"Itu kita, Bu! Payungnya besar biar kita nggak kehujanan," jelas Dika dengan mata berbinar.
Rina merasakan dadanya sesak. Ah, anak ini! Ia selalu punya cara untuk membuat segalanya terlihat lebih mudah. Tapi payung itu hanya ada di atas kertas. Di dunia nyata, Rina berdiri tanpa perlindungan, basah kuyup oleh kekhawatiran.
Malamnya, saat anak-anak sudah terlelap, Rina duduk di depan cermin. Wajah lelah menatap balik kepadanya. Lingkar hitam di bawah mata, bibir yang nyaris selalu mengerucut.
"Bukankah seharusnya aku bahagia?" bisiknya. Ia memaksa bibirnya melengkung ke atas. Cermin hanya memantulkan senyum yang kaku.
Rina menutup mata sejenak. Di luar, hujan mulai reda. Mungkin besok, matahari akan datang. Mungkin besok, jemuran akan kering. Dan mungkin, ia akan menemukan caranya untuk membuat Desember ini penuh senyum, meskipun tanpa banyak uang.
Karena, bagi Rina, kebahagiaan adalah melihat anak-anaknya tetap tersenyum. Dengan atau tanpa liburan, dengan atau tanpa dompet tebal. Dan jika itu cukup bagi mereka, ia akan berusaha membuatnya cukup baginya juga.
Desember memang penuh hujan. Tapi setelah hujan, siapa tahu, mungkin ada pelangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H