Mohon tunggu...
Ayu SittaDamayanti
Ayu SittaDamayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Ingin jadi manusia baik

_Berbagi Memori dalam Tulisan _

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melepas Senja bersama Bapak

24 Juli 2023   12:31 Diperbarui: 24 Juli 2023   12:35 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber : Unsplash.com )

Aku selalu menyukai senja. Kemilau cahayanya selalu mampu menghibur diri yang lelah ditelan kesibukan dunia.

Namun, awal muharam ini kudapati ternyata senja itu identik dengan sendu. 

Lelaki sepuh  itu tengah duduk di bawah langit sore, seolah tengah beradu warna tua. " Sedang apa Pak? " Sapaku membuat pemilik bibir kehitaman dan kering itu tersenyum tipis. " Biasa, menunggu adzan maghrib, Nduk. " Mata tuanya memandangi halaman rumah yang rimbun dengan aneka tanaman penuh warna, namun aku sangsi ia mampu mengenali warna - warni dihadapannya itu semenjak penglihatan bapak semakin memburuk dimakan waktu. 

" Kemarin ke dokter sama mas Hilman, apa kata dokter Pak?" Ia mendesah lirih mendengar pertanyaanku. "Namanya juga mata tua, mungkin sudah terlalu lama melihat dunia, bapak ikhlas Nduk. Kata dokter, mata bapak ini sudah sulit disembuhkan." Jawabnya dengan tenang. "Mau ke Jakarta, Pak? Kita coba ikhtiar di sana. Mungkin fasilitas dan dokter spesialisnya lebih banyak." Bujukku padanya sembari kutatap matanya yang memang nampak semakin kelabu, tak lagi cerah seperti dulu. Namun, ia menggelang. " Tidak apa - apa, mungkin ini jalan dari Allah untuk bapak mengurangi dosa dari pandangan dunia yang tidak perlu." Jawabnya tanpa meninggalkan senyuman khasnya.

Hembusan angin pantai mulai semakin kuat, terasa hingga desa kami  yang memang berjarak dekat dengan Pantai Parangtritis. Lama kami berdua larut dalam keheningan. Aku memang tak terlalu dekat dengan bapak, membuat percakapanku dengannya tak terlalu banyak. Semenjak Ibu meninggal lima tahun lalu, ia ditemani Mas Hilman dan keluarganya yang rela pulang kampung meninggalkan pekerjaannya di Surabaya demi mengurus bapak. Sedangkan aku, memang tak terlalu sering pulang ke rumah bapak. Hingga, ketika libur tahun baru Hijriah ini aku sengaja mengambil cuti setelah mendapat kabar dari Mas Hilman tentang kondisi mata bapak yang semakin parah. Kaget, ketika mendapati mata tajamnya kini layu kehilangan sinarnya. 

" Kamu Nining? Sudah setahun Bapak tidak melihatmu, sekarang mataku malah tidak bisa melihatmu dengan jelas." kalimat itu meluncur dari mulut bapak sambil meraba wajahku dengan tangan keriputnya saat ia menyambut kedatanganku kemarin sore.

Sore ini, kami masih duduk berdua di beranda rumah. Kupandangi sosok disampingku itu ditemani suara angin yang menyapu dedaunan seolah tengah membisikkan pesan cinta padaku. " Lihatlah lelaki tua yang tak banyak kau kunjungi itu ! Puluhan tahun ia berlayar mencari nafkah untuk keluarganya, rasa rindunya ia simpan dalam doa - doanya, maka bukan salahnya jika ia kemudian hanya bisa pulang dua kali dalam setahun, itupun tak lebih dari sebulan ia berada di rumah lalu berlayar kembali. Waktunya memang tak banyak ia persembahkan untuk menemanimu, namun berkat doa dan upayanya bersama ibumu yang telah menjadikanmu tumbuh menjadi perempuan tangguh dan mapan. " Air mataku mulai menggenang, angin menggoyangkan rambut putih bapakku yang sudah menipis. " Maafin Nining ya Pak, jarang pulang." Sambil kugenggam tangan rapuh itu, kuberanikan diri merobohkan tembok penghalang di antara kami selama ini. Ia menoleh sambil menyambut genggaman tanganku " Bapak ngerti Nduk, hidup bekerja di perantauan seorang diri itu tidaklah mudah. Bapak bangga sama kamu, telah tumbuh hebat. Apalagi sekarang kamu juga sudah berhijab, sayang sekali mata bapak tak jelas melihat parasmu yang berhijab. Namun, bapak yakin pasti cantik seperti ibumu dulu." Aku tak henti - hentinya mengusap mataku yang semakin basah. " Warisan bapak sama ibumu buatmu dan HIlman cuma dua, Jangan tinggalkan salat lima waktu dan selalu berbuat baik agar barokah hidupmu ya Nduk." Pesannya sore itu meluncur bersama dengan derasnya air mataku. Air mata penyesalan menghadapi kenyataan bahwa waktu tak dapat diputar kembali.

"Sebentar lagi maghrib, kita masuk yuk Nduk!" 

Hari itu, aku melepas senja yang paling indah dalah hidupku, sebab supermanku masih tetap gagah meski dimakan usia. Kutemukan arah kompasku mengarah padamu bapak. Kelak, aku akan lebih sering menikmati hari bersamamu, menjemput kemegahan senja lalu melepasnya dengan senyuman.

#Motivasiana 

#ResolusiHijrahmu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun