Terdengar suara riuh dari depan rumahnya, bergegas ia menuju sumber suara dan ia melihat sang ibu sudah tak sadarkan diri tengah dikelilingi banyak tetangganya. "Mamah... " Teriaknya berlari kearah kerumunan. Bu Minah yang merupakan tetangga dekatnya memeluk tubuh kecilnya. "Sabar yo le" Ucapnya dengan logat jawa kental.Â
Ia menangis sesenggukan, membuat Rahman semakin kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. Sang Ibu siuman, yang pertama ia lihat adalah wajah anak semata wayangnya. Dengan sisa ketegaran & kekuatannya dipeluknya tubuh kecil Rahman. "Ayahmu, sudah meninggal kecelakaan di jalan raya Cibubur tadi, nak.Â
Katanya kecelakaan beruntun dan banyak yg meninggal, termasuk ayahmu. " Ingin rasanya Rahman menjerit namun suaranya tak mampu keluar dari mulutnya, air mata pun sulit menetes, hanya dadanya yang pedih dan terasa sesak. Hingga beberapa menit kemudian barulah tumpah segala tangis pilunya dalam dekapan sang Ibu yang sangat jelas berusaha ingin terlihat kuat untuk anak laki-lakinya ini.
Pukul 9 malam, sirene ambulans berbunyi menambah rasa sesak di dada Rahman dan ibunya. Aroma pilu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya bagi Rahman dan ibunya. Banyak orang berkerumun berebut dan saling dorong dengan mengangkat tinggi kamera telepon genggam mereka, bahkan ada yang tampak sedang siaran langsung di media sosialnya.Â
Rahman tak mengerti, kenapa mereka lupa ada hati yang tengah remuk, tak bisakah mereka berlomba menghibur dan menguatkan kepingan lukanya dan ibunya. Susah payah, para petugas dan tetangga baik hati memasukkan peti jenazah sang ayah kedalam rumah.
Rahman menatap peti mati yang telah rapih dengan bungkus kain hijau bertuliskan lafadz Allah, masuk keruang tamu yg merangkap sebagai ruang keluarga dan juga ruang makan.Â
Tangannya digenggam erat sang Ibu, perlahan melangkah menghampiri jasad sang Ayah. Ia jatuh terduduk bersama sang Ibu, tak percaya tanpa pesan perpisahan, sang kepala keluarga meninggalkan mereka berdua. Pikirannya kosong, hingga dari arah belakang, seorang bapak-bapak berseragam polisi memegang pundak Rahman menyadarkan dirinya.Â
Rahman menoleh, dan terlihat tangan laki-laki itu  menggenggam kantung kresek bertuliskan merk pizza yang tadi dijanjikan ayahnya. "Ini, digenggam erat ditangan ayahmu ketika kami mengevakuasi tubuh ayahmu." Rahman dan sang Ibu semakin lemas, dunia mereka seakan runtuh. Â
Betapa hebatnya sang Ayah bagi Rahman, dari awal hingga akhir hayatnya seluruh hidupnya adalah untuk tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. "Pak, sudah kuterima janji terakhirmu sebelum pergi." Pandangannya seketika putih berkabut, suara bising kendaraan yang biasa ia lalui di jalanan bersama sang ayah memenuhi telinganya dan lalu tiba-tiba sunyi. Begitulah kematian datang menyapa dari keramaian jalanan meninggalkan kesunyian dilorong sempit yang bernama kehilangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H