Mohon tunggu...
Ayu Sipayung
Ayu Sipayung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Hobi menulis sejak kecil

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Surabi Bandung: Keberlanjutan Perdagangan Makanan Tradisional di Tengah Modernisasi

24 November 2024   09:07 Diperbarui: 24 November 2024   09:08 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandung , kota yang dikenal dengan julukan "Kota Kembang," selalu memiliki daya tarik kuliner yang beragam. Dari kafe-kafe hits dengan menu kekinian hingga street food yang masih setia mempertahankan tradisi, Bandung tak pernah kehabisan pilihan bagi para penikmat kuliner. Di tengah derasnya arus makanan modern, ada satu hidangan yang tetap bertahan dan mempertahankan cita rasa tradisionalnya: surabi.

Surabi mungkin bukan makanan yang sering dipromosikan di media sosial seperti kopi susu atau es krim rasa unik, namun bagi sebagian warga Bandung, surabi adalah kenangan yang terus terjaga. Ia bukan sekadar makanan, tetapi bagian dari identitas kuliner yang menyimpan sejarah dan tradisi. Surabi bukanlah makanan baru yang tergoda untuk beradaptasi dengan tren, melainkan hidangan yang setia pada keaslian rasa meski zaman terus berkembang.

Warisan Rasa yang Tahan Uji Waktu

Surabi memiliki daya tarik yang tak bisa dikesampingkan. Meski tidak sepopuler makanan modern yang selalu ramai di Instagram, surabi tetap menyuguhkan kenikmatan yang tidak bisa digantikan. Pedagang surabi di Bandung berperan besar dalam mempertahankan cita rasa asli yang sudah ada sejak lama. Mereka dengan bijak menjaga resep tradisional yang tetap relevan meski dunia kuliner Bandung semakin berkembang pesat.

Ada yang menyebutkan, surabi adalah makanan yang tidak memiliki gimmick khas yang bisa menarik perhatian banyak orang dalam sekali pandang. Namun, dalam setiap gigitannya, surabi menyimpan cerita panjang. Ia menyampaikan kenangan, memberikan rasa gurih yang menenangkan hati. Bagi warga Bandung, rasanya tidak hanya menggugah selera, tetapi juga mengingatkan pada nostalgia yang tidak bisa ditemukan pada makanan modern.

Pernahkah Anda mencoba surabi yang dimasak menggunakan tungku batu bata? Rasanya yang kenyal dan hangat seolah membawa kita kembali ke masa kecil, ketika surabi masih dimasak dengan cara tradisional dan disajikan dengan penuh kesederhanaan. Keistimewaan inilah yang membedakan surabi dari makanan lainnya. Sebuah cita rasa yang tetap bertahan, meski zaman terus berputar.

Surabi dan Tantangan di Tengah Modernitas

Namun, di balik segala pesona dan keistimewaannya, pedagang surabi menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di tengah maraknya kafe-kafe yang menyajikan makanan cantik nan instagramable, surabi seakan-akan tidak memiliki daya tarik yang cukup untuk menggaet perhatian generasi muda. Dalam dunia yang semakin memprioritaskan visual, makanan yang tidak menawarkan pengalaman visual yang "instagenic" kerap kali terlupakan.

Surabi mungkin tidak memiliki latte art atau tampilan yang sempurna untuk foto-foto media sosial, namun ia tetap memiliki nilai lebih dalam hal rasa. Di sinilah tantangan besar bagi pedagang surabi: bagaimana cara mereka untuk bertahan di tengah arus makanan modern yang lebih memikat secara visual dan cepat populer. Bagi generasi muda yang lebih tertarik pada pengalaman kuliner yang baru dan unik, surabi harus bisa beradaptasi tanpa mengorbankan rasa dan tradisinya.

Inovasi yang Menjaga Tradisi

Meski begitu, bukan berarti surabi tak bisa berinovasi. Pedagang surabi di Bandung kini mulai memperkenalkan berbagai varian baru untuk menarik perhatian konsumen muda. Ada yang menambahkan topping kekinian seperti saus matcha, tiramisu, bahkan durian. Meski begitu, mereka tetap menjaga kualitas dan rasa asli surabi yang tak berubah. Inovasi-inovasi tersebut dilakukan bukan untuk mengubah karakter surabi, tetapi justru untuk menyempurnakan cita rasa yang sudah ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun