Mohon tunggu...
Ayu Setia Ningsih
Ayu Setia Ningsih Mohon Tunggu... Guru - Batam-Indonesia

Teacher- Mother-Entrepreneur-Writer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Budaya Positif di Sekolah

19 Desember 2021   20:34 Diperbarui: 23 Desember 2021   10:23 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya positif perlu kita tumbuhkan di lingkungan sekolah. Ibarat petani yang sedang bercocok tanam, budaya positif sama halnya seperti memberi rangkaian perawatan terhadap bibit tersebut agar dapat tumbuh dengan subur dan sehat. 

Adapun perawatan untuk 'bibit unggul' di sekolah kita adalah dengan membangun disiplin yang positif. Membangun budaya positif di lingkungan sekolah juga perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak terutama seorang pendidik. 

Budaya adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan dan diyakini sebagai hal yang sukar diubah. Terkait dengan kebiasaan, tentu saja dimulai dari karakter baik yang harus sudah dimiliki oleh seorang pendidik. Murid akan mencontoh teladan yang baik dari seorang guru yang ia hormati.

Pertama, membudayakan disiplin positif yang perlu kita lestarikan sejak dini. Motivasi tertinggi untuk menunjukkan kedisiplinan adalah keyakinan diri dari seorang murid bahwa ia perlu menaati peraturan bukan karena takut akan hukuman melainkan ia percaya bahwa di setiap peraturan memiliki kandungan kebaikan bagi dirinya dan orang lain. 

Selanjutnya, posisi kontrol seorang guru terhadap pemberlakuan disiplin yang positif. Kebanyakan yang terjadi, konsentrasi seorang pendidik saat menegakkan disiplin adalah dengan membangun imej bahwa ia adalah pendidik yang garang. 

Padahal hal ini adalah keliru. Posisi penghukum ketika menjadi seorang pendidik tentu akan berdampak negatif pada murid. Mereka akan merasa takut, tetapi jika tidak terus diawasi, mereka bisa saja mengulang pelanggaran disiplin. 

Seorang pendidik hendaknya menjadi seorang manajer yang baik bagi seorang murid ketika mendapati muridnya melakukan kesalahan. Tidak perlu marah, menunjukkan 'taring' atau bahkan memelas agar mereka berhenti melakukan pelanggaran disiplin tersebut. Kita hanya perlu memahami posisi mereka dengan menggunakan segitiga restitusi: 

1. Menstabilkan identitas,
2. Memvalidasi alasan mereka melakukan pelanggaran, dan
3. Menanyakan keyakinan yang sudah mereka pahami. 

Dalam hal ini, keyakinan kelas sudah harus disepakati sedemikian rupa dengan bahasa yang positif dari hasil kesepakatan kelas dan diulangi dalam setiap pertemuan di kelas, seperti halnya "Meminta izin sebelum meminjam barang", "Berbicara yang baik", dan sebagainya.

Pada dasarnya, ketika murid melakukan pelanggaran disiplin, mereka memiliki salah satu dari kebutuhan dasarnya sebagai manusia yang tidak terpenuhi. Adapun kebutuhan-kebutuhan dasar manusia adalah:

1. Kebutuhan bertahan hidup,
2. Cinta dan kasih sayang,
3. Kebutuhan pengakuan akan kemampuan,
4. Kebutuhan akan pilihan, dan
5. Kebutuhan untuk merasa senang.

Jika kelima hal tersebut terpenuhi dengan baik maka bisa dipastikan tidak akan ada pelanggaran disiplin di sekolah.

Pernah suatu ketika, di dalam kelas saya terdapat siswa yang senang menjadi pusat perhatian ketika melakukan hal-hal sederhana seperti bertingkah seperti monyet atau memperagakan goyangan viral yang tidak layak dari media sosial sehingga membuat teman-temannya riuh tertawa bahkan ada yang meyorakinya. Kelas menjadi kurang kondusif untuk kembali meneruskan pelajaran. Setelah kelas selesai, saya memanggilnya untuk menerapkan restitusi. 

Restitusi adalah sebuah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Berikut tahapan yang saya lakukan:

1. Saya memulai untuk mengatakan, "Membuat kelas menjadi riuh dan saling melempar sorakan itu akan mengganggu konsentrasi belajar. Menurut kamu, apakah hal itu baik?"
2. Setelah murid menjawab bahwa hal tersebut tidak baik, tahapan selanjutnya adalah dengan memvalidasi tindakan yang salah, "Kamu pasti punya alasan kenapa melakukan hal tersebut, kan?"
3. Murid menjawab sesuai dengan kebutuhan dasarnya yang tidak terpenuhi, "Saya senang mendapatkan perhatian teman-teman."
4. Langkah selanjutnya adalah, "Lantas, keyakinan kelas apa yang telah kita sepakati?"
5. Murid menjawab keyakinan kelas yang sudah disepakati bersama, "Berbicara dan bertingkah laku yang baik".
6. Terakhir, saya menanyakan solusi dari si Murid, "Apa yang bisa kamu lakukan untuk berbicara dan bertingkah laku yang baik?"
7. Siswa menjawab, "Saya tidak akan bergoyang tidak layak seperti itu lagi di kelas, Bu."

Demikianlah proses restitusi dengan posisi guru sebagai seorang manajer. Tahapan tersebut harus dilalui dengan tenang tanpa menunjukkan amarah atau gestur tubuh guru yang garang seperti melipat tangan dan memasang tampang seolah berkata, "Dengarkan aku!". 

Sebelum mempelajari mengenai restitusi melalui Pendidikan Guru Penggerak ini, saya kadang lupa bahwa murid-murid yang melakukan pelanggaran disiplin sebenarnya sedang mendemonstrasikan kebutuhan dasar yang tidak mereka dapatkan sehingga mereka mencari cara agar kebutuhan tersebut terpenuhi sekalipun dengan cara yang kurang tepat. 

Selalunya, saya bertindak sebagai seorang yang kerap membuat murid merasa bersalah akan kelakuannya. Namun, hal buruk tersebut kerap terulang kembali karena mereka menanggap angin lalu saja. Tidak ada motivasi internal yang mendorong mereka agar berubah menjadi lebih baik lagi. 

Melalui teori budaya positif di modul 1.4 ini, saya belajar untuk melakukan perubahan pola pikir dan bertindak. Bagaimana pun, murid adalah manusia yang menginginkan kebutuhan dasar mereka terpenuhi dengan baik melalui dukungan orang tua dan guru. Pendidikan yang baik tidak hanya mengembangkan kognitif semata. 

Terdapat tujuan yang lebih penting daripada hal tersebut, yaitu menyiapkan peserta didik yang tumbuh dengan pencapaian keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

Tentu saja, hal baik ini akan saya tanamkan dalam diri dan imbaskan kepada rekan-rekan sejawat agar dapat mempercepat pertumbuhan budaya positif di lingkungan sekolah. 

Selamat belajar dan berjuang bersama, para Pendidik di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun