“Kau pulang.” Aku tetap dalam dudukku, menatap jalannan aspal yang basah di hadapanku.
“Ya.. Kau rindu?” tak juga menatap ku. Kau sama, menatap jalanan aspal yang basah karena gerimis tadi.
Aku nyengir. Ironis! Kau bertanya aku rindu? Bukankah itu merupakan sebuah pertanyaan retoris yang benar-benar aku tak perlu menjawabnya? Dan tentulah kau pasti tahu, aku rindu. Rindu yang lebih dari rindu. Apakah aku harus menjawabnya? Huh?
“Aku?” tanyaku.
“Ya..”
“Apakah aku terlihat rindu?” Kau menoleh demi mendengar pertanyaanku. Ini adalah untuk pertama kalinya kau menatap wajahku sejak kepulanganmu, sejak kita berjumpa di sini setengah jam yang lalu, tanpa kata.
“Apakah kau melihat kerinduan pada diriku?” Ku ulangi pertanyaanku itu dengan tetap menatap jalannan aspal yang sepi dan basah. Ada sesuatu yang menggelitik tapi menyesakkan di dada ketika aku tahu, untuk pertama kalinya kau akhirnya menatapku demi mendengar tanyaku.
“Aku tahu” tanpa memalingkan matamu dariku.
“Apa?”
“Apakah kau benar-benar tak ingin melihatku?”
Heh, apa? Aku apa? Tidak ingin melihatmu? Oh Tuhan.. aku sampai harus jungkir balik menunggu kau yang tak kunjung datang. Aku sudah rindu. Rindu sekali ingin bertemu. Ingin sekali menatapmu, menumpahkan rindu yang terus menggelayutiku. Aku rindu. Rindu yang lebih dari rindu. Apakah aku harus menjawab pertanyaanmu ini? Huh? Apakah kau tak bisa membaca rautku yang terus menatapmu melalui pipi kananku?