Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kenali SBY Dari Lagunya (Ku Yakin Sampai Di Sana)

3 Oktober 2012   17:31 Diperbarui: 4 April 2017   17:40 1764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Salah satu berita "heboh" minggu ini adalah dinyanyikannya salah satu lagu ciptaan SBY dalam upacara Hari Kesaktian Pancasila. Lagu itu berjudul "Ku Yakin Sampai Di Sana," yang syair lagunya sebagai berikut:

Meskipun berat mesti ku lakukan

Ku pilih jalan yang ku yakini

Jangan paksakan yang takkan mungkin

Hidupku mesti lurus dan benar

S'ribu jalan menuju Roma

Entah mana yang paling baik

Ada begitu banyak pilihan

Engkaulah yang ‘kan menentukan

Reff:

Tlah ku pilih jalanku sendiri

Dalam prinsip kehidupanku

Meski tak selalu akan indah

Aku yakin sampai di sana



dengarkan lagunya di sini

Jujur saja, saya harus berpikir berulangkali sebelum akhirnya memantapkan diri untuk mendengarkan lagu ini. Dan, jika bukan karena ada "ontran-ontran" (bhs. Jawa: kehebohan) ini, saya mungkin takkan terpikir untuk menelusuri syair lagu ini, yang ternyata tak hanya satu versi.

Pertama, saya ingin membahas lagu ini dari sudut pandang estetika, alias keindahan. Tentu saja dari sudut pandang saya, seorang awam yang kebetulan suka bermusik dan menciptakan lagu, hehehe.

Dari segi persajakan, keseluruhan lagu ini nampak tak bersajak. Saya termasuk orang yang percaya bahwa keindahan sebuah lagu salah satunya berasal dari persajakannya. Sebelum "ditaburi" musik, lagu pada dasarnya adalah bait-bait puisi yang terdengar nikmat di telinga karena rimanya. Lagu-lagu Ebiet, Ahmad Dhani, atau Guruh menurut saya sangat kuat di bagian ini.

Lalu, dari segi logika komunikasi. Sejauh yang saya tangkap, lagu ini sepertinya arah komunikasinya langsung, antara "aku" dan "engkau". Akan tetapi, ada kerancuan logika di sana. Di bait pertama, "aku" seolah-olah berkata kepada seseorang ("engkau") bahwa "aku" tak bisa dipaksa untuk memilih jalan yang diyakini. Namun di bait kedua, "aku" justru berkata bahwa dengan adanya seribu jalan menuju Roma dan ketidakpastian mana yang paling baik, "engkau"lah yang akan menentukan. Kecuali si "aku" hendak mengajarkan "engkau" mengenai pilihan hidup, syair itu justru kontra-produktif dengan kengototan "aku" untuk memilih jalannya sendiri.

Kata-kata yang kita ucap/tuliskan akan selalu mewakili keberadaan kita, termasuk kepribadian kita. Menarik sekali, kita punya seorang pemimpin yang suka mempublikasikan sisi humanisnya lewat lagu. Maksud saya, tentu pidato kenegaraan yang meninabobokkan salah satunya juga mewakili sisi kepribadian SBY, namun tidak semua, karena toh, pidato politik akan mewakili kepentingan politis dari orang-orang atau lembaga yang diwakili, yang belum tentu disetujui pembaca pidato jauh di lubuk hati. Tentunya tidak ada juru tulis istana yang ikut merangkai syair lagu ini kan? Dengan demikian, bolehlah saya katakan, bahwa "unsur kepribadian SBY" sangat dominan dalam lagu ini.

Hmmm... kalau membaca syair "lagu istana" ini dengan seksama, kita bisa memaklumi sikap SBY yang peragu dan nampak ingin merangkul semua pihak. Hal itu tersirat dalam baris kata-kata "S'ribu jalan menuju Roma/Entah mana yang paling baik/Ada begitu banyak pilihan". Di sisi lain, kita juga bisa mahfum dengan sikapnya yang "tidak mau didikte", alias anti-kritik. Konon, dalam sebuah jamuan para jenderal yang diadakannya, SBY mengemukakan bahwa karena ia sudah menjadi presiden, maka ia berharap untuk tidak digurui. Mungkin ia jengah dengan kolega sesama jenderal yang melontarkan ide-ide pemerintahan kepadanya, atau bahkan mungkin menegurnya. "Ku pilih jalan yang ku yakini/Jangan paksakan yang takkan mungkin", begitu ungkap orang nomor satu di negeri ini itu.

Bagaimanapun juga, syair lagu ini juga menampakkan kepada kita akan sesosok manusia dengan tekad yang bulat. Sekali melangkah, pantang menoleh ke belakang, begitu mungkin istilahnya. Lihat saja dua baris pertamanya, "Meskipun berat mesti ku lakukan/Ku pilih jalan yang ku yakini" dan juga tiga baris pertama pada refrain: "Tlah ku pilih jalanku sendiri/Dalam prinsip kehidupanku/Meski tak selalu akan indah", itu semua menunjukkan tekad yang kuat dan siap mengambil semua resiko untuk bisa mencapai "Roma"-nya, yang dengan penuh keyakinan ia jalani. Perlu diingat, lagu ini diciptakan pada waktu SBY sudah menjadi seorang Presiden, profesi yang banyak dicita-citakan anak TK. Jika kursi kepresidenan belumlah "sana", lantas di manakah itu? Kabarnya sih, menjadi Sekjen PBB adalah cita-citanya.

Sudut pandang etika

Bagaimana dengan sudut pandang etika? Etiskah lagu ini dikumandangkan dalam sebuah upacara kenegaraan? Saya terpaksa harus menjawab: tidak. Kalimat demi kalimat di dalam syair lagu ini sama sekali tidak menunjukkan nilai-nilai kebangsaan. Mungkin ada yang berargumen, bahwa "aku" yang "yakin sampai di sana" itu merujuk pada bangsa kita, namun itu argumen yang sangat lemah. Syair lagu ini sangat personal, tidak ada unsur kolektifnya. Bisa saja dipaksakan penafsiran itu, namun sangat tersirat dan sulit diparafrasekan secara gamblang. Kalau "aku" adalah bangsa kita, lalu siapakah "engkau" di dalam lagu ini?

SBY semestinya bisa menahan diri dalam upayanya untuk mempopulerkan lagunya itu. Ada banyak event yang bisa dipakai selain upacara kenegaraan. Lagipula, bukankah baru-baru ini ia mengadakan konser di tempat bu Hartati di Kemayoran--meski sang Nyonya Rumah sedang tidak di tempat karena harus meringkuk di tahanan KPK?

Tapi itu menurut saya lho. Bagaimana menurut anda?

Ikuti pemikiran saya di Twitter

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun