Masyarakat mungkin sudah terlalu jengah dengan sikap-sikap yang diambil oleh SBY ketika menanggapi hal-hal yang berkaitan dengan dirinya. Di tengah pidato kenegaraan, kita sering mendengar keluh kesah sang presiden tentang berbagai hal atau pemberitaan yang menyudutkan posisinya. Pidatonya pun seringkali kabur dari pokok permasalahan, entah beliau tak bisa melihat inti persoalan ataukah memang itulah strateginya untuk mengalihkan pembicaraan.
Di tempat lain, kita terkaget-kaget ketika mendengar berita tentang putusan kasasi MA yang memutuskan Prita bersalah dan memenangkan pihak RS OMNI. Kasus Prita yang juga bermula dari sebuah "curhat" melalui surat elektronik, bukan di depan umum, ternyata masih berbuntut panjang. MA mengganjar Prita dengan hukuman 6 bulan dan masa percobaan 1 tahun.
Mantan Ketua MA, Bagir Manan menyatakan keheranannya atas kasus Prita ini. "Masa mengeluh saja nggak boleh," demikian katanya. Nah, jika seorang mantan ketua MA saja merasa heran, bisa dipastikan ada sesuatu yang salah dalam putusan MA tersebut. Meski mungkin Prita tidak dikurung, tapi tetap saja seumur hidup ia harus memikul predikat sebagai terpidana, sama seperti nek Minah yang mencuri tiga butir kakao tahun 2009 silam.
Ah, hukum di negeri kita sepertinya sedang terbolak-balik tidak menentu. Oleh karena itu, belajar dari kasus yang menimpa Prita, kita semua harus menahan diri untuk tidak "curhat" ke sembarang orang, kecuali tentu saja, jika kita berada di pihak yang kuat. Bisakah (atau, bersediakah) perusahaan media massa menuntut SBY atas tuduhan pencemaran nama baik terkait dengan pidato terakhirnya kemarin? Di negeri ini, hanya presiden saja yang boleh "curhat," iya kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H