"Ketika Buddha meninggal, sekolah-sekolah bermunculan." Salah satu ungkapan Cina itu mungkin bisa diterapkan paska kematian Osama Bin Laden baru-baru ini. Osama selama ini merupakan pemimpin tertinggi dalam jaringan terorisme Islam berskala internasional, Al Qaeda.
Osama dengan gigih memusuhi Amerika, Israel, dan sekutunya, yang menurutnya adalah bangsa kafir yang harus dimusnahkan. Namanya muncul ketika mengucapkan kegembiraannya terhadap peristiwa 9/11. Sejak saat itu, Pemerintah Amerika yang waktu itu dipimpin George W. Bush mengumandangkan perang terhadap terorisme dengan Osama Bin Laden sebagai sasaran utamanya.
Banyak spekulasi mengenai masa depan terorisme mengatasnamakan Islam paska kematian Osama. Ada yang mengatakan gerakan terorisme ini akan sedikit memudar, namun tak sedikit yang mengatakan sebaliknya. Saya adalah salah satunya. Semalam, saya melihat acara sebuah stasiun televisi yang membicarakan tentang kemungkinan nama-nama yang akan menggantikan kedudukan Osama.
Peristiwa peledakan bom di sebuah masjid Polres di Cianjur baru-baru ini menunjukkan bukti yang kuat bahwa pelaku terpengaruh oleh gerakan anti-Barat yang diserapnya melalui buku mengenai perang Islam yang ditulis oleh orang dekat Osama Bin Laden.
Bagi mereka yang benar-benar anti-Barat, kematian Osama justru merupakan bahan bakar yang cukup besar untuk "pembalasan dendam." Osama, segencar apapun media mengecamnya sebagai penjahat, tetaplah seorang pahlawan di mata mereka. Hal yang sama berlaku pula terhadap Abu Bakar Ba'asyir di mata pendukungnya.
Ketika Osama mati, orang-orang terdekatnya sudah menyiapkan berbagai rencana dan strategi yang tentunya telah dikonsultasikan dengannya semasa ia masih hidup. "Sekolah-sekolah" untuk membentuk Osama-Osama baru akan bermunculan. Tak perlu banyak biaya, cukup dengan menerbitkan buku-buku yang membakar semangat anti-Barat dan anti-Yahudi. Cukup dengan menggelar pengajian-pengajian atau pertemuan-pertemuan jemaah yang menekankan pentingnya "jihad" di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia yang pemerintahannya lemah dalam hal penegakan hukum dan HAM ini, paham ekstremisme agama yang dianjurkan Osama dan sekutunya dapat dengan mudah berkembang. Masyarakat kita juga masih belum bisa menyikapi gerakan semacam ini dengan tegas. Pertama, mereka merasa sungkan karena masih tergolong "saudara" dalam Islam. Kedua, mereka takut kalau-kalau mendapat perlawanan secara fisik seperti yang dengan gencar diperlihatkan di televisi.
Salah satu contoh, seorang teman bercerita bagaimana ia dan keluarganya berlibur ke sebuah pantai yang masih "perawan" alias belum terjamah oleh Dinas Pariwisata. Setelah puas bermain di pantai, mereka sekeluarga mendatangi masjid yang ada di dekat situ untuk menumpang mandi. Meski penunggu masjid menggunakan "jubah," berjenggot, dan bertampang kurang ramah (walau tetap membolehkan), mereka sekeluarga tetap menumpang mandi di masjid itu.
Setelah itu, salah seorang penduduk bertanya kepada teman saya itu, "Ibu tidak takut mandi di masjid itu? Saya saja takut..."
"Memangnya kenapa?" Tanya teman saya.
Ternyata itu adalah masjid "khusus" yang hanya digunakan oleh orang-orang dari luar daerah. Konon, menurut warga itu, mereka sudah sepuluh tahun lebih ada di daerah itu, mengaku berasal dari Jawa dan selama ini mengontrak dari satu rumah ke rumah yang lain.
Dengan merebaknya isu NII dan peristiwa matinya Osama Bin Laden ini, upaya untuk memperbaiki pola pendidikan agama terutama di kampus-kampus tentu patut mendapat dukungan dari berbagai pihak. Seorang teman yang lain pernah mengatakan bahwa sisi baik dari berbagai peristiwa "hipnotis" yang terjadi belakangan ini adalah meningkatnya kesadaran dan kewaspadaan masyarakat.
Orang tua akan lebih memperingatkan anak-anaknya yang berkuliah terutama di luar kota agar lebih berhati-hati dalam bergaul. Para mahasiswa (khususnya muslim) sendiri akan meningkatkan kewaspadaan mereka terhadap ajakan-ajakan untuk bergabung dalam suatu forum atau pertemuan agama yang "tidak biasa."
Memberantas ekstremisme agama memang bukan perkara mudah, namun bukan berarti mustahil. Seluruh lapisan masyarakat, termasuk anda dan saya, sama-sama memiliki andil. Di atas itu semua, saya percaya Tuhan juga menjagai Indonesia, selama kita terus bersatu dan terus berdoa untuk kesejahteraan negeri ini. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H