Mohon tunggu...
Philip Ayus
Philip Ayus Mohon Tunggu... -

menjaga kewarasan lewat tulisan | twitter: @tweetspiring.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Cabe Pak Beye

19 Januari 2011   09:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:24 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_85547" align="alignright" width="300" caption="cabe/kaskus.us"][/caption] Ibu rumah tangga, pengusaha rumah makan, dan penjual gorengan pasti sedang berpikir keras, bagaimana caranya supaya harga cabe yang membumbung tinggi ini bisa disikapi dengan cerdik. Beberapa mulai melirik ke cabe-cabe yang sudah layu, yang dulunya disingkirkan ketika saudara-saudaranya masih belum selangka sekarang. Beberapa lainnya sekedar mengurangi porsi cabe untuk masakan pedasnya, sementara sisanya mungkin memilih untuk betul-betul berpantang cabe. Cabe termasuk tanaman tertua di dunia, diyakini sudah dikenal di peradaban Amerika kuno sejak 7500 SM. Sebuah sumber menyatakan, bahwa cabe mulai terkenal setelah Columbus sampai di benua Amerika dan diyakini membawa beberapa cabe sebagai oleh-oleh ke negaranya. Tak lama setelah itu, cabe mendadak menjadi selebriti di antara sayuran, dan dalam rentang waktu hanya 50 tahun, tanaman cabe bisa dibilang sudah mendunia, termasuk sampai ke Indonesia! Zat bernama capcaisin yang terkandung di dalam sebuah cabe menentukan derajat kepedasannya. Kita pun akhirnya mengenal ungkapan "kecil-kecil cabe rawit," karena memang cabe kecil yang mayoritas berwarna hijau ini mengandung banyak sekali zat capcaisin. Pak Beye termasuk sosok presiden yang kontroversial. Bagaikan cabe rawit, ia yang dulunya berasal dari partai kecil bisa meloncat naik ke tahta, bahkan terus bertahan di Pemilu kedua. Seolah tak menghiraukan "bumbu dan rempah" yang lain, ia melenggang melanggengkan kekuasaannya. Meski dengan tegas menolak konsep monarki, namun gerak-gerik politik yang ia buat justru menunjukkan hal sebaliknya. Mulai dari membentuk sekaligus mengetuai Dewan Pembina di Parta Demokrat, mendudukkan Ibas di kursi Sekjen, hingga wacana tentang menjadikan sang nyonya sebagai calon penerus. Terakhir, mereka berdua bertolak ke tanah Batak untuk menerima gelar kehormatan di sana--semoga bukan untuk mengubah nama agar dapat mengikuti pesta demokrasi 2014 nanti. Seperti cabe pula, kebijakan yang dibuat oleh pak Beye hampir selalu bersifat temporer dan reaktif. Lihat saja nasehat-nasehatnya yang justru menambahkan rasa pedas pada pengalaman getir yang dialami oleh para TKI yang dianiaya di luar negeri, ketika ia menyarankan agar semua TKI dibekali ponsel. Itu belum termasuk anjurannya agar masyarakat menanam cabe di rumah masing-masing. Untuk lawan politiknya, ia pun meluncurkan "capcaisin" beruntun, tentunya agar ia/mereka merasa kepedasan. Sultan adalah salah satu korbannya. Hah! Namun anehnya, kebijakannya yang seharusnya "pedas" (baca: tegas) untuk beberapa bidang yang kritis, ternyata melempem. Begitu banyak kejadian darurat yang membutuhkan perhatiannya, namun ia diam tak bergeming. FPI tetap (dan sepertinya makin) leluasa beroperasi, menodai kerukunan antarumat beragama di bumi pertiwi. Kita tentu masih ingat, bagaimana ia melempem ketika pegawai negerinya dipermalukan kepolisian Malaysia tanpa maaf sedikitpun. Kasus Sumiyati, misalnya, menunjukkan betapa lemahnya ia berdiplomasi dengan Arab Saudi. Kabar terakhir, justru pengacara menuduh Sumiyati gila dan menyiksa dirinya sendiri. Benar-benar gila! Seperti kondisi cabe saat ini yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang berduit, demikianlah pak Beye tampak begitu antusias berdampingan dengan para pemilik modal di negeri ini. Meski mencitrakan diri sebagai orang yang dekat dengan rakyat, namun tetap saja pak beye seperti cabe, tak terbeli oleh masyarakat. Hal ini terbukti dari tingkat kepercayaan terhadapnya yang semakin menurun tahun demi tahun. Dulu, ketika om Ical agak menjaga jarak, pak Beye segera menebarkan jurus cabenya dengan mengeluarkan pedas semu atau "ketegasan virtual" seolah hendak memberantas pengemplang pajak. Mau tak mau, om Ical pun mendekat, hingga akhirnya mereka bisa bersalaman di Senayan, ketika timnas kita sedang jaya-jayanya. Alhasil, kepada Gayuslah semua kesalahan itu ditimpakan, sementara pengusaha-pengusaha klien Gayus yang jelas-jelas kejahatannya setali tiga uang masih menghirup udara kebebasan. Saya berharap, harga cabe segera turun, kembali berpihak pada rakyat kecil; demikian pula halnya harapan saya terhadap pak Beye. Ya, namanya harapan, tentu saja takkan banyak berpengaruh pada perkembangan harga cabe, apalagi "harga" pak Beye. Yang jelas, saya bisa berpantang pak Beye, namun sama sekali tak sanggup berpantang cabe. Salam pedas!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun